Oleh Hat Pujiati
Universitas Jember (081336790076 hatpujiati.sastra@unej.ac.id)
tulisan ini telah diseminarkan dan dipublikasi di prosiding
SEMINAR
NASIONAL KESUSASTRAAN
HIMPUNAN
SARJANA KESUSASTRAAN INDONESIA
KOMISARIAT SULAWESI
TENGGARA (HISKI SULTRA) 2017
“LITERASI, SASTRA,
DAN PEMBELAJARAN”
Sekretariat: Gedung
Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Halu Oleo, Kendari
Abstrak
Artikel ini mengkaji kehadiran
Realisme Magis dalam cerpen Kolektor
Mitos oleh Halim Bahriz sebagai sebuah mode tulisan (narasi) yang
berstrategi di ruang hirarkis sastra Indonesia menggunakan perspektif Wendy B.
Faris. Lima ciri dari tulisan realisme magis yang digagas Faris akan menjadi
langkah kerja pertama dalam mengurai kehadiran realisme magis dalam cerpen.
Berikutnya, analisis difokuskan pada teknik naratif defokalisasi yang dilakukan
cerpen sebagai cara mendestabilisasi representasi realistis sehingga menggiring
pada tiga langkah menghindari ideologisasi. Deideologisasi ini adalah ruang
permainan Realisme Magis untuk memecahkan paradigma Modern akan totalitas,
keutuhan tunggal. Dekonstruksi melakukan deconstructing
pada teks, geneologi membuat unsettling
doubt, dan pluralizing dilakukan
oleh posmodern. Dengan demikian Kehadiran Realisme Magis dalam Kolektor Mitos akan terbaca secara
teknik tekstual dan dihubungkan pada Antinomy realisme dan magis secara
kontekstual yang dibangun oleh cerpen. Hasil dari analisis Kolektor Mitos sebagai mode tulisan yang digunakan Bahriz dalam
cerpennya merupakan cara menentang sekaligus menerima hirarkisitas yang
dibangun elit sastrawan sastra Indonesia di Jakarta. Sebagaimana maksud dari
antinomy realisme dan magis dalam realisme magis, Kolektor Mitos mengganggu representasinya secara posmodernis
sekaligus poskolonialis.
Kata Kunci: Realisme
Magis, deideologisasi, strategi sastra, posmodern, poskolonial
Pendahuluan
Kritikus seni Jerman, Franz Roh, pada
tahun 1925 menggunakan istilah realisme magis pertama kali sebagai kategoti
seni. Ketika itu Realisme Magis dipandangnya sebagai cara menghadirkan dan
merespon realitas dan secara piktorial dalam menggambarkan teka-teki realitas (http://www.english.emory.edu/Bahri/MagicalRealism.html; 14 November 2008; 6.14pm). Pada perkembangannya, Realisme Magis
sebagai moda tulisan atau narasi ini dilihat sebagai bagian dari perlawanan
terhadap pemikiran modern dengan mengahadirkan istilah yang kontras antara
realisme dan magis. Aturan main dalam
modernisme adalah logika, bisa ditelusuri dengan akal dan pasti. Paradigma modern
yang demikain tidak memberikan ruang pada yang “di antara”; ada hitam dan
putih, sementara abu-abu disembunyikan atau diabaikan, tidak dibicarakan (bukan
berarti tidak ada) karena posisinya yang antara hitam dan putih, namun bukan
hitam dan bukan putih (Lyotard:2009; 206-9). Ketika yang “ada” namun tidak
dapat dipahami tidak ada dalam lanskap yang sesuai dengan aturan main, maka hal
itu tetap menjadi sesuatu yang tidak dapat dipahami. Sementara antinomy Realisme
Magis dari sisi penamaan sudah menghadirkan kode-kode simultan yang saling berbenturan
dalam teks (Faris: 2004:20). Pengungkapan yang tidak dibicarakan, yang
didiamkan adalah bentuk tandingan dari gerakan pemikiran berikutnya, yaitu
posmodern. Dengan demikian, realisme magis mengusung posmodern perspektif,
menghadirkan yang tidak dibicarakan sekaligus bersama dengan yang menjadi topik
dari perspektif modernisme.
Terkait dengan usaha mendefinisikan
realisme magis dalam banyak tulisan ilmiah, Faris menawarkan pendekatan yang
berusaha mengkombinasikan antara teknik penulisan dengan teori poskolonial.
Teknik naratif realistis yang tumbuh dalam Realisme Magis berhubungan dengan
kondisi kondisi-kondisi kultural. Dengan kata lain, poetika dalam moda tulisan
ini diasumsikan berakar dari kondisi-kondisi kultural (Faris:2004;2). Dasar
pemikiran yang mendasarkan pada respon kondisi kultural ini lah yang membingkai
poskolonialme dalam perspektif Faris. Artinya, jukstaposisi dari realisme dan
magis dalam satu istilah, ditelusur dari perihal ‘kata-kata’ penyusunnya yang
dibahas dalam konteks poetika, tetapi di saat yang sama poetika tersebut lahir
sebagai respon dari peristiwa-peristiwa kultural dalam kehidupan nyata. Antara
realisme dan magis dipandang sebagai peristiwa kebangkitan yang di-lain-kan dari yang pokok, antara yang
‘ditiadakan’ dari yang ada, antara inferior dari yang superior, antara yang
terjajah dari yang menjajah. Posisi realisme dan magis yang meletakkan istilah
ini di wilayah antara merupakan refleksi dari kultur hibrid dalam masyarakat
poskolonial (Faris;2004;1).
Kolektor Mitos oleh Halim Bahriz menggunakan mode
penulisan yang mengindikasikan kehadiran realisme dan magis. Bahriz lahir di
Lumajang, Jawa Timur dan sempat menempuh pendidikan di Sastra Indonesia
Universitas Jember, aktif di komunitas seni di dalam dan luar kampus, kemudian
banyak tinggal di Jakarta dan bergaul dengan pegiat sastra nasional. Bahriz
yang berangkat menulis dari luar Jakarta ini juga telah memenangkan banyak
lomba penulisan, baik naskah teater mau pun penulisan puisi tingkat nasional. Kolektor Mitos adalah satu judul cerpen Bahriz dalam kumpulan puisi
berjudul sama yang mengisahkan Otniel, tangan kanan sang pengumpul benda-benda
yang memiliki keterkaitan dengan mitos. Dia datang ke Semarang untuk
mendapatkan genta yang berasal dari leburan patung Margaretha Geertruida Zelle,
seorang pebalet termasyur pada masa kekuasaan Belanda. Pebalet tersebut muncul
dalam cerita melalui jejak-jejak sejarah di kota lama Semarang, dimulai dari
bekas gedung pertunjukan di jaman penjajahan yaitu gedung Marabunta atau dulu
disebut Schouwburg yang telah menjadi
kafe. Kebenaran akan kisah Margaretha didukung oleh tanggal-tanggal sejarah
terkait kisah Marabunta dan yang linier Greta dengan sejarah umum di dunia
nyata. Adin, cucu buyut dari Mayor Rudolph mantan suami Greta, menjadi
pencerita mitos yang mengaburkan cerita dengan fiksi. Pebalet itu dihukum mati
karena kecemburuan sang suami pada popularitasnya yang dipuja banyak penggemar.
Hadiah patung Margaretha dari salah satu penggemarnya yang dulu diletakkan di
pintu masuk Schouwburg dilebur
menjadi dua genta oleh Rudolph setelah kematian Greta. Satu untuk gereja dengan
harapan dosa-dosa Greta diampuni dan satu lagi di bawa ke barak militer. Genta
yang di gereja membuat para jemaat berbuat mesum saat ibadah setelah mendengar
dentangnya. Sementra genta yang lain menyebabkan kepatuhan luar biasa pada
prajurit di barak militer dimana genta tersebut dibawa. Akhirnya Otniel dan
Adin mendapatkan genta yang pemicu mesum tersebut dan Otniel membawanya ke
Jakarta. Di pesawat, tiba-tiba muncul perempuan di sisi Otniel saat ia antara
tidur dan terjaga.
Penggalan kisah Kolektor Mitos tersebut mengindikasikan kehadiran permainan narasi
antara realisme dan magis sebagai penolakan sekaligus penerimaan. Dengan
demikian, fokus artikel ini adalah untuk memetakan kehadiran realisme magis
dalam cerpen. Kemudian mendiskusikan defokalisasi sebagai teknik narasi dalam
cerpen. Lebih lanjut, teknik tekstual yang dipakai dalam cerpen dikaitkan
dengan konteks yang di bawa pengarang sebagai bagian dari masyarakat penulis
Indonesia.
Realisme dalam Karya Sastra
Pencapaian peradaban modern dalam aliran
pemikiran adalah realisme. Aliran pemikiran ini dalam seni berusaha
menghadirkan kenyataan senyatanya; yang mampu dirunut melalui pengalaman
empiris, rasional (berkaitan dengan koherensi, berusaha menjawab pertanyaan
‘mengapa’)(Faruk dalam diskusi Magical Realism di Pusat Sudi Kebudayaan) Novel
dipandang sebagai karya imaginatif yang diramu dengan kenyataan (Fowler: 1987;200-2).
Novel merupakan salah satu subgenre sastra yang lahir dalam peradaban modern.
Sebelumnya prosa hadir dalam bentuk hikayat, roman, babat dimana kisah-kisah
yang dihadirkan sangat panjang dan tokoh-tokoh di dalamnya silih berganti
hingga ke para keturunan dari tokoh sebelumnya. Latar tempat dan waktu pada
kisah-kisah sebelum modern tidak jelas. Sebaliknya, novel menunjukkan
partikularitas di dalamnya yang ditunjukkan dengan waktu dan tempat yang linier
dengan kenyataan waktu dan tempat modern atau disebut sebagai historis. Novel
juga empirik, peristiwa yang diceritakan ada rujukannya dalam keseharian
masyarakat kebanyakan (Ian Watt dalam The
Rise of the Novel). Ciri novel yang demikian menegaskan realisme pada awal
kelahirannya. Realisme juga bisa dibaca sebagai cara pandang, atau cara membaca
sesuatu yang bercirikan empirisme dan rasional. Pesona dunia (enchantment) dalam novel realisme
disangkal dengan rasio dan logika empirik, menjadi disenchantment sehingga cerita menjadi biasa. Presentasi dalam
novel dan peristiwa di dalam kehidupan nyata ini lah yang membuatnya
disebut sebagai refleksi kehidupan
nyata. Konsekwensi dari kata refleksi ini membuat karya sastra tergolong dalam epiphenomenon; fenomena kedua, sedangkan
fenomena yang pertama adalah kehidupan nyata. Goldmann menyebut kesamaan antara
yang ada dalam karya sastra dengan yang ada dalam kehidupan nyata sebagai homolog.
Magis yang Mempesona
dalam Karya Sastra
Bila aturan main dalam modernisme adalah logika, maka semua yang tidak
mampu dinalar atau dijelaskan menggunakan logika akan dikeluarkan dari arena
permainan. Yang irasional disembunyikan, tidak dibicarakan, dan keberadaannya
dinihilkan. Realisme menghadirkan narasi yang realistik, semantara yang magis
menghadirkan yang fantastik. Tsetan Todorov (dalam Mchale; 1987;74) mentesiskan
bahwa fantasi adalan kondisi antara uncanny(aneh)
dan marvellous (mengagumkan). Menjadi
genre uncanny bila peristiwa supernatural bisa dijelaskan dengan hukum-hukum
alam, misalkan peritiwa aneh tersebut kemudian dinyatakan menjadi halusinasi,
sulap, sihir sehingga keanehan tersebut tidak lagi mempesona setelah
dijelaskan. Genre marvellous menerima kejadian-kejadian supernatural sebagai
norma semisal dalam dongeng, realm hewan yang berbicara, ibu peri, transformasi
ajaib yang ada dalam cerita-cerita Seribu
Satu Malam dengan jinnya, karpet terbang, lampu ajaib. Cerita marvellous
demikian kerab didaur ulang oleh cerita-cerita Realisme Magis
(Hegerfeldt:2005;80). Daur-ulang yang dilakukan Realisme magis pada Marvellous
adalah dengan menjadikan konvensinya berkebalikan, yaitu dengan menjadikan
realistik kehidupan sehari-hari (ordinary) tampak fantastik (2005;80). Fantasi
dengan peristiwa natural dan supernaturalnya menghadirkan keraguan, Todorov
menyebutnya sebagai ketidakpastian epistemologis (epistemological uncertainty). Sementara keraguan yang dihadirkan
dalam Magical realism ada di posisi epistemologis dan ontologis. Yang
epistemologis merupakan jejak modernisme, sedangkan yang ontologis sebagai
produk posmodernisme. Metamorphosis
oleh Kafka ditengarai sebagai sastra yang telah melenyapkan fantastik yang
epistemological oleh Todorov namun penulis posmodern sebenarnya mengembangkan
keraguan itu ke dalam keraguan ontologis, Todorov gagal membaca deep structure of the fantastic dalam Metamorphosis menurut McHale (1987;75).
Ranah seperti yang diungkapkan McHale ini lah yang juga kemudian dihadirkan
dalam karya-karya realisme magis. Intinya, sastra fantastik menghadirkan
keraguan melalui kehadiran yang natural dan supernatural, antara yang normal
dan paranormal seperti kisah Harry Potter
oleh JK. Rolling atau Twilight karya
Stephani Meyer. Dalam dua cerita yang digolongkan fantasi tersebut bertaburan
keanehan atau dunia supernatural atau paranormal bersama dengan yang normal,
keraguan antara yang normal dan paranormal diaminkan dalam peristiwa cerita.
Magis dengan demikian mempesona karena meghadirkan kekuatan-kekuatan
supernatural yang tak mampu diterjamahkan secara logis namun di suatu titik
tertentu kadang peristiwa supernatural atau paranormal tersebut dijelaskan
dalam kerangka logis. Alice in Wonderland
mengisahkan gadis kecil yang bertualang ke negeri menakjubkan,
peristiwa-peristiwa magis terjadi di negeri tersebut namun tidak terjadi di
dunia nyata fiksional (diegest) Alice
bersama saudara dan orangtuanya. Di akhir cerita itu ditegaskan bahwa
perualangan yang dilalui Alice hanyalah terjadi di dunia mimpi. Atau
cerita-cerita Lima Sekawan (Faruk
dalam diskusi) yang dalam serialnya kerab menceritakan hantu yang akhirnya
dijelaskan bahwa yang dikira hantu itu bukanlah hantu, kadang dia pencuri,
kadang anjing dan sebagainya.
Realisme Magis
sebagai Sebuah Revolusi Pemikiran
Cogito ergo sum yang ditesiskan oleh
Descartes menginfeksi dunia dan menggiurkan bagi penduduk dunia untuk menjadi
bagiannya. Ideologi modern mengundang subjek-subjek baru dan berbicara atas
nama dunia, memberikan penilaian melalui perspektif modernitas. Proyek-proyek
modernisasi bermunculan, kesusastraan Indonesia pun dalam naungan Balaipustaka
mengkoridor karya-karya yang lahir dengan material yang anti takhayul. Modern
itu rasional, empirik, sekuler dan duniawi. Cerita pun menceritakan cerita
sehari-hari. Pemujaan modernisme pada abad 20 ini juga membuat Indonesia terpesona
pada surat kabar. Kemajuan yang dihasilkan modernisme menakjubkan. Puncaknya,
muncul anggapan ‘bila tidak modern berarti tidak hidup di masa kini’. Mimpi dan
harapan menjadi ilusi ini menjadi ironi modernisasi (Faruk dalam diskusi).
Kemudian ketika ilmu pengetahuan diekspos justru menimbulkan kerusakan
lingkungan, membuat orang modern stres. Modern hanya menghasilkan puncak hampa.
Obat ternyata berbahan kimia yang justru menimbulkan masalah bagi tubuh hidup.
Sementara jamu tidak rasional, tidak ada ukuran yang sulit diterima oleh logika
modern. Orang mulai mencari alternatif, menggabungkan yang modern dengan yang pramodern,
muncullah herbal, bukan jamu tapi juga bukan obat. Wacana juga mengkonstruksi
kehadiran herbal ini, penelitian juga dilakukan di ruang-ruang ilmiah seperti
laboratorium universitas yang punya legitimasi kebenaran tinggi dalam dunia
sains. Herbal pun mampu masuk apotik walau dia bukan obat, dan punya kode
sendiri sebagai herbal (contoh ini disebut oleh peserta
diskusi dan diulas bersama Faruk dalam diskusi di PSK UGM, November 18 2016). Konsep herbal ini mirip dengan konsep realisme magis,
penggabungan dua unsur yang bertentangan, yang satu berakar dari cara pikir
modern dan yang satu dari yang tradisional. Magis yang tak mampu didefinisikan
secara logis dari sudut pikir modern dikeluarkan dari permainan. Magis dianggap
bagian dari tradisional; sama dengan jamu. Herbal diterima, dilogikakan (dengan
riset), kemudian tidak dipertanyakan lagi. Obat tidak lagi sebagai obat, jamu
juga bukan lagi jamu ketika menjadi herbal, mereka bukan lagi modern dan
tradisional, bukan juga pesona seperti konsep enchantment of the world (pesona dunia) yang tiba-tiba diterima, ketakjuban
yang ditimbulkan herbal butuh legitimasi modern dengan riset ala sains. Maka
herbal menyurut saya sebagai bentuk re-enchantmentof
the world (kembalinya pesona dunia). Realisme magis yang ditawarkan Faris
pun bukan mengusung jejak modern dan tradisi sebagai sebuah keutuhan, melainkan
hanya bagian-bagian yang hadir dalam konteks itu. Bagian dari modern dan bagian
dari tradisi.
Bagaiman revolusi pemikiran dari yang
‘saklek’ menjadi sebuah perkawinan antara modern dan yang tradisional?
Linguistik adalah biang dari revolusi ini (Faruk dalam diskusi). Linguistik
menemukan bahwa semua hanyalah mitos yang dikonstruksi. Bahasa tidak lain
adalah tanda dalam perspektif Saussurian. Tanda merupakan korelasi dari penanda
dan petanda. Relasi tanda dan petanda itu arbitrer, tidak ada relasi alamiah
antara penanda dan petanda. Kata tree
(pohon) dalam bahasa Inggris punya nama berbeda dalam bahasa lain seperti wit dalam bahasa jawa, bungka dalam bahasa madura, perbedaan
tersebut mengacu pada hal yang sama. Konvensi masyarakat yang menyebabkan
nama-nama itu bermakna. Tree (pohon)
sebagai kenyataan dan nama-nama berbeda itu adalah konsep. Dengan demikian
menjadi logis bahwa makna adalah sebuah konstruk sosial, sebuah persetujuan
(Chandler:1994;15-22). Konsekwensi dari penjelasasn bahasa ini membawa pada
kemapanan pengetahuan yang menjadi penopang modernisme. Modernisme tidak lebih
sebagai mitos, sains hanya aturan main yang dikonstruk oleh modernisme. Rule of the game ini sama posisinya
seperti grammar dalam bahasa. Perspektif Foucauldian menyimpulkan bahwa tidak
ada kenyataan utuh kecuali wacana, manusia juga ada sebagai sebuah konstruksi. Hingga abad pertengahan, cerita-cerita sastra tidak menuliskan tentang manusia biasa, kecuali Yesus (Evans:1976:20-21). Manusia biasa
bukan subjek penting, tapi pada abad modern, hal ini dibalik, bahkan Tuhan
dihilangkan karena disenchantment,
manusialah yang menentukan dan memutuskan hidupnya (Pujiati:2009: 135).
Sebagai sebuah konstruksi wacana, maka
substansi itu tidak ada. Herbal bisa masuk farmasi sebagai wujud keberhasilan
konstruksi wacana sehingga menghadirkannya sebagai regime of truth, tetapi substansi itu tidak ada. Mencari substansi
hanyalah usaha yang “disperately searching
for the audience“. Definisi-definisi kebenaran itu tak lebih sebagai mitos,
ada kepentingan, ada politik dalam bahasa. Pemikiran Thomas Kuhn juga punya
andil dalam dekonstruksi pemikiran yang terjadi dalam peradaban posmodern,
gagasannya tentang Scientific Revolution.
Kuhn menggugah kemapanan sains dalam perspektif modern yang mengagungkan
objektifitas. Menurutnya, kebenaran saintifik tidak hanya dipastikan oleh hal
yang objektif, melainkan juga dibentuk oleh kesepakatan-kesepakatan dari
kelompok ahli atau para specialis itu sendiri. Jadi pengetahuan tidak dibangun
melalui akumulasi, menurutnya perkembangan pengetahuan adalah tidak terus
menerus, tapi ada perubahan, ada patahan melalui alternatif akan yang normal
dan revolusioner (amp.theguardian.com, diunduh 16 maret 2017, pukul 19.33 WIB).
Apa yang ditawarkan Kuhn ini senada dengan apa yang Foucault tesiskan dalam Power/Knowledge, kekuasaan meregulasi,
ilmu pengetahuan sebagai tampuk kekuasaan juga menjadi rule of the game.
Aritnya ada kode-kode, ada konvensi untuk memahami sebuah pengetahuan, bila
diiyakan oleh komunitas pakarnya maka jadilah.
Peletakan modernitas sebagai mitos dengan
demikian merombak cara berpikir kemapanan-kemapanan yang telah terbentuk
sebelumnya. Semua menjadi mungkin, jika pengetahuan adalah mitos, maka mitos
juga pengetahuan, keduanya ada di posisi sama sebagai rule nof the game.
Realisme yang akan kita bahas dalam moda
tulisan ini dengan demikian juga merupakan sebuah konvensi atau konstruksi.
Apakah sebuah teks dinyatakan sebagai teks sastra atau bukan juga merupakan
konvensi. Namun ketika mempertanyakan realitas yang diterima apa adanya (taken for granted reality) maka yang
terjadi adalah dekonstruksi. Untuk lepas dari kebenaran-kebenaran yang ternyata
hanyalah mitos, maka kebenaran perlu ditiadakan. Ada tiga cara keluar dari
ideologisasi; (1) dekonstruksi; dengan menunda identitas dalam diri.
Dekonstruksi ini bermain di antara self
dan other. Barat-Timur yang
dikonstruksi Said Misalnya, Timur tidak ada sebelum diciptakan Barat. Tradisi
atau timur hanyanlah refleksi negatif dari self. Apa yang tidak ada atau tidak
diinginkan self bila tidak ada self itu sendiri berarti fiktif (Konsep Defference-deffrance Derrida). (2)
Geneologis, yaitu dengan mencari other
ke belakang (trace back the other).
Foucauldian membuktikan bahwa segala sesuatu itu historis. Geneologis ini
melakukan unsettling doubt(3) pluralizing (posmodernisme membawa ini
dalam Realisme Magis), yaitu dengan mencari other
ke samping, menunjukkan bahwa yang kita hadapi bukan satu-satunya, ada yang
lain. Realisme Magis bekerja di tiga cara tersebut.
Perangkat kerja dalam
Metode Realisme Magis oleh Wendy B. Faris
Realisme Magis adalah suatu konstruksi
yang tidak memilih antara realisme dan magis. Realisme magis merupakan sebuah
pertarungan wacana yang tidak bisa ditetapkan urutannya (order), dia ada dalam
posisi chaos. Bila digambarkan dalam
bagan maka akan tampak posisi sebagai berikut:
Realisme
|
Realisme Magis
|
Fantastik
|
Gambar 1. Posisi Realisme Magis di antara Realisme dan magis
Dalam konteks tulisan, Wendi B. Faris mencoba
memetakan ciri-ciri dari Realisme Magis menjadi lima ciri yaitu: Irreduceable element, phenomenal world, unsettling doubt, Merging
Realms, dan Dicruption time, space,
and identity. Kelima ciri yang disebutkan Faris
ini tidak menuntut keberurutan, pemetaan teks apakah termasuk realisme magis
atau tidak bisa dimulai dari mana saja dari kelima unsur tersebut. Bisa diawali
dengan menganalisis sisi magis yang dihadirkan memasuki realitas teks, kemudian data-data realisme dalam
teks
dalam mempertegas dirinya, atau dari keraguan
yang tumbuh dari magis. Bisa juga benturan jagad atau dunia-dunia yang ada
dalam cerita tanpa mediasi yang membuat fakta
atau fiksi menjadi kabur dan mengacaukan konsep
waktu, ruang dan identitas. Dalam analisis berikut ini, saya mengambil
data berupa keseluruhan narasi cerpen Kolektor
Mitos oleh Halim Bahriz untuk dipilah ke dalam lima elemen yang ditawarkan
Faris. Setelah pemetaan tersebut, pembacaan keseluruhan permainan narasi akan
dielaborasi, mereka ulang defokalisasi yang dilakukan teks untuk dihubungkan
dengan data sekunder terkait pengarang dan lingkungan sosialnya. Akhirnya,
kontestasi di balik realisme magis Kolektor
Mitos sebagai mode tekstual bisa dikuak.
Teknik Naratif yang Digunakan dalam Membangun Realisme Magis
Lima elemen yang telah dipaparkan sebelumnya
untuk mengenali genre teks, Faris menggunakan istilah defocalization (defokalisasi). Cerita biasanya dinarasikan dari
satu perspektif yang disebut dengan focalization.
Realisme Magis memecahkan ketunggalan perspektif dalam teks sehingga pengalaman
pembaca menjadi beragam. Rupanya hal tersebut juga berdampak pada kesadaran simultan
antara yang real dan historis dengan imajinasi; antara yang sensoris dan yang
tak terkatakan tanpa keterputusan sehingga menghadirkan pluralitas (dengan cara
pluralizing). Defokalisasi dalam
realisme magis menunjukkan paradigma posmodernisme yang menantang modernisme.
Akan tetapi Realisme Magis tidak juga terjebak dalam nostalgi primitivism,
usahanya menghadirkan yang ditentang modern adalah dalam rangka membangun
poetika yang menunda kepastian genre narasi.
Defokalisasi juga menghadirkan arwah (spirit)
sebagai usaha memecahkan ketunggalan perspektif. Kehadiran arwah tersebut
memberikan jarak dengan fiksi modernis.
Penghancuran sensori realitas dengan kehadiran spirit juga memberikan ruang
bagi varietas-varietas otherness,
personal, historikal, kultural, kesusastraan lampau, bahkan perbedaan raelitas
virtual, termasuk juga tekstual(2004:74).
Moda naratif ini juga mengahdirkan shaman
atau dukun. Praktik-praktik yang dilakukan oleh dukun merupakan usaha
menghadirkan teks yang hibrid, mengankat budaya primitif sebagai konter
terhadap narasi besar. Faris menyebut ini sebagai Shamanic Narrative Healing yaitu pengobatan atas keterpecahan
antara yang konkrit dan yang imajinatif, yang ilmiah dan yang spiritual (2004; 80-81).
Sebagai bentuk chaos, Realisme Magis
menggunakan teknik-teknik poetik dalam menghancurkan fokalisasi menjadi
defokalisasi. Teknik-teknik itu adalah dengan Magical detail, naïve
narrators,Bridges, Two-way streets, Narrative distance and chinese boxes, serta Mirorring. Magical details ini bisa dimulai dari hal yang logis namun
dilebih-lebihkan sehingga menjadi magis. Ukuran-ukuran matematis yang detil
seperti yang diceritakan Marquez soal kalkulasi darah dan panjang rambut
jenazah Jose Arcadio dalam kubur, magis disajikan dengan cara realis. Naïve narrator pun demikian, kepolosan
narator yang menggunakan tokoh anak kecil atau tokoh inferior namun apa yang
dinarasikan bisa dicari kebenarannya dalam kerangka realis (orang dewasa/ yang
superior). Dengan demikian voice yang hadir berlipat ganda (2004;104). Bridges itu menjembatni dunia-dunia yang
dibangun melalui dunia wacana. Sedangkan two-ways
street adalah ambiguitas yang dibangun untutk mendisidentifikasi. Gaya
kotak cina atau jarak naratif mengaskan posisi fantastik yaitu yang uncanny dan marvellous memberikan jarak naratif. Sementara mirroring tak lain adalah repetisi prinsip naratif, seperti analogi-analogi
secara struktural dan simbolik kerap menciptakan pergantian referensi.
Realisme
Magis dalam Kolektor Mitos
a. Irreduceable Element;
Elemen ini menghadirkan yang magis begitu saja tanpa mempertanyakan
kenyataan-kenyataan (fiksional) tersebut. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa
elemen ini tak dapat dirujuk dalam kenyataan namun diterima dalam cerita
(Faris:2004:07). Dalam Kolektor Mitos,
menghadirkan
“Belum genap setahun, genta itu dibuang entah ke mana oleh pihak gereja.
Sejak logam itu berdentang, sering terjadi adegan mesum. Konon, di hari minggu
yang tak terlupakan itu, sejumlah jemaat diam-diam saling berciuman saat
puja-puji dinyanyikan. Sissanya telah lebih dulu saling menelanjangi.” (Bahriz:
2017;24-25)
…
“pantesan lho Mas, kejadian mesum cukup
sering di sekolah ini” (Bahriz: 2017;25)
…
“Bapak minta berapa?”
Pak Harto terdiam sebentar, “150 juta?”
“Oke,” sahutku. Transaksi beres dan senyum
pak Harto berlumur syukur.
(Bahriz: 2017;26)
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan kehadiran yang magis pada genta.
Dentangnya yang mendorong orang untuk berbuat mesum bahkan saat puja-puji pada
Tuhan sedang berlangsung adalah peristiwa yang melawan hukum alam. Peristiwa
supernatural yang tidak disebabkan oleh Tuhan dan malaikatnya, dalam cerita-cerita
tradisional dan cerita religius biasanya tak berdaya terhadap kesucian Tuhan.
Namun sesuatu pada genta tersebut sebaliknya. Bahkan kemudian ditegaskan ulang
oleh kepala sekolah akan peristiwa mesum yang kerab terjadi di lingkungan
akademis tersebut. Dengan kata lain genta tersebut mengacaukan tatanan sosial
yang telah ada, tak pandang ruang dan tempat. Otniel yang skeptis dengan
hal-hal supernatural terkait mitos dalam cerita juga tidak menolak kekuatan
ganjil pada dentang genta tersebut dan memutuskan membelinya setelah mendapat
konfirmasi dari Adin dan sang kepala sekolah. Dalam ilmu pengetahuan modern,
dentang genta yang menaikkan libido pendengarnya menyalahi logika, dan Kolektor Mitos menggunakan cerita yang
melenceng dari logika ini sebagai topik utama cerita.
b. Phenomenal world;
Dalam Realisme Magis, teks juga menghadirkan dunia empirik yang bisa
diuji kebenarannya, apa yang dihadirkan memiliki referensi dalam kehidupan
nyata atau pengalaman hidup orang kebanyakan (Faris:2004:14). Berikut
kutipan-kutipan dalam Kolektor Mitos
yang mencerminkan elemen ini:
“Jl. Cendrawasih ya, Pak.” Ujarku kepada
sopir taksi.
“Kota lama? Tepatnya ke mana, Mas?”
“Marabunta” (Bahriz: 2017;19)
...
“Mataku mulai menyisir ornamen kolonial dalam ruangan; kipas angin kuno yang menggantung
kira-kira 3 meter di atas plafon,
dengan ukiran berbentuk lingkaran dari era barock di pangkalnya, juga interior kaca patri bergambar bunga dan beberapa pemain musik …” (Bahriz:
2017;21)
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan
kehadiran objek-objek yang ada rujukannya dalam dunia nyata yang bisa dialami
pembaca. Marabunta di kehidupan nyata ada di jalan Cendrawasih, Kota lama
Semarang Jawa Tengah. Gedung tersebut telah dialih-fungsikan menjadi kafe. Apa
yang diceritakan Oetniel mengenai sejarah Marabunta sebagai gedung pertunjukan
di jaman kekuasaan Belanda, dibangun
tahun 1890, soal pebalet bernama Margaretha Geertruida Zelle linier dengan
sejarah atau historis. Linieritas objek-objek dan subjek dengan kenyataan
tersebut menegaskan kehadiran dunia fenomenal dam cerpen Kolektor Mitos.
c. Unsettling Doubt;
Posisi ini tidak bisa membuat keputusan apakah itu realisme atau magis,
menghadirkan keraguan (Faris:2004:17). Keraguan keraguan itu dibangun oleh
wacana-wacana dalam menghadirkan kenyataan.
“Adin terdiam sesaat,
Mayor Rudolp…kakek buyutku.” (Bahriz: 2017;24)
Saat melintasi
jalanan kota lama, kata Adin, genta tersebut seperti menangis. Ia mengelusnya.
Aku yang dimintanya jadi sopir, menahan tawa. Tapi akhirnya gagal.(Bahriz: 2017;26)
…Mayor Rudolp
berharap, cara itu dapat membantu Greeta menebus dosa-dosanya. (Bahriz:
2017;24)
Cerita mengenai
kepiawaian Greta sebagai pebalet dan perihal Marabunta sebagai gedung pertunjukan
membawa kesadaran pembaca pada sejarah umum di dunia nyata, teks melakukan
fiksionalisasi pembaca. Narasi sejarah oleh Adin atau pun Otniel seakan
mengkonfirmasi kebenaran, mengaburkan kenyataan dan fiksi. Terkait materi
cerita yang berujuk pada sejarah maka konfirmasi pada peristiwa-peristiwa
tersebut ditarik mundur dari masa lalu kemudian ditandingkan dengan perspektif
masa kini melalui tokoh Otniel sehingga melahirkan keraguan. Adin memperlakukan
genta mistis yang mereka beli sepenuh hati karena menganggapnya hidup,
melihatnya dengan perspektif magis. Sementara Otniel menertawakannya karena
sudut pandang yang berbeda. Hingga di akhir cerita, Otniel membenarkan
kecantikan perempuan yang hadir di antara terjaga dan tidurnya selama di
pesawat. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa keraguan itu terpelihara dan
tidak ditarik ke satu kutub apakah realisme atau kah magis.
d. Merging Realms;
Jagad pikiran yang dibangun antara yang
realistik dan magis hadir bersamaan. Konfrontasi dua dunia (normal-paranormal)
ini menjadi peristiwa pengaburkan ikatan antara fakta dan fiksi. Magis
dihadirkan nyata. Dunia-dunia itu saling memasuki dan bertemu dalam satu titik
dalam cerita tanpa dimediasi. (Fariz:2004;-)
“Ketika aku merasa mulai tertidur, kudengar
seseorang merapikan posisi duduk di sampingku. Aku terjaga sebentar, menyadap wajahnya sekilas. Perempuan.
“Halo…” sapanya, nyaris berbisik, dengan lidah yang
tidak lihai memainkan fonologi bahasa Indonesia. Dalam pejam, aku teringat sepenggal kalimat Adin,
“Dialah satu-satunya
perempuan yang meraih definisi tunggal atas kecantikan.”
(Bahriz: 2017; 26-27)
Di antara tidur dan terjaga Otniel,di
dalam pesawat yang telah lepas landas beberapa saat, dia menyadari kehadiran
seorang perempuan di sampingnya. Padahal, sebelumnya dia sadar kursi di
sampingnya kosong. Artinya kehadiran perempuan tersebut meragukan sebagai yang
nyata, karena tak mungkin ada seorang penumpang pesawat naik di angkasa, tapi
terlihat saat Otniel terjaga sesaat. Bahkan perempuan tersebut menyapanya
dengan “Halo” yang tidak fasih berbahasa Indonesia dan penjelasan narator
tentang kecantikan seperti yang dikatakan Adin akan Greta menggiring pada
kemungkinan itu Greta yang diceritakan Adin.
Sapaan nyaris berbisik tersebut meleburkan dunia Otniel dan dunia ruh
Greta yang menghuni genta.
e. Disruptions of Time, Space,
Identity;
Waktu, ruang dan identitas yang dibangun dalam cerita melenceng dari
yang dialami orang kebanyakan dalam kehidupan sehari-hari (Faris:2004:23-27).
Saat melintasi
jalanan kota lama, kata Adin, genta tersebut seperti menangis. Ia mengelusnya.
Aku yang dimintanya jadi sopir, menahan tawa. Tapi akhirnya gagal.(Bahriz: 2017;26)
Sikap Adin terhadap genta yang menurutnya menangis menunjukkan
‘kehidupan’ pada genta tersebut. Seperti yang telah diceritakan, bahwa genta
tersebut merupakan leburan dari patung Greata yang dihadiahkan padanya oleh
salah satu pengagumnya. Greta hidup di masa Indonesia masih dijajah Belanda
sementara latar waktu cerita setara dengan cucu buyut dari mantan suami Greta.
Dari penalaran waktu tersebut, maka ada pelanggaran waktu yang terjadi pada
‘hidup’ genta tersebut. ‘yang hidup’ dalam genta (yang menangis) tersebut
berusia lebih lama dari manusia kebanyakan. Greta sang pebalet cantik diyakini hidup
dalam genta, maka Greta melintasi waktu; dari masa hidupnya di tahun 1800an ke
masa-masa hidup anak cucunya, setelah kematiannya.
“Genta itu sempat berpindah tangan. Kita harus ke sana untuk mencari
tahu kebenarannya.”
“Kami mengunjungi tempat tersebut keesokan hari; SMA milik pemerintah yang tidak
mau disebutkan namanya dalam cerita ini. Nanti kalian tahu sebabnya. Ketika sampai, kami harus menunggu. Sebab
hari itu adalah hari minggu.” (Bahriz: 2017; 25)
Narasi Otniel menyadari bahwa ini cerita,
seakan kisah tersebut sebagai sebuah kenyataan yang dilaporkan, bahkan pembaca
dipanggil teks dengan menggunakan kata “kalian”. Artinya ruang fiksi dan ruang
nyata tidak pada posisi seharusnya. Bila kisah itu adalah fiksi, pembaca adalah
nyata, seharusnya itu dunia yang berjarak. Namun, teknik narrative distance dalam mengacau ruang (space) ini menghadirkan nyata dalam fiksi melalui penggunaan kata
“kalian”. Fiksionalisasi demikian menghancurkan ketunggalan dunia dengan cara
dekonstruktif.
“Namaku, Otniel. Aku sedang menjalani tahun
ketigaku sebagai pemburu benda-benda tak berguna –untuk apapun, untuk siapapun;
kecuali bagi seorang pembohong besar di Jakarta. Orang mengenalnya sebagai
kolektor mitos, dengan reputasi tanpa cacat. Ucapan-ucapannya amat presisi;
antara mistik dan sejarah, dialah orang yang dilahirkan untuk menyatukan
keduanya. Aku tangan kanannya yang mungkin tak
setia." (Bahriz:
2017; 18).
Pada epilog cerita, Otniel memperkenalkan dirinya sebagai orang yang tak
percaya pada mitos. Dirinya sebagai pemburu barang terkait mitos hanyalah
profesi, dia hendak menegaskan bahwa dirinya hanya menjalankan pekerjaan
mencari barang-barang yang dikatakannya sebagai barang tak berguna. Tanpa ragu
dia juga mengaku tak setia, karena tak percaya dengan mitos.
Sebelum pesawatnya tinggal landas, dia
mengirim pesan pendek pada Adin yang disebutnya Ndes,:
“Ndes, Genta yang kita bawa bukan Margaretha Geertruida Zelle! ini lonceng
buatan VOC.”
…
Dalam pesawat yang mulai mengapung sekian meter di udara, aku masih
membayangkan 7 menit wajah adin setelah membaca pesan pendekku. Aku jadi geli
sendiri, serasa mengulang adegan ketika ia dengan mendalam mengelus-elus
lonceng itu. (Bahriz: 2017; 26)
Kutipan tersebut juga menguatkan keakuan
Otniel yang tak sepaham pada cerita genta dan arwah Greta di dalamnya. Namun di
akhir cerita, dia membenarkan Adin akan kecantikan Greta. Melihat perempuan
yang hadir di sampingnya, setelah sapaannya yang tak fasih bahasa Indonesia,
dia mengkonfirmasi itu Greta si penghuni genta. Logika yang diapuja dalam
dirinya lebur begitu ia melihat Greta.
Menurut saya, realisme magis tak perlu
ukuran kuat atau tidak, tetapi cukup dibuktikan ada atau tidak unsur-unsur
pembangunnya untuk kemudian dikaji lebih lanjut dengan kajian naratologi
sehingga ditemukan hal-hal yang melatari atau temuan dari teknik narasi yang
digunakan cerita. Demikian pula yang ada
di dalam Kolektor Mitos ini, melalui temuan pada elemen-elemen yang telah
dibahas tersebut, cerpen ini tidak ada di posisi real atau pun fantastik,
tetapi ada di antaranya. Hal tersebut ditegaskan dalam teknik defokalisasi yang
dijalankan dalam teks, tak ada ketunggalan sudut pandang akan peristiwa-peristiwa
yang dihadirkan. Jarak naratif (narrative
distance) menjadi teknik poetik yang dipakai dalam cerpen ini.
Penundaan-penundaan kepastian mewarnai cerita , dengan demikian Kolektor Mitos tidak menyajikan
ketunggalan ideologis. Logis dan magis dihadirkan bersamaan dan sejajar.
Penutup
Terkait dengan kehadiran
Jakarta dan Semarang sebagai latar cerita, begitu juga bahasa percakapan yang
digunakan oleh Otniel dan Adin yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, sejajar
dengan realisme dan magis. Jakarta sebagai pusat, Semarang sebagai daerah,
bahasa Indonesia sebagai bahasa formal dan bahasa Jawa (daerah) sebagai
informal. Jakarta diwakili Otniel yang logis, dan Semarang oleh Adin yang
percaya mistis. Artinya Jakarta adalah pusat logika, si kolektor mitos menurut
Otniel adalah pembohong besar, dan Semarang (daerah) hanyalah pinggiran. Tetapi
pusat tak kan ada tanpa pinggiran. Kolektor mitos yang tinggal di Jakarta juga
membutuhkan daerah pinggiran untuk mendapatkan kolektornya. Jakarta yang
diandaikan sebagai pusat logika tadi ternyata di dalamnya ada mistis-mistis,
ilogis-ilogis yang dikumpulkan: pusat ada dari rangkaian peripheral-peripheral.
Lebih lanjut, pusat dan pinggiran dalam hal ini tak dipertahankan dalam kutub
dikotomis, sesekali dipertemukan, dan akhir cerita juga narrasi menaklikkan
Otniel dengan ending yang mengaburkan identitas Otniel sebagai yang arogan
dengan logikanya.
Demikian pula yang
terjadi dalam dunia kepenulisan sastra di Indonesia. Untuk bisa menjadi penulis
Indonesia yang cukup diakui, maka dibutuhkan legitimasi dari penulis-penulis
Jakarta. Setidaknya secara wacana, tulisan
peripheral mengangkat yang dibicarakan di Jakarta. Katakan saja Salihara
sebagai komunitas yang di dalamnya menampung penulis-penulis ternama dan juga
orang-orang pakar dari sisi kebudayaan dan akademis. Pengaruh Salihara dalam
hal kepenulisan sastra kerab menjadi tolak ukur kekinian dan kemutakhiran
sastra. Maka masuk kedalam wacana yang ditebar Salihara akan membuat tulisan
mereka yang berasal dari daerah diperhitungkan dalam kancah sastra
Indonesia yang kekinian. Bukan sebuah
dosa masuk dalam regime of truth
Salihara untuk tumbuh menjadi mutakhir dan kekinian, tetapi dalam hal Kolektor Mitos, ini adalah strategi
eksistensi, strategi untuk hidup di dunia kompetitif kesusastraan Indonesia.
Bahkan, Bahriz cukup piawai memainkan realisme dan magis, sejarah dan fiksi,
dalam teknik defokalisasi yang mengaburkan substansi.
Daftar Pustaka
Aldea, Eva. 2011. Magical Realism and Deleuze: the
Indiscernibility of Difference in Postcolonial Literature. London: Continum
Literary Study
Evans, Ifor. 1976. A short History of English Literature.
Great Britain: C. Nicholls & Company Ltd.
Faris, Wendy B.,
2004. Ordinary Enchantments: Magical
Realism and the Remystification of Narrative. USA: Vanderbilt University
Press.
McHale, Brian. 1987. The Postmodernist Fiction. Britain:
Methuen & Co. Ltd
Hegerfeltdt, Anne C,
2005. Lies that tell the Truth: Realism
Seen through Contemporary Fiction from Britain. Amsterdam: Rodopi B.V
Flower, Rojer. 1987.A Dictionary of Modern Critical Terms.
London and New York: Routledge & Kegan Paul
Lyotard,
Jean-Francois. 2009. The Posmodern Condition: A Report on Knowledge
(Kondisi Posmodern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan, penerjemah Dian Vita
Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing
Pujiati,
Hat. 2009. Novel Enchanted dalam perspektif Posmodern; Brian McHale.
Universitas Gadjah Mada (sebagai syarat lulus meraih gelar Master)
amp.theguardian.com, diunduh 16 maret 2017, pukul 19.33 WIB
*Faruk terkutip dalam
tulisan ini diambil dari diskusi Realisme Magis di Pusat Sudi Kebudayaan pada 16-18
November 2016 (pelatihan teori dan metode diadakan oleh PSK UGM)