Tulisan initelah dipublikasi dalam prosiding berjudul "Sastra dan Perkembangan Media"
Diterbitkan oleh Himpunan Sarjana
Kesusasteraan Indonesia (HISKI) Komisariat Jember dan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Jember bekerjasama dengan Penerbit Ombak, Desember 2018
Halaman 559
FORMULA
ANTI-RADIKALISME
DALAM SASTRA PESANTREN DI AREA JEMBER-SITUBONDO-PROBOLINGGO JAWA TIMUR –
INDONESIA
Hat Pujiati, Irana Astutiningsih,
Eko Suwargono
FIB Universitas Jember
hatpujiati.sastra@unej.ac.id;
irananingsih@gmail.com;
kirengging@yahoo.co.id
Abstrak
Makalah ini merupakan bagian dari
penelitian kami yang berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model Kreativitas Sastra di Pesantren
Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk Pencegahan Radikalisme”. Model buku yang
kami hasilkan merupakan upaya memopulerkan deradikalisme melalui karya sastra
pesantren dengan menanamkan wacana religius-humanis dalam cerita yang
dihasilkan para penulis sastra pesantren di area Jember-Situbondo – Probolinggo
Jawa Timur-Indonesia. Tulisan ini mengevaluasi konstruksi deradikalisme dalam
sastra pesantren dalam buku model luaran riset kami sebagai sebuah formula
menggunakan teori formula oleh John Cawelti. Analisis elemen sastra pada tiap
karya dihubungkan dengan moral fantasi yang berlaku dalam karya sastra yang
sudah ada sehingga bisa ditelusuri konstruk-konstruk wacana yang ada di era dan
tempat karya diciptakan. Hasil dari riset ini menunjukkan fenomena keresahan
masyarakat yang berakar dari keresahan global era industri 4.0 mendorong
popularitas konservatisme agama yang kemudian dimanfaatkan arus politik.
Pemanfaatan konservatisme oleh politik ini lah yang meyebabkan radikalisme dan
diskriminasi yang berujung pada ketegangan antarumat beragama. Kembali
menanamkan nilai kultural, ekologis, ideologis, dan humanis menjadi alternatif
meredakan radikalisme agama dalam karya sastra pesantren.
Kata
kunci: radikalisme, sastra pesantren,
formula, anti-radikalisme, alternatif
559
A. PENDAHULUAN
Sebulan terakhir, polemik perda
syariah di beberapa daerah di Indonesia mencuat di media sosial. Pelaporan
Grace Natalie sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) atas dugaan
penistaan agama oleh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) menunjukkan
ketegangan antara kaum moderat dan konservatif di Indonesia. Grace dilaporkan
karena pernyataannya bahwa “partainya menolak Peraturan Daerah (perda)
berlandaskan agama seperti perda Syariah atau Perda Injil” (Junalpolitik.id,
2018). Alasan PSI yang dikemukanan Grace terhadap perda berlandaskan agama
seperti perda syariah tersebut karena rawan diskriminasi. Bagi mereka,
diskriminasi tidak dapat ditoleransi di negara demokratis seperti Indonesia
yang memiliki keragaman budaya, suku dan agama. Diskriminasi dalam peraturan
demikian justru mendorong pada perpecahan. Sementara itu pakar-pakar hukum
negara juga memberikan respon berragam terkait polemik ini. Ada yang pro dan
juga banyak yang kontra. Namun intinya, mereka setuju istilah perda syariah
segmentaris Islam sehingga rawan diskriminasi.
Ada sensibilitas masyarakat yang
meningkat terkait radikalisme agama di Indonesia saat ini. Tahun 2019
mendatang, dalam hitungan bulan, pesta demokrasi rakyat akan dilangsungkan. Dua
kandidat yang akan bersaing tak lain adalah para calon di masa pemilihan
sebelumnya. Dr. Michael Buehler seorang dosen perbandingan politik di SOAS (School of
Oriental and African Studies, University of London) Inggris pernah melakuakn penelitian di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Barat dan melahirkan buku The Politics of Shari’a Law (2016) menemukan bahwa gerakan oleh
kelompok-kelompok pegiat Islam yang
ada saat ini bukan merupakan lanjutan dari gerakan kelompok yang sama yang
pernah ada di Indonesia (Siregar, 2017). Munculnya perda-perda tersebut menurut
Buehler lebih pada pemanfaatan politik untuk meningkatkan elektabilitas
kelompok pegiat Islam di dunia politik. Perda-perda tersebut dalam temuan riset
Beuhler ternyata tidak menunjukkan perubahan ideologis dalam masyarakat, bahkan
cenderung itu diberlakukan oleh mereka yang tidak terlalu paham tentang syariah
itu sendiri (Siregar,2017). Konsekwensi dari popularitas perda syariah ini
justru menciptakan arogansi golongan yang merasa lebih Islam di antara yang
Islam, diskriminasi pun rentan merebak dalam penerapan perda-perda tersebut.
Masyarakat masa kini pun menjadi lebih rentan terhadap paparan berbagai
kepentingan yang disembunyikan di balik teks dengan pesatnya pertumbuhan
teknologi informasi yang serba elektronik, akses pun semakin mudah dan murah.
Menanggapi teknologi informasi
yang berkembang pesat, kami melihat sisi positif dari fenomena ini yaitu
kebisaan membaca masyarakat pun tumbuh. Netizen Indonesia adalah komunitas
besar yang tidak bisa diabaikan oleh
pemerhati ekonomi, sosial, budaya atau pun politik karena ini
menyababkan perubahan kultural. Hanya saja, kebiasaan membaca teks pendek pada
pesan-pesan personal melalui sosial media atau pun paparan singkat ini belum
dibuktikan penelitian mengenai korelasinya dengan kemampuan membaca kritis para
masyarakat yang telah akrab dengan teknologi komunikasi. Setidaknya melalui provokasi-provokasi
singkat di media sosial yang mengarahkan pembaca pada model yang kami tawarkan
menjadi motivasi kami dalam menciptakan model sastra pesantren yang peka
terhadap radikalisme sehingga bisa mengantipasinya dan memberikan
alternatif-alternatif pemikiran terhadap kekakuan pikir radikal. Dalam tulisan
ini kami akan memetakan formula antiradikalisme yang disajikan tulisan-tulisan
dalam buku model tersebut menggunakan teori formula oleh John Cawelti. Adapun
rumusan masalah yang kami susun untuk bisa membaca formula dalam buku model
tersebut adalah sebagai berikut: pertama, bagaimana struktur karya-karya dalam
buku model tersebut? Kedua, bagaimana pengetahuan tentang radikalisme dan
deradikalisme dihadirkan dalam tulisan-tulisan di buku model?
B. SASTRA DAN FORMULA OLEH JOHN CAWELTI
Cawelti melihat sastra sebagai sebuah struktur yang
tidak bisa dilepaskan dari budaya yang berkembang di sekitar penciptaannya.
Pola struktur sastra yang terikat dengan budaya, yang berarti juga terikat pada
masa dan tempat tertentu, disebutnya sebagai formula. Dengan kata lain, formula
ini merupakan arketip dari apa-apa yang sudah ada di sebuah masyarakat. Secara
umum, menurut Cawelti formula sastra merupakan struktur naratif atau konvensi
dramatik yang melibatkan karya-karya individual dalam jumlah besar (1976:5).
Formula sastra yang ada saat ini bisa berakar dari imaji-imaji, simbol-simbol,
tema atau pun mitos dari sebuah kebudayaan (Cawelti, 1976:16). Sastra sebagai
sebuah produk kebudayaan yang berupa imajinasi ini bagaimana pun tidak dapat
disamakan dengan kenyataan sebenarnya. Maka melalui sastra pembaca mengalami
sebuah eskapisme, atau pelarian dari kenyataan yang sebenarnya dan masuk ke
dalam dunia asing yang diciptakan dalam
Keterhubungan sastra dengan dunia nyata hadir dalam
struktur mikrokosmos cerita. Formula dengan demikian merupakan sebuah
strukturasi makrokosmos ke dalam mikrokosmos cerita sehingga penikmatan
terhadap karya dengan formula pada waktu tertentu bisa dinikmati atau bahkan
digandrungi oleh pembacanya. Bagaimana meramu pola sastra secara
artistik ini berkaitan dengan fenomena dalam masyarakat. Dengan demikian latar
kontekstual sastra sebagai modal estetis dalam formula tergantung pada pemaduan
dimensi eskapis yang ditawarkan pada audien agar mereka tetap bisa menikmati
dengan menemukan korelasi eskapisme tersebut dengan kenyataan (1976:34).
Dunia
rekaan dalam cerita, yang oleh Cawelti disebut sebagai pola fantasi, terbentuk
dari beragam ekspresi artistik sehingga membentuk konvensi akan fantasi.
Konstruksi mikrokosmos dalam cerita formulaik haruslah menekankan pada moral
fantasinya agar eskapis karena tujuan dari formula adalah ‘escape’. Moral fantasi dan mimesis sebagai formula utama dalam
konvensi formula sastra ini merupakan pemetaan mikrokosmos sebagai poros
eksistensi kontinum yang agak kompleks (1976;37). Untuk itu Cawelti
menyederhanakan moral fantasi dalam konvensi kontinum ini menjadi lima;
Petualangan (Advanture), Romance, Misteri, Melodrama dan makhluk
atau keadaan asing (Alien Being or States).
Moral fantasi petuangan berkisah seputar perjuangan hero dalam menumpas
kejahatan dan melalui rintangan hingga menggapai kemenangan, sementara Romance lebih menekankan perihal cinta
dimana semua aksi dalam cerita ditujukan untuk mengembangkan hubungan cinta
kasih. Misteri lebih pada pengungkapan rahasia, semua rintangan yang ada
menguji suspense yang dibangun dengan
kekuatan logika. Melodrama lebih pada gabungan kempat moral fantasi yang ada
dengan permasalahan yang problematis; petualangan, cinta, misteri dan Alien Being atau States. Sementara Alien Being
atau States menghadirkan makhluk atau
keadaan asing dalam cerita, genre horor adalah yang paling sering menggunakan
formula ini dengan kehadiran moster (1976; 37-50). Moral fantasi yang
disebutkan tersebut memiliki kebaruan-kebaruan sesuai perkembangan zaman dan
interaksi antar budaya satu dengan yang lain. Adapun peralatan sastra yang
kerab digunakan digunakan dalam menciptakan karya formulaik adalah sebagaimana
dinyatakan Cawelti berikut.
Much of
the artistry of formulaic literature involves the creator’s ability to plunge
us into a believable kind of excitement while, at the same time, confirming our
confidence that In the formulaic world things always work out as we want them
to. Three of the literary devices most often used by formulaic writers of all
kinds can serve as an illustration of this sort of artistic skill: suspense, Identification,
and the creating of a slightly removed, imaginary world (1976:16).
Terkait dengan apa yang telah
diuraikan Cawelti tersebut, maka metode yang mungkin dalam mengaplikasikan
teori ini ke dalam karya sastra adalah sebagai berikut. Pertama, pemetaan
struktur karya dengan memperhatikan konstruksi suspense, mengidentifikasi karakter dan hubungan emosionalnya
dengan kita sebagai pembaca untuk mengukur kedekatannya dengan dunia
mimetik sehingga bisa kita petakan posisinya dalam eskapisme atau kah masih
dalam area standar yang selama ini telah dibangun. Selain itu dunia imajiner
yang dibangun cerita juga merupakan elemen intrinsik penting dalam hal
konstruksi eskapis. Pembacaan formula tidak bisa dilepaskan dari aspek kultural
karena dasar teori formula ini terbentuk dari konvensi pola-pola cerita
(1970:30). Formula terbaca setelah setidaknya ada satu dasar popularitas dieliminasi.
C. PEMBAHASAN
Kontestasi dan Negosiasi Religiusitas dalam Sastra Pesantren
Seperti yang telah disampaikan Cawelti bahwa
formula adalah sejenis seni sastra (Cawelti, 1976:08) yang melihat bentuk
universal dari karya-karya yang ada atau arketipe. Artikel ini membahas elemen
sastra dari karya-karya dalam buku model dari suspense, identifikasi serta dunia imajiner yang ditawarkan.
2. Puisi-Puisi Halim Bahriz
Lima judul yang ditulis Bahriz
dalam antologi puisi dan cerpen buku model hasil penelitian berjudul Igauan Bantal yang Terbakar, Siklus Tasbih,
Hari yang Lupa Kami Tunggu Akhirnya Tiba,
Tabiat Mandat dan Peziarah Gaib. Sebagai sastra pesantren, karya-karya
tersebut menghadirkan ketuhanan dan kemanusiaan dari peristiwa yang sehari-hari
dalam beragama hingga masalah politik. Dari bentuk puisi yang bercerita hingga
puisi yang merupKn abstraksi pengalaman manusia yang taat hingga yang ‘galau’.
Puisi Hari yang Lupa Kami Tunggu itu Akhirnya Tiba mengisahkan
kecelakaan yang dialami seorang lelaki
di tepi danau, pengisahan digambarkan seperti layar monitor rekaman peristiwa
yang dikatakan “/Jalan sepi di pinggir
rawa cuma menyediakan cctv sebagai
penyadap cerita yang tak lengkap./” (Bahriz, 2015). Suspense dibangun dalam
peristiwa ini dengan pertanyaan siapakah lelaki itu. Bait-bait selanjutnya
mengisahkan ibu yang menyediakan bumbu untuk ikan-ikan hasil tangkapan ayah,
anak yang menonton televisi dan juga bermain gitar. Suasana rumah yang terkesan
rumahan ini menghadirkan dunia imajinasi yang biasa, penghadiran dunia paralel
antara fiksi dan kenyataan. Kehidupan keluarga menjadi sudut pandang tentang
kematian yang justru kebalikan dari hidup itu sendiri. Narator menggambarkan
kematian tokoh ayah yang datang tanpa pernah dibayangkan sebelumnya, kematian
selalu diidentikan dengan usia lanjut, sesuatu yang jauh dari mereka yang muda.
Namun sore itu, ayah mereka yang belumlah lanjut usia tiba pada definisi
kematian dan baru menyadarkan narator yang muda
bahwa kematian itu ada dan hari yang lupa mereka tunggu itu akhirnya
tiba. Bagaimana lupa dan kematian menginterupsi hidup yang menjadi kebiasaan dan
menghadirkan kekuasaan Tuhan yang bisa kapan saja terjadi. Peristiwa ini
menegaskan kuasa Tuhan atas manusia. Tetapi teks tersebut tidak menyoal lupa
sebagai dosa melainkan manusiawi.
Sedangkan dalam Tabiat Mandat, Igauan bantal Terbakar,
dan Peziarah Gaib, fantasi akan dunia ideal dimana Tuhan-manusia-alam dihadirkan
melalui hasrat kuasa yang tidak
pernah lahir tanpa penindasan (Hariatmoko,2015). Diri manusia dan hasratnya
dihadirkan dalam keterasingan, laju modernitas yang membangun jarak-jarak
kesadaran diri dengan keinginan dan tuntutan arus perubahan yang tergesa
menghapuskan hubungan-hubungan kontak langsung dengan hubungan kontak
elektronik. Diksi yang digunakan Bahriz dalam puisi-puisinya di antologi ini
misalnya copy paste, cctv, yang
keduanya mengacu pada barang-barang elektronik. Tentu saja diksi semacam ini
tidak akan lahir dalam puisi Chairil Anwar arau pun Emily Dickinson karena pada
era mereka hidup, teknologi belum mencapai tahapan elektronik. Bahkan dalam Igauan Bantal yang Terbakar Bahris
menuliskan sebagai berikut.
…
tapi
jangan juga kau
copy paste seruan seruan bung tomo, tanpa membayangkan bahwa butir butir pelor telah menjadi biji-biji tasbih yang berjalan 24
jam di ujung jari jari tangan para pemegang saham dan lubang meriam telah menjelma
rahang seorang pembesar parpol yang kata-katanya bisa meledak di saku celana
anak-anak kita kapan saja (Bahriz, 2016).
kata-kata pembesar parpol bisa
meledak di saku celana anak-anak merupakan ungkapan atas teknologi komunikasi
yang telah berkembang pesat dimana dengan gadget, siapa pun, di mana pun bisa
mengakses konten informasi apa saja tanpa saringan akan laju teknologi dan
perilaku manusia yang sulit dikendalikan dengan fasilitas-fasilitas kemudahan
mengaburkan keyataan dan ilusi. Manusia terasing di dunianya sendiri, di antara
barang-barang ciptaannya dan mengalami keterpecahan kesadaran di dunia yang
tadinya telah familiar baginya. Artinya perilaku manusia yang terjajah oleh
barang-barang ciptaanya ini perlu kendali yang bukan terbuat dari barang
elektronik, melainkan kembali pada fitrahnya sebagai manusia. Biji-biji tasbih
yang berputar di tangan pemegang saham tentu saja tidak dalam rangka zikir
mengingat Tuhan melainkan simbol ketuhanan yang mulai menghilang ditelan oleh
kehendak, kehendak kuasa dan keuntungan. Manusia butuh membedakan mana keadilan
dan mana perihal salah benar yang tak lain
merupakan konstruksi. Keterasingan itu akan berlanjut yang ujungnya
hanya akan menghadirkan schizophrenia
masal dan manusia kehilangan dirinya, ketenangan, serta tempat untuk hidup
karena alam yang tak lagi memenuhi kebutuhan dasar manusia. Puisi Siklus Tasbih berbunyi sebagai berikut.
satu
titik
yang
bahkan, ketika kau tinggalkan
kau tetap menuju kepadanya (Bahriz,
2015)
Hiruk pikuk dunia yang penuh kehendak dan
imaji-imajinya akhirnya hanya menuju pada satu titik. Ketuhanan yang tak
diliteralkan namun dituju. Apa yang diucapkan kerap kali hanya kamuflase,
kepura-puraan seperti diungkapkan dalam Tabiat
Mandat. Atas nama agama, seorang calon manusia mati bersama ibunya, anak
narrator yang dicap sebagai anjing jahiliah karena pengangguran dan tukang
mabuk oleh bapak kekasihnya yang seorang kyai. Tampilan luar kerap menyihir
orang kebanyakan dan memuja atribut, cangkang, atau status namun kehilangan
isi. Gambaran ini ada pada kyai yang dicium tangannya oleh masyarakat di
tempat-tempat umum, imam masjid namun gagal memanusiakan manusia lain yang
tidak satu pandangan, tidak di jalan yang sama dengannya. Bahriz menggambarkan
kebenaran-kebenaran semu yang dipuja namun kehilangan isi sebagai berikut.
sebentar! kulihat bapakmu sumringah di dekat pasar orang-orang menciumi
tangannya. mirip tabur kembang menanam wangi di tanah makam; yang paling
binatang tak mengendus busuk bangkainya lagi. mataku terbakar! teringat nasib
anak kita yang tak sempat punya nama. juga kematianmu—yang seakan wajar: o,
langit biru mengapa pada orang dungu mesti kami minta restu?
aku kembali, pak kyai, dengan lenguh ngilu yang berdenyutan di sumsum
tulang.
(Bahriz,
2015)
3. Puisi-Puisi Al-Falah yang Bertutur; Enigmatig dan Kritis
Supriandi yang tumbuh dan mengajar SMP di Ponpes
Al-Falah di Karangharjo-Jember bermain teka-teki kenyataan, kenangan dan hidup
dengan syurga yang maya namun diyakini ada. Kebersamaan hidup dipesantren
seperti dalam Kulluhum, teriakan
santri pada temannya ketika baru saja mendapat bekal kiriman dari keluarganya
di rumah. Tak perduli lauk apa,
asal makan cuma-cuma bersama-sama, kebahagiaan itu nyata bagi mereka.
Maria Ulfa Juga dari pesantren yang sama, dia menjadikan apa pun yang ada dalam
jangkau pandangnya sebagai objek untuk bertutur perihal tahapan hidup, Hikayat Pohon Rambutan dan puisi Tokoh di tangan Maria menjadi kisah
sederhana keseharian hidup di kampung yang tak asing dengan pohon rambutan,
petani, /anak kecil yang meraung nestap/,
interaksi yang muda dan tua begitu lepas. Kepentingan-kepentingan politik, usaha
perolehan suara para calon yang mengunjungi mereka yang di desa kerab
menggunakan para tetua desa atau imam-imam masjid. Dalam Tokoh, Maria
menggambarkan keresahan politik yang kerab mengatasnamakan agama sebagai
berikut.
Ada deru serta seru mengharu kalbu
Kepada kekuasaan, mereka temu pada tamu
Hujan dan pawangnya berlarian menjaga teduhnya para
orang
Menanam yakin di ladang desa
Sedang ketika ada emas di gubug hamba
Lupanya
tak bisa kita eja
Mungkin
memang begini,
Zaman jadi basah karena tangis menjadi bengis
(Ulfa, 2018)
Bakal
tambang di Silo-Jember yang tak jauh dari Al-Falah ini tak lain sebagai hasil
nego politik para penguasa. Puisi ini berbicara dari sisi mereka yang
menyayangi tanah mereka tempat hidup namun kekuasaan hendak merebutnya. Kritik
terhadap kebijakan yang tak berpihak pada mereka yang kecil juga muncul dalam
sastra pesantren yang tanpa mengungkapkan ketuhanan secara literal tetapi
kemanusiaan sebagai produk etis dari pengetahuan, keimanan dan hukum-hukum
dalam ajaran agama kerap diabaikan. Puisi-puisi Maria Ulfa ini menegosiasikan
kemanusiaan tanpa melepaskan religiusitas melalui peristiwa-peristiwa kecil
dalam hidup sehari-hari.
Nurul Jadid: Cerita-Cerita dengan Nilai Kultural dan Ekologis
Sementara senada dengan Maria,
Diyana Millah Islami dalam cerpennya Hadiah
dari Tamu juga menghadirkan peristiwa keseharian dan kritik terhadap sikap etis kebanyakan masyarakat yang
dihipnotis doxa. Kedatangan tamu tak
selalu membahagiakan, hadiah istimewa dari tamu juga tidak selau cocok dengan
keadaan penerimanya. Cerpen tersebut berkisah tentang tamu mantan tunangan
suami yang masih berhubungan baik dengan keluarga besar sang suami. Lilis
datang bersama keluarga besarnya ke tempat Rohim. Istri Rohim yang hidup
melarat, demi menyambut tamu jauh yang dihormati keluarga harus berhutang pada
tetangga untuk memberikan sajian yang pantas pada
tamu terhormat. Saat Lilis pulang, tak lupa dia memberikan
pakaian-pakaian mewah sebagai oleh-oleh pada keluarga Rohim, tapi istri Rohim
menjual pakaian-pakaian itu untuk membayar SPP anak kembarnya yang belum
terbayar, membayar hutang yang dipakai untuk menyiapkan sajian istimewa dan
juga untuk membeli kebutuhan. Istri Rohim yang menjadi narator ini
mengungkapkan kejengahannya hidup bermasyarakat yang berorientasi materi
sebagai berikut
Adat-istiadat di desa kami, jika sesorang diminta
bantuan di dapur untuk sebuah hajatan, maka orang yang diminta bantuan tenaga
itu wajib menyumbangkan bahan makanan. Bahan makanan itu akan diganti ketika
orang yang menyumbang tadi juga memiliki hajatan pada suatu hari nanti. Jika
orang yang diminta bantuan tidak memiliki apa-apa untuk disumbangankan, jangan
pernah berani untuk menampakkan batang hidungnya di tempat hajatan agar tidak
digunjingi.
Kebiasaan-kebiasaan antartetangga yang seperti itu,
seringkali membuatku merasa jengah hidup bermasyarakat. Semuanya serba butuh
materi. Sedikit-sedikit uang, apa-apa uang, yang kerap membuatku pusing di
pojok dapur. Dapurku yang asapnya tak setebal asap rokok suamiku (Islami,
2018:5).
Adat yang membebani seorang istri yang hanya bisa
menyabit rumput untuk pakan ternak, kesewenangan patriarki yang digambarkan
dalam asap dapur yang tak setebal asap rokok suaminya mengalir seolah wajar
dalam cerita. Perempuan yang harus patuh pada suami, pontang panting mengatur
kekuasaan domestiknya dimana suami yang bahkan secara adat dibenarkan merokok
banyak-banyak mengalahkan kebutuhan domestiknya digugat dalam cerita. Istri
Rohim pun memilih menegosiasikan keadaan domestiknya dengan kebiasaan atau
pandangan baik-tak baik dalam lingkungannya dengan menjual hadiah dari tamu.
Dia sadar risiko menjual hadiah dari Lilis akan dipandang bentuk kecemburuan
pada kisah masa lalu karena Lilis adalah mantan tunangan sang suami. Istri
Rohim melaporkan keadaannya, ternyata Rohim tidak keberatan dan memahami bahwa
keadaan domestik mereka lebih membutuhkan uang dari pada pakaian hadiah
tersebut.
Laila Haqy juga dari Nurul Jadid
dengan cerpennya Rebbe, yaitu nasi
tumpeng yang biasanyanya di buat di piring, sederhana dengan lauk seadanya dan
biasanya dibagikan pada tetangga atau guru setelah pihak yang mengadakan selamatan
berdoa, mengangkat persoalan kultural dalam kehidupan religius tanpa
menjadikannya ‘dosa’. Justru nasi rebbe
tersebut menjadi harapan si miskin yang sedang kelaparan. Dalam Puisinya Aku Suka Menari, Haqy tak segan
merayakan perasaannya dengan ‘menari’ yang membebaskan tubuh berekspresi tanpa
kungkungan justifikasi. /Aku suka menari/
diam-diam/
merayakan yang sering tak
terkatakan/ hingga tenggelam/ lupa/ mana kamar/ mana kolam/ lesap/ bersama
adzan/ kadang lonceng/ (Haqy, 2018). Adzan dan lonceng menghadirkan keragaman paham,
kendali terhadap tubuh pun diambil alih oleh pemilik tubuh sehingga paham tak
lagi atas nama. Ada terobosan-terobosan batas yang dibuat puisi ini namun tidak
radikal, tidak juga bid’ah, hanya kembali pada fitrah manusia yang juga butuh
pelepasan berekspresi.
Puisi-Puisi Baidawi, santri Nurul
Jadid ini banyak bicara cinta. Pesona alam yang juga bentuk kebesaran Tuhan
menginspirasi untuk merawat alam sebagai bagian dari hidup. Ada malu ketika
hendak mencemari kemegahan alam dengan kegemaran yang kerab tak dapat
dibendung; merokok. Dalam puisi Pagi Ini, Baidawi menggambarkan pagi sebagai
berikut:
…
Perlahan bias-bias temaram pagi merambat lereng hijau menjulang
Bunga-bunga mekar di sepanjang tepian jalan Gemericik air di pembatas ladang
dan pematang Memantik syukur di relung-relung terlalu alpa Lalu kuhirup dalam
Menginjak puntung yang gagal kunyalakan;
Oh
Nikmat
mana yang hendak kudustakan?
(Baidawi,
2018)
Sementara dalam Up-gradasi Doa, Baidawi kembali
memadukan perihal keimanan dan kemanusiaan selaras dengan alam. Ada usaha-usaha
mengingatkan hubungan manusia dan alam yang kerab dilupakan dalam era digital
ini agar doa bukan hanya dirapal, tapi laku dari doa harus dijalankan pula. Akan
ada masa tanah kering dan pohon sulit tumbuh dan masa itu adalah ketika /Angka-angka dijadikan rumus
kehidupan/Kata-kata dirangkai sebagai
hiburan/Menjadi teknologi pembaharuan/ //Barulah doa-doa dipahat pada
dinding-dinding/Dibaca layaknya mantra/Kemudian diamini (Baidawi, 2018).
Manusia-Tuhan-alam dalam puisi-puisi Baidawi mengindikasikan kesadaran
ekologis yang harusnya juga dijaga sebagaimana ajaran agama untuk menjaga
kehidupan itu sendiri.
Di puisi
Kumpulan 14, Baidawi lebih liar menghadirkan Tuhan dalam puisinya semacam larik
berikut: /Tuhan… ijinkan aku
menelanjangimu dengan caraku/Mencumbumu
dengan birahiku/Hingga aku tak mengenal waktu (Baidawi, 2018). Tuhan yang tak kasat mata hendak ditelanjangi, diumpamakan
Tuhan
hadir bertubuh dan berpakaian. Kebersatuan diri dengan Tuhan dilebur
oleh waktu sehingga tak ada lagi batas masa yang menghalangi antara diri dan
Tuhan. Kebebasan yang dihadirkan dalam puisi ini lebih pada penyatuan dengan Tuhan.
Ada ekstasi yang dibawa puisi melalui penghadiran Tuhan dalam wujud bahkan
hendak dicumbu.
5. Perenungan Keyakinan dan Laku dari Pesantren Salaf
Sementara Bismillah…!
(2018) Oleh Wilda Zakariyah, alumni ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-
Situbondo membangun dunia kepenulisan yang megah dalam cerita. Kaila
perlahan-lahan menggapai mimpinya untuk menjadi penulis berkelas Internasional
dan menikah dengan laki-laki yang juga punya kesamaan minat pada kepenulisan.
Ayah Kaila juga seorang penulis di rezim lalu dan tulisannya dianggap menentang
rezim sehingga dia pun terbunuh oleh tulisannya. Rezim berganti dan Kaila
melanjutkan kepenulisan tersebut pada saat menulis telah lebih bebas. Walau
pada kenyataannya dunia penerbitan di Indonesia tidak semeriah Inggris atau
Amerika dengan J.K Rowling atau Stephenie Meyer dan Suzanne Collins, cerpen
oleh Wilda ini menggambarkan penulis sebagai profesi menjanjikan. Sebagai
produk pesantren, judul-judul yang dibuat dalam cerita bernada islami seperi Habblun minannas dalam Politik dan Mendamba Jalan Lurus-Mu. Dunia keislaman dengan demikian juga memberikan alternatif profesi
menjanjikan. Ketegangan yang muncul sepanjang cerita bukan pada kecurigaan
warga saat ayah Kaila akhirnya dibunuh, karena kisah itu hanya kilasan masa
lalu. Suspense yang mendebarkan
justru pada ijin ibu bagi Kaila untuk menjadi penulis. Kekhawatiran Ibu akan
situasi politik Negara lah yang membuatnya berat mengijinkan anaknya menjadi
penulis. Dia takut akan kehilangan sekali lagi. Namun akhirnya cerita memberi
ruang eskapis dalam kesuksesan Kaila sebagai penulis.
Izzul Muttaqin juga ikut menulis
dalam kumpulan puisi model yang kami rangkai dalam luaran buku model kami ini. Kota Kata Kita memiliki diksi yang abstrak seperti / Kota kata kita/ Adalah
reruntuhan sajak/ -putus harap dari diksi-/ Membentang dari ujung pantai/
Menuju pegunungan/ Melipat dosa/Menukar logika (Izzul, 2018). Perenungan
filosofis masih menjadi ciri dari tulisan Izzul perihal Ketuhanan dan kebenaran-kebenaran yang menyertai dalam
ajaran agamanya (Pujiati, 2018). Sebelumnya, Izzul menulis novel berjudul Menggapai Kosong yang juga mengkritisi kepasrahan beragama dengan segala
aturannya yang telah ada sejak
manusia-manusia sebelum saat ini. Puisi Kota
Kata Kita ini menghadirkan kebersamaan, penerimaan pada yang berbeda tanpa
kecurigaan namun masih dalam keraguan bila ternyata itu adalah kesalahan. Lalu
/ roh kudus menghardikku/ padahal
pengambilan posisi untuk melebur dalam perbedaan
belumlah matang yang ditunjukkan oleh larik /Sementara aku, masih terpelintir/
Tanya pada lidah. Emosi yang ditampilkan dalam puisi ini fluktuatif.
Tarik ulur dan lebur atau tidak dilepaskan dalam harapan agar /…Kota Kata Kita menjelma mantra/ seperti kekuatan Tuhan mengubah segalanya
dalam /“Kun, maka Jadilah”/. Kekakuan dari jejak konservatif ruang-ruang
tumbuh Izzul di pesantren salaf menunjukkan kelenturan, semacam pintu selamat
datang pada perbedaan yang dengan takut-takut dibuka karena dikembalikan pada
Tuhan yang maha segalanya dengan sabda ajaibnya “Kun” maka semua yang
dikehendakinya pun terjadi. Apalah manusia dengan segala kekuatannya bila
dihadapkan pada “Kun!”.
Cawelti
memang tidak mencontohkan analisis menggunakan teori formula pada puisi. Dia
mengurai struktur natasi dalam fiksi dengan memetakan struktur narasi. Pemetaan
plot dalam seni sastra fokus pada suspense, identifikasi, dan dunia
imajiner. Dalam puisi aspek-aspek tersebut juga hadir, karena puisi juga
bercerita. Seperti puisi-puisi Halim Bahriz tersebut, alur berjalan melalui
peristiwa-peristiwa baik naratif realistis, abstrak, atau pun peristiwa yang
psikologis. Dari larik ke larik, saat mengisahkan cerita, ketegangan juga pop-up dan fluktuatif. Ini terjadi juga
pada puisi Baidawi yang melukiskan pesona
alam, keingintahuan pada apa selanjutnya dari paparan yang mimetis tersebut
memberikan kejutan-kejutan, entah jatuh pada linieritas dunia yang ini, yang
fana, yang fisik, atau pun pada pelepasan-pelepasan filosofis riligiusitas yang
cenderung surgawi, psikologis, abstrak dan etis. Peristiwa-peristiwa kecil
perihal kehidupan sehari-hari muncul dalam diksi yang mereka pakai. Sastra
pesantren yang identik dengan kehidupan tradisional dan islami menggiring pada
harapan akan kehadiran istilah-istilah dalam bahasa Arab yang bertebaran dalam
karya mereka, dan seperti yang telah distereotipekan bahwa mereka tradisional,
ternyata tidak terwujud. Era digital di tahap Industri 4.0, paparan media
sosial sebagai konsekwensi perkembangan teknologi informasi yang pesat ini
selain menyuburkan radikalisme yang mendoktrin masyarakat dalam jangkauan luas,
juga membentuk kecanggihan berbahasa para penulis. Dunia imajiner yang
dihadirkan juga kompleks. Religiusitas tidak selalu identik dengan istilah Arab
atau pun bahasa tinggi yang membedakan posisi antara manusia dan Tuhan. Tuhan
hadir dalam berbagai bentuk dalam tulisan-tulisan ini, kadang bertubuh, kadang
berupa keengganan karena merasa diawasi, atau sikap-sikap kritis tokoh cerita
terhadap adat seperti yang diungkapkan Diyana Millah dan Maria Ulfa.
Formula Anti-radikalisme dalam Sastra Pesantren; Penanaman Nilai
Kultural, Ekologis, Ideologis dan Humanis
Radikalisme dalam makna kamus
merupakan 1 paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham atau aliran
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis; 3 sikap
ekstrem dalam aliran politik (https://kbbi.web.id/radikalisme). Dalam
tulisan ini radikalisme lebih dimaksudkan pada kekakuan pada paham tertentu
yang cenderung politis dan menentang negara dengan kehendak menggantikan
presiden sebagai pimpinan Negara dengan kepemimpinan khilafah. Isu radikalisme
agama di Indonesia ini tumbuh subur dengan berbagai aksi idelogis melalui teks
di media sosial hingga pada aksi politis seperti 212. Objek materi dari tulisan
ini memang didesain untuk memberikan melawan wacana radikal namun formula
tulisan sepenuhnya di tangan para penulis. Alternatif-alternatif untuk melawan
radikalisme melalui karya sastra ini sangat tergantung pada pengetahuan yang
mereka miliki, lingkungan mereka tumbuh dan bergaul, dan abstraksi-abstraksi
yang mampu mereka lakukan sebagai upaya melawan radikalisme yang mengancam
keharmonisan bangsa. Artinya aspek kultural mengonstruk wacana-wacana yang
mereka hadirkan dalam sastra karena sastra memanglah sebuah produk kultural.
Para penulis tersebut mencatat
dalam karya mereka bahwa ketamakan, hasrat pada kuasa yang dicapai dengan
penindasan ini lah radikalisme yang menjadi lawan kemanusiaan. Sikap-sikap
religius pun hanya dijadikan tameng untuk mencapai kuasa. Oleh karenanya,
karya-karya ini menderadikalisasi yang radikal dengan cinta; dengan kembali
memanusiakan manusia dengan kemanusiaan dan memperhatikan kerangka-kerangka
fungsi diri sebagai manusia dan tanggungjawabnya pada manusia, Tuhan dan alam
sebagai wujud hidup itu sendiri. Isu kultural, Ekologis, ideologis dan humanis
pun menjadi pilihan mereka untuk mendudukkan perkara manusia dengan manusia,
Tuhan dan alam sebagai poros hidup. Ketiga poros hidup tersebut tidak bisa
dipisahkan dan sebenarnya ketiganya telah ada dalam mitos, cerita-cerita
rakyat, ajaran-ajaran nilai dan moral dalam masyarakat sebagai arketipe.
Kebaruan formula para penulis ini ada pada permainan diksi dan emosi serta
pemilihan materi penyampaian usaha eskapis dari yang telah ada. Kampanye anti
radikal sebagai sebuah gerakan yang membidik berbagai kalangan ini memakai
persoalan-persoalan sehari-hari (bukan tokoh dan peristiwa spesial semacam
Hercules, keluarga kerajaan, Perang Salib, atau pun Hijrah Nabi) untuk
memikirkan ulang hingga muncul sikap kritis terhadap kemungkinan-kemungkinan
lahirnya ketidakadilan. Radikalisme lahir atas dasar berbagai alasan, entah itu
ekonomis atau pun ideologis (Zaini, 2017). Ragam penawaran yang dilakukan para
penulis objek materi ini menjadikannya lebih mungkin efektif. Penawar
radikalisme diberi pilihan tergantung akar dari sikap radikal tersebut.
D. SIMPULAN
Dari pemetaan yang telah
dilakukan pada karya-karya santri dan alumni santri ini menunjukkan bahwa
religiusitas harusnya tidak ditumbuhkan terpisah antara manusia-Tuhan-alam.
Meyakini Tuhan seharusnya mampu menghargai perbedaan pada manusia karena
perbedaan pun merupakan ciptaan Tuhan yang menunjukkan kebesaran-Nya. Alam juga
demikian; keimanan harus bisa diikuti oleh laku yang tidak menghapus
situs-situs kebesaran dan kekuasaan Tuhan di alam raya. Kesadaran ekologis
sebenarnya telah ditanamkan dalam setiap ajaran religius. Merawat kebudayaan
juga menjadi salah satu cara dalam membina harmonisasi dalam masyarakat majemuk
yang humanis. Nilai-nilai kultural sesungguhnya pada tahapan filosofis juga
bertemu dengan angan-angan surgawi yang diharapkan dalam setiap ajaran
keagamaan sebagaimana yang dihadirkan Haqy dalam cerpennya Rebbe, Tuhan tidak absen pada nasi tumpeng jejak peradaban Hindu
itu. Perpecahan atas nama agama seharusnya memang tidak perlu hadir dalam
kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bahriz, Halim. 2015. Hari yang Lupa Kami Tungggu itu Akhirnya
Tiba. Naskah dibuat untuk buku model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam
Perspektif Santri: Model Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana
Religius-Humanis untuk Pencegahan Radikalisme.”
Bahriz, Halim. 2015. Sikulus Tasbih. Naskah dibuat untuk buku
model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Bahriz, Halim. 2015. Tabiat Mandat. Naskah dibuat untuk buku
model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Bahriz, Halim. 2016. Igauan Bantal yang Terbakar. Naskah
dibuat untuk buku model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif
Santri: Model Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis
untuk Pencegahan Radikalisme.”
Baidawi. 2017. Kumpulan 14. Naskah dibuat untuk buku
model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Baidawi. 2017. Up-gradasi Doa. Naskah dibuat untuk buku
model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Baidawi. 2018. Pagi Ini. Naskah dibuat untuk buku model
dari riset berjudul “Konstruksi Damai Dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Cawelti, John. 1976. Adventure, Mystery, and Romance; Formula
Stories as Art and Popular Culture.
Chicago: The University of Chicago Press.
Haqy, Laila. 2017. Rebbe. Naskah dibuat untuk buku model
dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Haqy, Laila. 2018. Aku Suka Menari. Naskah dibuat untuk
buku model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Haryatmoko. 2015. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis
Post-
Strukturalis. Yogyakarta:
Penerbit Boekoe Tcap Petroek.
Islami, Diyana Millah. 2018. Hadiah dari Tamu.Naskah dibuat untuk
buku model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Jurnalpolitik.id. 2018. Yusril: Indonesia Tak Kenal Istilah “Perda
Syariah”. (diakses pada 26 November 2018 di laman https://jurnalpolitik.
id/2018/11/26/yusril-indonesia-tak-mengenal-istilah-perda-syariah/ amp/)
Kamus KBBI. Diakses dari laman
https://kbbi.web.id/radikalisme
Muttaqin, Izzul. 2018. Kota Kata Kita. Naskah dibuat untuk buku
model dari riset berjudul “Konstruksi Damai Dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Pujiati, Hat. “Representasi
Radikalisme dan Deradikalisme Agama dalam Sastra Pesantren.” Jurnal Bahasa dan Sastra; Adabiyyat. Vol
II no. 1, Juni. Halaman 1-28. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Siregar, Liston P. 2017. “Mengapa
Perda Syariah Bermunculan di Indonesia Sejak 1998?” (diakses pada 26 November
2018 di laman https://www. bbc.com/indonesia/indonesia-39033231).
Supriandi. 2018. Kulluhum. Naskah dibuat untuk buku model
dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Supriandi. 2018. Sajak Maya. Naskah dibuat untuk buku
model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Ulfa, Maria. 2018. Hikayat Pohon Rambutan. Naskah dibuat
untuk buku model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri:
Model Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Ulfa, Maria. 2018. Tokoh. Naskah dibuat untuk buku model
dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
Zaini, Moh. Zuhri KH. 2017. Memahami dan Menangkal Kelompok Radikal Transnasional. Dalam Al-Fikr edisi
Oktober 2017.
Zakiyah, Wilda. 2018. Bismillah…!. Naskah dibuat untuk buku
model dari riset berjudul “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model
Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk
Pencegahan Radikalisme.”
No comments:
Post a Comment