Tuesday, December 3, 2019

REPRESENTASI RADIKALISME DAN DERADIKALISME AGAMA DALAM SASTRA PESANTREN



Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018, hlm. 73-98 ISSN (Online): 2549-2047, ISSN (Cetak): 2549-1482

REPRESENTASI RADIKALISME DAN DERADIKALISME AGAMA DALAM SASTRA PESANTREN1

Oleh
Hat Pujiati
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember,
Jl. Karimata No. 37 Jember, Jawa Timur-Indonesia,



Abstract

Radicalism is not only a challange to a nation-state system but also a threat to the diverse and tolerance of Indonesian. Even literary works are potential to be a site of meanings that fertilizes radicalism through narrations. Therefore, this article scrutinizes the ability of literary texts to support or to counter radicalism in Indonesia. The chosen Sastra Pesantren (Pesantren literature) in this research are Menggapai Kosong by Izzul Muttaqin and Rebbe by Laila Haqy. The focus of this research is ideological position of the author in presenting religious-humanist discourse as a formula of antiradicalism. The analysis is done through a mapping of religious-humanist discourse in the literary texts with considering historical moment and place of the production. Stuart Hall’s representation theory is used in this article. Through constructionist approach this research analyzes the ability of language system in contructing concepts in our minds or to make the material world is meaningfull. The result of this analysis shows that the two pesantren literary works has represented deradicalism as efforts to against religious radicalism. The policies of the government in fighting radicalism have important roles in constructing the divinity and culture of society as recorded by the Pesantren literature.

Keywords: Representation, radicalism, deradicalization, religious-humanist discourse, pesantren literature



1 Tulisan ini merupakan salah satu luaran dari riset penulis bersama Irana Astutiningsih dan Eko Suwargono sebagai anggota dengan judul riset “Konstruksi Damai dalam Perspektif Santri: Model Kreativitas Sastra di Pesantren Berbasis Wacana Religius-Humanis untuk Pencegahan Radikalisme.”

Hat Pujiati


Abstrak

Radikalisme bukan hanya merupakan tantangan terhadap sistem negara-bangsa, melainkan juga ancaman terhadap masyarakat Indonesia yang majemuk dan menjunjung toleransi. Karya sastra pun potensial untuk menjadi situs makna yang menyuburkan radikalisme. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan melihat kemampuan teks sastra sebagai pendorong maupun pencegah radikalisme di Indonesia. Sastra pesantren yang dipilih berjudul Menggapai Kosong oleh Izzul Muttaqin dan Rebbe oleh Laila Haqy. Tulisan ini menekankan perhatian pada wacana religius-humanis sebagai formula anti atau pro-radikalisme dalam karya dan wacana keindonesiaan yang mempengaruhi posisi ideologis pengarang. Artikel ini menggunakan teori representasi Stuart Hall dengan pendekatan konstruksionis untuk meneliti kemampuan sistem bahasa membangun konsep dalam pikiran atau memberi makna pada dunia material. Analisis dilakukan dengan memetakan wacana religious-humanis dalam karya tanpa mengabaikan waktu dan tempat tertentu pada produksi wacananya. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kedua karya fiksi pesantren telah merepresentasikan deradikalisasi dalam upayanya menghalau radikalisme agama. Kebijakan deradikalisasi dari pemerintah memiliki peran penting dalam membangun ketuhanan dan kebudayaan masyarakat sebagaimana direkam dalam dua karya sastra pesantren di atas.

Kata Kunci: Representasi, radikalisme, deradikalisasi, wacana religius-humanis, sastra pesantren

A. PENDAHULUAN

Bahasan mengenai sastra pesantren di Indonesia sempat mencuat kembali pada sekitar tahun 2008, saat kemunculan kembali karya-karya sastra bernuansa islami bermunculan. Novel Ayat-Ayat Cinta yang difilmkan pada tahun 2007 dan mulai tersebarnya penulis-penulis Forum Lingkar Pena (FLP) di berbagai daerah di Indonesia dan komunitas-komunitas orang Indonesia di berbagai negara dengan ciri ‘dakwah Islam’ di dalamnya membuat popularitas sastra bernuansa islami ini mengalami masa kejayaan (Tami, Faruk, dan Adi 2017).

Diskusi mengenai sastra dengan nuansa keislaman ini pun terus bergulir di media dan kajian-kajian ilmiah. Pesantren sebagai pusat pembelajaran ilmu berbasis Islam juga tak luput dari perayaan penulisan sastra yang sebenarnya memang dekat dengan keseharian mereka dalam


74                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



mempelajari Islam. Menurut Jamal D. Rahman (2008) dalam tulisannya, santri membaca puisi-puisi Arab dan doa-doa mereka juga dirangkai seperti puisi kemudian dinyanyikan setiap hari. Islam lahir pada masa kejayaan sastra Arab, kitab suci Islam pun ada dalam bahasa Arab yang indah, ayat-ayatnya berima. Secara historis, Jamal D. Rahman dalam tulisannya menghubungkan ayat pertama al-Qur`an yang merupakan perintah membaca (iqra`) dan menulis yang disimbolkan dengan qalam yang berarti pena. Menurutnya, sastra pesantren didefinisikan dalam tiga pengertian, yaitu:

(1)  sastra yang hidup di pesantren,…; (2) sastra yang ditulis oleh orang-orang (kiai, santri, alumni) pesantren; (3) sastra yang bertemakan pesantren, seperti Umi Kalsum Djamil Suherman, Geni Jora Abidah El-Khalieqy, dan Maria & Maryam Parahdiba. Dengan tiga pengertian itu, khazanah sastra pesantren mengalami perluasan dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun lingkungan pergaulannya (Rahman 2008).

Sastra yang hidup di pesantren adalah sastra yang ada kaitannya dengan al-Qur`an, seperti doa-doa yang dirangkai dalam bahasa indah dan berima, naẓm Imam Malik, puisi Abu Nawas, atau puisi Imam Syafi’i yang menggubah keimanan dan ajaran keislaman dan dibacakan setiap hari oleh santri. Sastra yang ditulis oleh orang-orang pesantren adalah definisi yang mengacu pada pelakunya, yaitu yang berasal dari pesantren. Sedang karya yang bertemakan pesantren adalah definisi yang tidak terikat dengan pelaku atau pengarangnya sehingga pengertian sastra pesantren tidak terbatas pada sastra yang dihasilkan orang pesantren tetapi juga yang bertema pesantren meskipun dihasilkan oleh orang luar pesantren.

Matapena adalah sebuah komunitas sastra yang memenuhi tiga kategori tersebut. Sementara FLP lebih luas lagi, dia tidak terbatas pada pesantren. FLP cenderung sebagai sebuah gerakan menulis yang mengangkat kehidupan Islami dengan motif kemandirian ekonomi sebagai alternatif dari kapitalisme. Target dan pasar FLP lebih luas daripada yang dikembangkan oleh Matapena. Lebih jauh lagi, Matapena ini pun berkembang dari yang bermula gerakan penulisan sastra pesantren, kemudian melahirkan matamovie dan matacafe (Khairur Rozikin 2017).

Komunitas Matapena ini juga melebarkan jejaringnya di daerah-daerah dengan basecamp pesantren. Namun Matapena yang berpusat di



SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
75

Hat Pujiati


Yogyakarta ini tidak hanya diikuti oleh mereka yang sedang atau pun pernah tinggal di pesantren. Orang-orang di luar pesantren yang memiliki ketertarikan pada sastra pesantren ini pun juga tergabung di dalamnya. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi mayoritas aktivis Matapena. Sayangnya, pada tahun 2014 para aktivis ini mulai nonaktif, ada yang karena mereka telah menyelesaikan kuliah di UIN dan pulang kampung, ada yang hijrah ke Jakarta untuk meraih cita-cita, atau pun sekolah ke luar negeri, yang artinya melepaskan Matapena di Yogyakarta. Permasalahan internal terkait manajemen tampaknya juga membelit komunitas ini hingga aset-aset Matapena seperti kantor percetakan dan kafe mereka juga akhirnya lepas (Wawancara dengan Khairur Rozikin 2017). Para alumni Matapena juga banyak yang masih berusaha mengaktifkan gerakan literasi di berbagai daerah yang saat ini gerakan mereka lebih parsial, belum lagi menjejaring seperti di masa kejayaan Matapena.

Salah satu komunitas menulis pesantren yang saat ini masih aktif di Yogyakarta adalah Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Pesantren yang berdiri tahun 2003 ini mengondisikan para santri untuk menulis. Kegiatan sehari-hari mereka selain mengaji dan berperan serta dalam acara-acara keagamaan di sebuah kampung di daerah Bantul, mereka secara rutin berdiskusi mengenai hal-hal terkini di media massa, membedah tulisan anggota, dan juga menyiapkan topik untuk ditulis pada momentum-momentum tertentu karena target mereka adalah menulis dan dimuat di media masa.

Para santri putra yang ada di pesantren ini tidak lagi mengandalkan kiriman orang tua untuk hidup di pesantren dan kuliah, tetapi berjuang melalui tulisan untuk hidup. Banyak dari mereka telah menerbitkan buku dan memenangkan lomba menulis di berbagai daerah. Saat ini santri Kutub ini tidak sebanyak pada tahun sebelumnya. Jumlah mereka saat ini sekitar 25 orang, tetapi tetap produktif menulis. Selain menulis sastra, mereka juga menulis untuk kolom opini dan budaya yang biasanya disediakan oleh media. Karya sastra yang mereka hasilkan tidak lagi sibuk dengan identitas pesantren atau keislaman mereka. Persoalan sastra sebagai sastra menjadi bagian dari tulisan mereka. Daruz Armedian, salah satu santri aktif Kutub, baru saja memenangkan Sayembara Sastra Dewan



76                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



Kesenian Jawa Timur 2017 dengan kumpulan puisinya berjudul Dari Batu Jatuh Sampai Pelabuhan Rubuh.

Dengan membawa lokalitas Tuban, Jawa Timur, sebagai materi puisi-puisinya, Armedian mampu memuisikan keseharian masyarakat, cerita-cerita rakyat, dan permainan tradisional dalam bahasa puisi. Semisal puisi berjudul Sut Dinjeng berikut.

/Dengan kelingking kuadu kelingking/ Sebagai semut penantang maut/ Puji Tuhan, jika jempol kau tegakkan/ Jadi gajah rapuh terpiuh angin tanpa angan/ Tak lain, kamulah yang kalah/Mungkin entah, kalau telunjuk kau tunjuk/ Sebagai manusia/ Sebagai makhluk digdaya/ Semut penantang maut dari kelingkingku/ Hanya rambut yang tercerabut/ (Armedian 2017, 65).

Puisi tersebut mengisahkan permainan tradisional yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan suit. Untuk menentukan pemenang atau urutan pemain dalam sebuah permainan biasanya diadakan suit. Puisi di atas menceritakan peran-peran jemari yang digunakan untuk suit, kelingking bila diadu dengan ibu jari, maka kelingking yang menang karena kelingking mewakili semut, ibu jari mewakili gajah. Bila gajah digigit semut diyakini ia takkan sanggup bertahan, apa lagi bagian-bagian vitalnya, semisal telinga, hidung, atau mata yang digigit semut, maka dipastikan gajah kalah. Namun, telunjuk merepresentasi manusia sehingga semut kalah olehnya, tetapi manusia kalah dari gajah.

Muhammad Ma’mun sebagai pengasuh pesantren al-Falah di Jember yang juga pembaca serta penikmat sastra mengatakan bahwa kebanyakan “sastra pesantren” masih sibuk dengan identitas, maka kesibukan dengan identitas dalam bersastra membuat sastra pesantren ini mengabaikan kesastraannya (Ma’mun 2017). Akan tetapi, bila karya Armedian tersebut dianggap sastra pesantren karena ditulis oleh santri yang tinggal di Pesantren Hasyim Asy’ari ini bukan termasuk yang dikatakan oleh Muhammad Ma’mun.

Dari fenomena santri bersastra di atas dapat dikatakan bahwa sastra pesantren memang tidak selalu bicara tentang kehidupan sebagai santri, tidak juga selalu sastra yang terkait dengan sejarah Islam dan perkara pujian pada Tuhan dalam syair-syair indah. Sastra pesantren juga bisa seperti yang ditulis para santri di Komunitas Kutub, tidak banyak istilah keislaman, bahkan tak ada juga muncul bahasa Arab yang berdalih ajaran.



SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
77

Hat Pujiati


Dakwah itu tidak muncul dalam bentuk seruan satu iman, akan tetapi lebih pada perihal kemanusiaan. Sastra pesantren pada definisi kategori ketiga yang ditawarkan Jamal D. Rahman memberikan lingkup yang luas, bahwa sastra pesantren bisa ditulis oleh siapa saja selama itu tentang pesantren, namun pada definisi kategori kedua, orang-orang di pesantren juga bisa menulis tentang tema apa saja.

Bila karya tersebut ditulis oleh santri atau pun alumni pesantren dan tidak lagi bicara perihal pesantren apakah masih penting untuk dikategorikan sebagai sastra pesantren. Misalnya, karya-karya Mahwi Air Tawar (alumnus Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari sebagai basis Kutub) dalam Karapan Laut yang tidak bersangkuat paut kehidupan pesantren, atau pun kumpulan puisi Armedian yang tak bicara kesantrian atau ketuhanan dalam terma-terma pesantren apakah juga masih masuk kategori sastra pesantren. Dengan demikian, istilah sastra pesantren seperti yang ditawarkan Rahman perlu dikaji ulang pada butir-butir yang ditawarkan. Sastra pesantren perlu dikembalikan pada keadaan yang tidak berbingkai.

Dalam tulisan ini, istilah sastra pesantren digunakan karena objek material yang dikaji masih dalam koridor butir dua dan tiga dari yang ditawarkan oleh Rahman. Menggapai Kosong adalah sebuah novel karya Izzul Muttaqin, seorang santri di Pondok Pesantren Salafiah Syafi’iyah di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Novel ini mengisahkan tentang perjalanan Fatih untuk menguatkan hatinya pada agama yang dipilihnya. Fatih bertemu Afkar dalam perjalanan suci mencari kebenaran agama menuju pesantren ke pesantren. Novel ini menyebutkan korelasi antara usaha Fatih mencari kebenaran agama dan kisah Nabi Ibrahim a.s. sebagai model. Dalam perjalanan mencari pengetahuan tersebut, mereka bertemu Kaif. Kaif adalah seorang dosen sejarah Islam di sebuah universitas, seorang janda, dan ateis dengan satu anak yang autis. Perempuan kedua yang hadir dalam kehidupan Fatih adalah Rabiah, putri kiai sebuah pesantren besar. Kedua perempuan itu sama-sama gagal menikah dengan Fatih yang akhirnya mati saat di penjara.

Sementara itu, Rebbe adalah cerpen karya Laila Haqy yang juga pegiat Lembaga Kajian Sastra Perempuan (LKSP) di Pondok Pesantren “Nurul Jadid” Paiton. Cerpen ini mengisahkan tentang keluarga miskin



78                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



yang kelaparan. Bulhaq, sebagai kepala keluarga yang menjadi tulang pungung keluarga telah beberapa hari sakit sehingga tidak bisa bekerja. Libur bekerja berarti libur mendapatkan bayaran, sementara makanan tidak mampu lagi terbeli, dan sang istri pun telah malu berhutang mengingat saudara dan tetangganya juga tidak mudah menghasilkan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Pada malam Jumat, mereka berharap nasi rebbe, saji selamatan yang biasa dibagikan tetangga mereka selepas magrib usai mengaji. Persiapan menyambut rebbe telah dilakukan sejak sore, istri Bulhaq memasak sayur kelor hasil ramban di pekarangan rumahnya seperti yang dibayangkan suaminya. Hingga anak-anak mereka pulang mengaji, nasi rebbe rupanya tak juga sampai ke rumah mereka. Malam itu mereka akhirnya makan nasi bungkus yang dibawa anaknya dari langgar tempat mereka mengaji. Si sulung mengatakan ada temannya yang sedang syukuran khatam al-Qur`an dan mereka mendapat nasi tersebut, padahal si sulung menjual kerudung pemberian pak haji, gurunya, pada teman mengajinya untuk bisa membeli dua bungkus nasi untuk orang tuanya.

Kedua karya fiksi di atas merepresentasikan radikalisme dan deradikalisasi agama, mengingat radikalisme agama menjadi isu penting pada era kekinian dalam kehidupan kontemporer, juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai objek material, kedua karya fiksi pesanten di atas akan dianalisis dengan menggunakan teori representasi Stuart Hall dengan menggunakan pendekatan konstruksionis.

Teori dan pendekatan tersebut digunakan untuk menjawab permasalahan apakah karya-karya sastra bernuansa islami yang menjadi objek tulisan ini mendukung radikalisme agama di Indonesia atau justru sebaliknya. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimana representasi religiusitas dan kemanusiaan dalam Menggapai Kosong dan Rebbe? Seperti apa konstruksi wacana keindonesiaan yang berpengaruh pada posisi ideologis pengarang dalam Menggapai Kosong dan Rebbe?

B. SASTRA SEBAGAI REPRESENTASI BUDAYA

Stuart Hall (1997, 15) memperkenalkan konsep representasi sebagai produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam benak ke dalam



SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
79

Hat Pujiati


bahasa. Dalam produksi tersebut, konsep yang abstrak dan ada dalam benak terhubung dengan dunia nyata yang menjadi wahana bagi keberadaan objek, manusia dan peristiwa. Atau sebaliknya, dalam produksi makna itu terjadi proses fiksionalisasi akan kenyataan; objek, manusia, dan peristiwa. Dengan demikian, ada dua proses terlibat dalam pemaknaan. Pertama, sistem yang menghubungkan objek, manusia dan peristiwa dengan konsep mental atau mental representation yang ada dalam benak kita. Dengan kata lain kita memaknai dunia dengan membangun hubungan setara pada hal-hal di dunia dengan apa yang ada dalam sistem konseptual kita. Kedua, sistem yang disebut dengan language representation yang mana bahasa merupakan sistem yang terlibat dalam keseluruhan proses pemaknaan. Komunikasi terjadi ketika manusia mampu menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk bahasa, sehingga pikiran konseptual itu bisa dihubungkan dengan tanda (kata-kata, ujaran, suara atau pun imaji visual-bahasa). Sementara, tanda-tanda tersebut mewakili konsep dan relasi konseptual yang ada dalam benak kita untuk membentuk makna, inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem representasi dalam kebudayaan (Hall 1997, 17–18). Pendeknya, representasi merupakan proses relasi pembentukan makna antara objek, konsep dan tanda.

Representasi beroperasi melalui bahasa dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan reflektif, intensional, dan konstruksionis. Pendekatan reflektif memahami makna sebagai hal yang melekat pada objek, person, ide, atau pun peristiwa di dunia nyata dan memfungsikan bahasa sebagai cermin yang merefleksikan kebenaran makna yang telah ada di dunia (Hall 1997, 24).

Pemahaman bahwa bahasa merefleksikan kebenaran makna yang telah ada ini juga dikenal sebagai mimetik. Sementara, pendekatan intensional menekankan peran author dalam pembentukan makna. Padahal, bahasa bukanlah berfungsi personal karena bahasa merupakan sebuah sistem sosial. Dalam sistem ini, kode-kode dan konvensi kebahasaan dibagi dengan sesama pengguna bahasa sehingga makna itu terbentuk (Hall 1997, 24–26).

Dengan demikian, maka pendekatan intensional ini lemah, demikian pula pendekatan reflektif yang mengandaikan semua hal yang



80                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



dapat diungkapkan dalam bahasa bisa dicari referensinya di dalam realita serta realitas. Ia dianggap mampu menjelaskan perbedaan persepsi orang-orang dengan latar kultural yang berbeda yang juga tidak dapat dijamin terpenuhi. Sedangkan pendekatan yang ketiga, yaitu pendekatan konstruksionis, menawarkan penyelesaian masalah pada kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan konstruksionis ini merupakan pendekatan yang menempatkan representasi sebagai produksi makna melalui bahasa.

Hall (1997) menawarkan dua model pendekatan dalam pendekatan konstruksionis, yaitu semiotik Barthesian yang berakar dari tradisi Saussure dan pendekatan diskursif Foucault. Model semiotik ini menempatkan makna sebagai sesuatu yang ahistoris, dan dibentuk dari rangkaian tanda. Sementara wacana model diskursif justru sebaliknya. Foucault melihat bahwa makna bukanlah bahasa, akan tetapi sebuah sistem representasi dan makna itu ada dalam wacana. Wacana dibentuk oleh formasi diskursif; pengetahuan mengenai sesuatu hal dibangun dari banyak teks, objek, peristiwa yang berbeda. Namun, mereka terhubung pada referensi objek, gaya, strategi yang sama sehingga menjadi pusat yang mengendalikan. Dalam formasi diskursif tersebut, wacana mengatur apa-apa yang boleh dan tidak boleh melalui eksklusi dan inklusi. Terbentuknya pengetahuan membawa kekuasaan yang pada gilirannya membentuk kebenaran yang memproduksi realita berupa aturan-aturan dan tindakan. Pengetahuan juga dilanggengkan terus menerus oleh formasi diskursif sehingga membentuk rezim kebenaran. Haryatmoko (2015, 13) menyebut upaya menaturalisasi rezim kebenaran sebagai manajemen kekuasaan yang tidak mungkin ritus-ritus kebenaran sebagai buah kekuasaan mengabaikan pengetahuan semisal dalam “tes, wawancara, jejak pendapat, dan konsultasi”.

Dengan demikian, karya sastra dalam tulisan ini dapat dipandang sebagai sebuah representasi. Dengan kata lain, sastra sebagai objek merupakan situs konstruksi makna yang harus didudukkan dalam konteks agar mikrokosmos yang melingkupi makna tersebut terbaca dalam kerangka etnografis, mengingat sastra adalah produk kultural. Sastra sebagai teks tidak bisa dilepaskan dari konteks yang tentu terhubung dengan wacana-wacana lain yang serupa dalam satu zaman, sehingga



SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
81

Hat Pujiati


membentuk rezim kebenaran dan menciptakan pengetahuan yang terhubung dengan kuasa masyarakat. Pemaknaan dari representasi ini pun dilihat secara diskursif seperti yang dimodelkan Hall dengan diskursif Foucault; melihat formasi diskursif yang dibentuk dari teks dengan menghubungkan teks dengan hal-hal yang ada di luar teks.

C. REPRESENTASI RELIGIUS DAN KEMANUSIAAN DALAM KARYA

1.    Agama dan Kebenaran dalam Novel Menggapai Kosong Karya Izzul Muttaqin

Diceritakan dalam novel bahwa menganut agama warisan tidak menjadikan Fatih, tokoh dalam novel, menerima dan meyakini agama yang dianutnya begitu saja. Ia pun melakukan perjalanan suci untuk memupuk keyakinannya akan kebenaran agamanya dengan belajar di beberapa pesantren setelah selama hidupnya dibimbing sang kakek. Diceritakan, Fatih adalah cucu seorang laki-laki yang memiliki ilmu agama mumpuni, tetapi ia lebih memilih hidup di desa terpencil bernama Kasunanan.

Fatih sering dipanggil Anak Haram pada masa lalu karena Fatih tidak terlahir dari pasangan suami istri yang sah, tetapi akibat perzinaan yang dalam agama merupakan perbuatan terlarang. Kepedihan Fatih sebagai anak haram membuatnya terus mempertanyakan kebenaran akan Tuhan dan aturannya, sebagaimana dinarasikan sebagai berikut:

Memang, dalam Islam anak zina tak mempunyai nasab terhadap sang ayah. Begitu rendahnya keadaan seorang sepertinya. Bahkan seandainya saja ia seorang perempuan, laki-laki yang telah menggauli sang ibunda pun dihalalkan untuk menikahinya, lalu manusia macam apa ia. Manusia mana yang kelak mau bertengger di bahunya sebagai pendamping. Bukankah Tuhan telah menegaskan bahwa laki-laki yang baik hanyalah untuk perempuan-perempuan yang baik pula. Lalu bagaimanakah status dirinya sebagai seorang manusia, haruskah ada perbedaan, diskriminasi mungkin?! Sungguh tak adil (Muttaqin 2016, 6–7).

Kutipan tersebut mendasari kegelisahan Fatih akan kebenaran-kebenaran yang ada dalam ajaran agamanya dan mulai mempertanyakan keadilan. Ia ingin merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya yang terus gagal. Setiap pertanyaan-pertanyaan kritisnya tentang Tuhan muncul dalam dirinya. Antara yang ada dalam ajaran agamanya dan apa yang



82                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



dialaminya tidak lah membuatnya nyaman, apalagi posisinya sebagai anak yang lahir di luar nikah.

Lingkungan sosial dan pengetahuannya tidak menemukan posisi yang meringankan dirinya sebagai manusia yang hanya jadi objek dalam regulasi wacana surga neraka. Pelanggaran-pelanggaran pun diwacanakan dalam novel ini seperti kehadiran Kaif yang ateis dan menjadi lawan diskusi Fatih dalam keraguan-keraguan untuk mencari kebenaran agamanya.

Kaif adalah janda. Namun, ia hidup satu rumah dengan Fatih dan Afkar, yaitu lelaki muda teman seperjalanan Fatih. Dalam masyarakat kebanyakan, pemuda dan janda tinggal di bawah satu atap bukanlah hal yang dibenarkan. Namun kisah dalam novel ini tidak membenarkan prasangka masyarakat mengenai kemungkinan perilaku cabul saat lelaki dan perempuan yang bukan muhrim berada di bawah satu atap yang sama.

Islam juga membatasi dengan tegas perihal hubungan, perilaku lelaki dan perempuan yang boleh dan yang tidak boleh. Bahkan, dalam kehidupan pesantren dan sekolah-sekolah berbasis Islam sering memisahkan keduanya. Sementara, novel ini menunjukkan bahwa perkara batasan lelaki dan perempuan tak ada yang perlu ditakutkan, selain persoalan yang berkaitan dengan masyarakat.

Dalam novel, aturan agama mengenai batasan perilaku kedua jenis kelamin tidak diterjemahkan secara kaku, kebersamaan itu tidak masalah sejauh tidak merugikan kedua belah pihak. Hanya saja perihal ‘tak apa’ tersebut tidak langgeng dalam cerita, dikarenakan ada cinta yang kemudian muncul antara Fatih dan Kaif. Fatih pun melanjutkan perjalanan menuju pesantren Kiai Syu’aib di Merapen, alih-alih membiarkan kasih antara mereka tumbuh.

Dengan demikian, kontak fisik atas nama cinta dan hasrat itu tidak terjadi di dalam rumah Kaif yang dilepas dari pantauan masyarakat. Namun, kasih yang tumbuh di antara mereka menunjukkan bahwa apa yang dikhawatirkan masyarakat, apa yang diantisipasi agama memang benar bisa terjadi. Artinya, setelah penyangkalan, penerimaan atas apa yang disangkal dalam hal ini terjadi secara kronologis. Tuhan yang dihadirkan tidak adil, Tuhan yang terlalu khawatir dengan hasrat manusia memang harus dikhawatirkan maka Fatih pun mencegah yang



SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
83

Hat Pujiati


dikhawatirkan itu terjadi dengan kepergiannya melanjutkan kebenaran agama yang dianutnya.

Di Merapen, Fatih bertemu Rabiah di antara usaha kerasnya belajar untuk menemukan dan merasakan Tuhan dalam dirinya. Dalam sebuah acara, ia melihat Rabiah yang berjubah dan bercadar hingga tampak mengagumkan bagi Fatih dan Afkar sebagaimana kutipan berikut.

Shalat tidak segera dimulai, Fatih bersama Afkar yang masih tergolong santri baru, terus memandang takjub para bidadari-bidadari dengan aurat yang tertutup rapat, kontras sekali dengan keadaan perempuan yang sering ia temukan di luar. “Ini adalah perempuan-perempuan ahlul jannah yang akan menemani manusia-manusia sholeh di surga nanti.” Fatih sepakat dengan apa yang Afkar katakan. Di luar sana sudah sangat jarang perempuan-perempuan seperti mereka, dengan jubah dan cadar yang seakan menunjukkan bahwa jiwa dan raga mereka masih suci dan tidak musta’mal dari pandangan-pandangan para lelaki yang bukan mahromnya (Muttaqin 2016, 82).

Perempuan seperti Kaif, yang cerdas dan kritis menjadi ateis dan menjadi teman diskusi yang setara dengan Fatih yang lelaki. Sementara dalam kutipan tersebut, perempuan kembali diobjektifikasi dengan menegaskan perempuan kelak akan menemani manusia saleh. Kata menemani merupakan kata kerja aktif, tetapi kata itu dalam kalimat tersebut bermakna pelengkap. Menemani berarti perempuan tidak berperan utama, ia hanya sebagai pendamping lelaki di surga. Mereka yang berjubah dan bercadar dibayangkan masih suci dari pandangan lelaki, artinya perempuan yang dipandang maka dia tak lagi suci. Pelaku (yang memandang) sama sekali tak dikenai sanksi tetapi justru sanksi itu dijatuhkan pada objek pandangan. Muslimah yang berjubah dan bercadar, ini menunjukkan identitas golongan Islam yang penuh kehati-hatian dalam menerapkan aturan agama. Rabiah adalah salah satu di antara perempuan yang ada di masjid malam itu yang berarti ia pun berjubah dan bercadar.

Selanjutnya, kisah kasih Rabiah-Fatih juga kandas karena ketakutan Fatih pada kenyataan dirinya yang anak haram, yang marginal di dalam doxa agama, yang tak sepadan secara sosial dengan Rabiah. Fatih meninggalkan Rabiah yang kemudian gila. Fatih kembali diselamatkan Kaif, hingga Kaif memilih Islam sebagai agamanya seperti yang dianut Fatih. Nasib sial Rabiah pun berlanjut karena dia diperkosa Afkar.

Kemarahan membakar Fatih sehingga ia pun membunuh Afkar. Lalu ia kembali pada Rabiah, tetapi diciduk polisi dan dipenjara. Di akhir


84                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



cerita, Rabiah dan Kaif tidak bersama Fatih karena Fatih meninggal. Perempuan-perempuan itu mandiri dengan pengetahuan yang dimiliki. Tidak ada satu pun di antara mereka yang menikah, dan mereka mengabdikan diri pada kemanusiaan. Rabiah menjadi penulis, Kaif mendirikan komunitas pengkajian lintas agama.

Rabiah yang semula diagungkan karena berjubah dan bercadar, di dalam cerita dibuat oleh pengarang menjadi gila, bahkan nasibnya dibangun lebih tragis lagi dengan kenestapaannya yang diabaikan Fatih dan diperkosa Afkar. Di dalam cerita, kedekatan Fatih dan Rabiah kemudian tidak lagi menunjukkan bahwa Rabiah bercadar. Fatih melihat wajahnya di dapur, kemudian terjadilah usaha-usaha bertemu yang lebih dekat.

Peristiwa ini menunjukkan bila Fatih yang mengagungkan kesucian para calon penghuni jannah itu juga membongkarnya dengan balutan kisah cinta berhasrat sebagai manusia. Dan kesucian yang dibangun dari pernyataan-pernyataan itu dihancurkan dengan kegilaan pada keagungan cinta manusia hingga juga penghukuman pada pengagungan tersebut dengan nasib sial dengan peristiwa pemerkosaan Rabiah oleh Afkar.

Yang terjadi pada Kaif juga tidak jauh berbeda. Kaif sebagai orang pintar, ia janda ateis dan mandiri dengan anak autisme yang di dalam cerita diposisikan sebagai sebuah cacat mental. Bahkan, kemudian penerimaannya pada Islam sebagai pilihan agamanya menegaskan bahwa novel ini masih ada keraguan (ketakutan?) terhadap perbedaan sehingga Kaif harus dikonversi ke dalam mayoritas.

Pada isu konversi agama ini, Menggapai Kosong mengingatkan pada Ayat-Ayat Cinta (AAC) ketika Maria diislamkan demi cinta. Hanya saja, AAC mengakhiri kisah Maria dengan kematian setelah konversi dan dipenuhi keinginannya akan cinta (Fahri). Sementara pada Menggapai Kosong, Kaif dibebaskan dari tekanan norma masyarakat bahwa janda harus disantuni, janda itu lemah sehingga harus ditopang.

Kaif mengabdikan diri pada kemanusiaan dan tetap dengan status sendiri (single), justru Fatih sang pencari kebenaran yang mati. Rabiah pun dihukum dengan nasib buruk, kegilaan dan penolakan dibebaskan dengan menjadi penulis, menikmati hidupnya dengan belajar dan mengutarakan pikirannya dalam tulisan yang disebarkan pada dunia. Tarik



SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
85

Hat Pujiati


ulur perihal posisi perempuan yang terjadi dalam cerita ini ditutup dengan kemandirian yang berarti juga kebebasan dan kematian Fatih sang phalus yang memandang, memilih dan memutuskan. Bahkan, di akhir cerita dinyatakan sebagai berikut:

Ternyata agama tak jauh berbeda dengan cinta. Lahir di hati penganutnya dari bibit-bibit keyakinan, tumbuh dengan makna yang begitu dalam, besar dengan ketulusan dan saling mengerti. Jika agama mengajarkan hakikat, maka cinta pun demikian. Dan manusia yang utuh adalah mereka yang dapat merasakan kebersamaan dalam agama dan cinta (Muttaqin 2016, 244).

Pencarian tentang kebenaran beragama yang selalu disandingkan dengan wacana riligius yang rigid justru diakhiri dengan membentangkan persoalan agama dan kehidupan beragama pada cinta yang universal. Pengarang, Izzul Muttaqin, yang berproses di pesantren salaf dengan keraguan-keraguan akan kebenaran yang dianutnya dan dengan usaha kritisnya mencoba menjawab keraguan tersebut dengan moksha; nol; kosong. Yaitu, setelah segalanya tidak ada apa-apa, dan tidak ada apa-apa adalah puncak segalanya. Peristiwa-peristiwa dalam Menggapai Kosong sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat dirangkum dalam diagram sebagai berikut.
















Gambar 1. Konstruksi Wacana dalam Novel Menggapai Kosong

Kutub-kutub semantik dalam diagram di atas menggambarkan hubungan Fatih sebagai tokoh utama dengan pandangannya terhadap agama Tuhan. Secara tekstual, novel tersebut memaknai agama dan kebenaran-kebenaran agama yang dikontestasikan serta dinegosiasikan


86                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



dalam ruang fiktif sastra. Tuhan, cinta dan perempuan-perempuan yang dicintai fatih adalah situs makna akan agama dan kebenaran absolutnya.

Negosiasinya dengan Islam yang berusaha dimediasi dengan dua perempuan dalam hidupnya kemudian melahirkan kesimpulan dalam paragraf akhir novel tersebut. Tuhan yang dicari Fatih sepanjang cerita dimatrikulasi dengan kehadiran cinta dalam dirinya yang tumbuh pada Rabiah dan Kaif. Usaha-usaha negosiasi terhadap keabsolutan agama muncul dalam karakter Kaif dan Rabiah yang mandiri dan cerdas. Namun, Kaif juga akhirnya diislamkan dan Rabiah mengalami nasib buruk karena tidak dalam koridor Islam. Artinya, wacana agama yang dibangun dalam cerita adalah kebenaran kontekstual.

Eksklusi dan inklusi dibangun dalam kutub-kutub berikut; Jika tidak Islam maka bukan kebaikan, jika melanggar ajaran Islam maka harus dihukum. Dengan demikian, pengetahuan yang terbentuk sebagai kebenaran dalam cerita adalah kebenaran agama yang dogmatis. Mengejar kebenaran agama dengan logika hanya akan menghasilkan kekosongan yang dalam cerita ditegaskan dengan akhir kematian Fatih sang pencari Tuhan.

Tidak ada ampun bagi orang yang melogikakan dogma agama bahkan menegosiasi kebenaran-kebenaran untuk membawa wacana egaliter. Posisi ambigu yang berusaha dipertahankan cerita pada akhirnya runtuh. Mengejar kesetaraan antara kemanusiaan dan ketuhanan pada akhirnya hanya menghasilkan kekosongan, bahwa puncak tertinggi kebenaran adalah kosong; moksha.

Secara kontekstual, teks novel tersebut dihasilkan oleh seorang Izzul Muttaqin yang menimba ilmu di pesantren Salaf. Akan tetapi salaf pada Salafiyah Syafi’iyah tidak seperti gerakan salaf global yang dikembangkan di Saudi Arabia dalam memurnikan ajaran. Pendiri Salafiyah Syafi’iyah berasal dari tradisi NU yang masih kental memberi ruang pada tradisi. Dalam tulisan Ubaidillah, salafi merupakan kaum pemurni ajaran yang menolak segala bentuk inovasi, dan hanya berpegang pada al-Qur`an dan sunnah. Ajaran ini dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1794 M), didukung Muhammad bin Sa’ud. Aliran ini kemudian dikenal dengan wahabi dan “menjadi ideologi keagamaan di Kerajaan Saudi Arabia” (Wahid dalam Ubaidillah 2014, 4). Tulisan



SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
87

Hat Pujiati


Ubaidillah (2014) menjelaskan bahwa salafi dalam perspektif wahabi tersebut disebarkan tidak hanya melalui beasiswa dari pemerintah Saudi, akan tetapi juga dalam bentuk terjemahan-terjemahan buku sealiran. Sementara tradisi yang diikuti oleh sang pengarang, Izzul Muttaqin, masih berusaha berpegang pada paham komunitas pesantren tradisional yang masih memungkinkan negosiasi nilai-nilai salafiyah dalam perspektif Wahabi.

2.    Keyakinan, Kebiasaan dan Kemiskinan dalam Cerpen Rebbe Karya Laila Haqy

Cerpen berjudul Rebbe karya Laila Haqy mengangkat lokalitas Probolinggo yang mayoritas berasal dari suku Madura dan tradisi Madura juga masih kuat merujuk pada posisi geografis keduanya yang cukup dekat. Rebbe yang dimaksud dalam cerita ini adalah nasi tumpeng sederhana yang biasa dibagikan pada orang sekitar yang dianggap layak; berilmu atau kurang mampu. Dalam cerpen, Rebbe dijelaskan sebagai berikut:

Di kampung tempat mereka tinggal, orang-orang terbiasa ater rebbe setiap malam Jum’at. Yakni selamatan -yang diniatkan untuk sedekah atas nama kerabat yang sudah meninggal- dengan sepiring nasi lengkap dengan lauk, segelas minuman -biasanya kopi atau teh manis. Kadang dilengkapi pula dengan jajanan basah maupun gorengan (Haqy 2017, 02).

Diceritakan dalam cerpen bahwa keluarga Bulhaq malam itu kelaparan tetapi mereka bersabar dan menunggu saat-saat Rebbe dibagikan, biasanya makanan itu dikirim tetangga setelah magrib. Acara doa biasanya dilakukan setelah selesai sholat magrib, dan menjelang Isya’ tumpeng sudah sampai di rumah mereka. Berpikir positif menjadi usaha yang mendebarkan bagi Bulhaq hari itu. Dia sakit dan sudah beberapa kali meminjam uang dari tetangga dan kerabat untuk biaya berobat dan makan.

Dua anak mereka juga baru pulang dari menginap di rumah kerabatnya sehingga mereka lega karena keduanya dalam keadaan kenyang. Mereka berangkat ngaji seperti biasa, sementara ibu mereka memasak sayur kelor yang diambil dari pekarangan. Sampai larut malam Rebbe yang diharapkan ternyata tidak juga datang dan mereka nyaris putus asa. Namun mereka masih bisa makan nasi dan sayur kelor, hingga kedua




88                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



putri mereka pulang mengaji dan membawa sebungkus nasi, seperti kutipan berikut:

Tadi ada selamatan hataman al-Qur`an-nya Irul di langgar Baba Haji Haped, Pak,” kata anaknya. “Makanya kami pulang terlambat. Itu makanlah dengan mamak, kami berdua sudah di langgar tadi.

Baiklah. Kalian segera istirahat, jangan asyik mengobrol sampai larut, besok kan harus sekolah.” Bulhaq ber-alhamdulillah di dalam hatinya. Lantas memanggil istrinya yang sedang melipat pakaian di dalam kamar. Harapan mereka ternyata benar datang, meski dari tangan yang tidak mereka duga. Tidak dari tetangga yang biasa ater rebbe, tapi dari langgar anak-anaknya. Nasi dengan kuah daun kelorpun mereka santap dengan nikmat. (Haqy 2017, 03–04)

Nasi rebbe itu akhirnya datang walau mereka sebenarnya ditipu oleh anak-anaknya. Nasi itu dibeli anak mereka untuk kedua orang tuanya karena mereka tahu ayah ibunya belum makan sejak kemarin. Sang kakak ternyata telah menjual kerudungnya untuk dua bungkus nasi tersebut seperti diungkapkan dalam percakapan Lia dan kakaknya sebagai berikut:

Sementara di dalam kamar anak mereka, si anak tertua berbisik kepada adiknya. “Jangan bilang-bilang mamak ya, kalau kerudung Mbak yang dari Baba Haji Haped, sudah Mbak jual ke Zainab. Lagipula kasihan juga Zainab, sudah sejak dua hari yang lalu dia bilang ingin kerudung itu.”

“Ih, Mbak ini suka bohong. Awas masuk neraka seperti katanya Baba Haji Haped, ya!” goda adiknya.

“Hus! Tidak apa kalau untuk kebaikan katanya. Daripada bapak dan mamak mati kelaparan, hayo?” Lia merengut. “Lagian, tadi Irul memang hataman al-Qur`an kok. Meskipun nasinya cuma cukup untuk kita berdua.” (Haqy 2017, 04)

Beragama berarti berkeyakinan akan suatu hal, keyakinan ini memiliki ritual yang menjadikannya berulang menjadi kebiasaan. Kemiskinan yang berarti soal dimensi ekonomi yang terjadi pada Bulhag dan keluarganya adalah persoalan utama cerpen ini. Selain soal lokalitas, Rebbe juga mengangkat sisi ekonomi yang terkandung dalam tradisi selamatan tersebut. Secara tekstual, Rebbe melihat bahwa “berbagi” sambil “berdoa” menjadi ruang pemerataan, kepedulian sosial yang dikolaborasikan antara tradisi dan agama.

Ada sinkretisme antara budaya sebelum Islam dengan sesajinya yang masih bertahan dalam nasi rebbe tersebut. Sinkretisme menurut Jirnaya adalah “pencarian, keserasian, keseimbangan, dan mendamaikan perbedaan agar kedua belah pihak saling mengerti.” (Jirnaya 2015, 293).


SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
89

Hat Pujiati


Dalam tulisan tersebut, Jirnaya juga menyebutkan bahwa sinkretisme budaya Hindu dan Islam telah lama ada dan berlangsung damai. Hal tersebut senada dengan rebbe, sesaji dari selamatan sudah ada sejak tradisi Hindu yang masih dipertahankan dalam budaya masyarakat pesisir di Probolinggo yang mayoritas Madura.

Dari perspektif pesantren pun kisah tersebut tidak dimurnikan tetapi justru menunjukkan sisi kemanusiaan yang berkeadilan sosial dalam tradisi yang masih sesuai dengan ajaran Islam. Model tulisan seperti Rebbe ini menjadi potensial menyebarkan keharmonisan hubungan dengan Allah dan hubungan antarmanusia, antara perihal ketuhanan dan kemanusiaan yang mengoposisi radikalisme. Unsur kultural mempunyai potensi melemahkan pemikiran radikal.












Gambar 2. Diagram peristiwa dalam cerpen Rebbe

Dalam diagram di atas menunjukkan rebbe yang berkembang dari tradisi dan hadir dalam ritual keagamaan sebagai sebuah usaha pemerataan di ranah ekonomi. Agama yang memiliki ruang bagi tradisi juga berfungsi sosial. Sebuah masyarakat butuh keseimbangan, butuh pemerataan untuk bertahan yang ternyata dalam Rebbe ini ditunjukkan dalam nasi tumpeng, semacam sesaji sebagai bentuk syukur dan dibagikan pada orang sekitar.

Ada konsep berbagi yang tidak serta merta di-bid’ah-kan dalam wacana selamatan ini. Akan tetapi, logika juga disuarakan keras dalam usaha anak Bulhag dalam memenuhi kebutuhan utama dalam bertahan hidup.Ideologi yang hadir dalam komodifikasi kerudung dalam konversinya ke dalam sebungkus nasi adalah sebuah revisi liberalisme yang menolak segala keabstrakan, termasuk agama. Akan tetapi, neoliberalisme memberi ruang pada ketakmungkinan liberalisme.


90                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



Dalam tulisan ini, neoliberalisme yang dimaksud bukanlah menilai Islam pesantren adalah neoliberal, namun ada jejak ideologi neoliberalisme dalam pilihan sikap kisah Rebbe. Konsep dari neoliberalisme dapat dipahami sebagai kebebasan yang tanpa campur tangan negara dalam mekanisme pasar yang berakibat pada monopoli pemodal besar (Kian Gie 2011).

Dalil Adam Smith (dalam Kian Gie 2011) tentang “kebebasan eksplorasi manusia sebagai makhluk ekonomis yang cenderung menginginkan modal sekecil-kecilnya dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya” jika dibiarkan bebas dalam meraih kepuasan untuk menggapai keuntungan sepuasnya, maka hal ini akan memicu manusia untuk berproduksi, bersaing sehingga mereka lebih inovatif maka perekonomian sebuah negara akan berjalan dan efektif dengan sendirinya. Kebebasan tersebut, menurut Smith, tidak boleh ada campur tangan negara agar penduduk sebuah bangsa ini terus bergerak dan menciptakan pemerataan dan keadilan sendiri melalui proses persaingan bebas tersebut.

Namun dalil ini ditentang oleh Karl Marx (dalam Kian Gie 2011), seabad kemudian yang menyatakan bahwa negara harus ambil alih mekanisme pasar agar tidak terjadi monopoli dan cara-cara bersaing yang tak terkendali. Negara harus ambil kendali dalam keadaan liberal yang terkontrol tersebut. Akan tetapi ketika itu diterapkan secara benar oleh Lennin-Stallin-Mao, Barat menego peran negara yang terus diregulasi hingga peran negara semakin kecil, tetap mempertahankan mekanisme pasar dan penerapan kapitalisme secara sempit, mereka lah kaum neoliberalisme.

Sementara itu, dalam Rebbe, demi bertahan hidup dari kelaparan, reifikasi Islam pada kerudung dilepaskan sehingga bisa dikomodifikasi. Kelaparan merupakan hal mendasar yang harus diatasi manusia, bahkan idelogi dari agama sekali pun boleh dikonversikan untuk pemenuhan lapar tanpa harus meninggalkan agama tersebut. Posisi negosiatif Rebbe seperti diuraikan tersebut telah menunjukkan jejak dan pemikiran modern.









SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
91

Hat Pujiati


D. KONSTRUKSI WACANA KEINDONESIAAN DAN PENGA-RUHNYA TERHADAP POSISI IDEOLOGIS PENGARANG

Seperti yang diungkapkan Hall (1997), representasi adalah produksi makna. Dengan menggunakan nalar konsep wacana Foucault, makna tersebut dapat utuh hanya dalam wacana. Wacana-wacana dalam cerita Menggapai Kosong dan Rebbe tentu saja terkait dengan wacana-wacana dominan yang ada di luar cerita. Satu-satunya keterhubungan sastra dan dunia nyata yang tanpa perantara adalah wacana. Religiusitas dan humanisme dalam cerita-cerita tersebut tidak luput dari wacana di Indonesia yang membangun makna teks cerita-cerita tersebut secara kontekstual. Radikalisme dan usaha menderadikalisasi kelompok-kelompok keagamaan yang mengarah pada gerakan radikal telah lama dilakukan pemerintah RI.

Peristiwa Bom Bali di tahun 2002 berselang satu tahun satu bulan setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat oleh kelompok Osama Bin Laden. Bom Bali tahun 2002 oleh kelompok Ali Imron menewaskan 200 orang lebih dan peristiwa ini resmi terhubung dengan jejaring teroris internasional. Semenjak itu, Islam garis keras menjadi sorotan internasional dan diidentikkan dengan terorisme.

Pemerintah Indonesia pun berupaya mengembalikan kepercayaan Internasional bahwa Indonesia adalah negara yang aman untuk dikunjungi. Selain itu, kecurigaan pada kelompok-kelompok Islam radikal itu pun meresahkan masyarakat Indonesia sendiri. Perpecahan kepercayaan dalam bermasyarakat antara kelompok tradisional dan garis keras terus terjadi, bahkan ketika perkembangan teknologi komunikasi semakin pesat, sosial media pun mempertegas ketidakharmonisan kelompok masyarakat garis keras dan yang bukan.

Di tahun 2017, kelompok Habib Rizieq mampu menggalang massa melalui sosial media untuk datang ke Jakarta pada 21-2-2017 atau dikenal dengan gerakan 212 untuk menyerukan penjarakan Ahok yang saat itu sedang menjalani sidang kasus penistaan agama (BBC News Indonesia 2017). Ahok pun akhirnya dipenjara dan pemilihan Gubenur Jakarta dimenangkan oleh pasangan Anis Baswedan dan Sandiaga Uno. Gerakan 212 dihadiri jutaan manusia dari berbagai kelompok. Namun, NU dan Muhammadyah absen dari gerakan tersebut secara institusional karena



92                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



menduga gerakan tersebut politis. Kelompok-kelompok yang hendak mendirikan kepemimpinan negara dengan sistem yang baru pun kemudian ditindak dengan perpu pembubaran organisasi kemasyarakatan.
Sebagai tandingan dari gerakan masa yang berjilid di Jakarta dengan sentimen agama tersebut, muncul gerakan Saya Pancasila, Saya Indonesia yang tersebar di sosial media Indonesia yang diawali oleh pernyataan presiden Indonesia. Rentetan peristiwa tersebut menunjukkan kehendak dan hasrat negara dalam bernegara. Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika adalah panutan kehidupan masyarakat di dalamnya, maka gerakan ini adalah counter terhadap gerakan pecah-belah bangsa. Usaha deradikalisasi pada gerakan radikal yang berbasis agama ini pun digulirkan pada filosofi Negara, yaitu Pancasila. Salah satu usaha negara untuk deradikalisasi ini adalah dengan mempublikasi kunjungan-kunjungan presiden ke pesantren yang berakar pada tradisi dan dengan basis keilmuan yang juga cukup militan.

Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur tempat pengarang novel, Izzul Muttaqin, nyantri juga berbasis tradisi. Bahkan Kyai As’ad, salah satu pengasuh pesantren tersebut adalah satu di antara pendiri NU yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, walaupun pesantren salaf terkenal ketat dalam berpegang pada aturan hukum Islam, justru pesantrenlah yang mampu membawa wacana ketuhanan dan kemanusiaan yang tumbuh secara beriringan.

Sang pengarang, Izzul Muttaqin, dengan demikian memperlakukan kekakuan hukum agama yang dogmatis dalam posisi dinamis dengan tarik-ulur dalam wacananya yang sangat jelas, dan menempatkan kemanusiaan dengan meletakkan cinta yang setara dengan agama. Berikut kutipan novelnya.

... Tuhan juga merupakan produk akal. Orang Islam mempunyai Tuhannya sendiri-sendiri, dan meski sama-sama Allah, tentu Tuhan mereka beda. Allah yang ada pada pikiran orang Islam yang satu dengan yang lain, tentu berbeda, tak akan pernah sama. Tergantung orang itu menggambarkan Allahnya sendiri. (Muttaqin, 2017; 149-150).

Ada pengakuan pluralitas dalam paham agama yang disajikan novel ini. Kebenaran-kebenaran agama yang absolut menjadi gagal dan jatuh pada paham radikal yang dimusuhi negara, karena yang menjadi musuh




SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
93

Hat Pujiati


negara adalah radikal yang politis, yang hendak mengganti kepemimpinan negara.

Kebenaran-kebenaran agama yang absolut dari teks Menggapai Kosong dengan demikian membawa nilai absolut agama yang keras, tetapi tidak jatuh pada paham radikal yang dimusuhi negara karena yang menjadi musuh negara adalah radikal yang politis, yang hendak mengganti kepemimpinan negara. Salaf tradisional tidak mengotak-atik perihal tatanan kepemimpinan negara, dan ideologinya masih sejalur dengan kehendak negara.

Sementara itu, sang pengarang cerpen Rebbe, Laila Haqy, berasal dari Pesantren Nurul Jadid yang juga tergolong tradisionalis. Ia mengangkat permasalahan ekonomi yang seringkali memicu pertikaian, menjadi akar dari peristiwa-peristiwa chaos dalam masyarakat dan mudah tergiring oleh panggilan kesamaan keimanan dalam kerangka tradisi religius.

Laila Haqy menyoroti bahwa agama pun perduli pada kesejahteraan sesama, budaya tidak juga harus diputus dari agama karena ada bagian-bagian yang masih sejalan dengan ajaran agama, seperti dalam kutipan berikut.

“Di kampung tempat mereka tinggal, orang-orang terbiasa ater (-antar) Rebbe setiap malam Jum’at. Yakni selamatan -yang diniatkan untuk bersedekah atas nama kerabat yang sudah meninggal- dengan sepiring nasi lengkap dengan lauk, segelas minuman- biasanya kopi atau teh manis. Kadang di lengkapi pula dengan jajanan basah maupun gorengan.” (Haqy, 2017; 02).

Lokalitas yang diangkat juga menempatkan tradisi sebagai bagian kecil dari bangsa yang beragam suku ini. Pengarang adalah subjek yang bicara dan menegaskan keragaman. Perkara keyakinan dan permasalahan perekonomian diatasi dengan budaya masyarakat lokal.

Dengan demikian, ketuhanan dan kebudayaan yang direpresentasikan dalam dua karya sastra tersebut tidak lepas dari apa yang terjadi di level atas, yaitu pemerintahan dan keberpihakan guru tempat mereka belajar. Dua karya fiksi pesantren yang menjadi objek material kajian tulisan ini justru menderadikalisasi wacana radikalisme melalui pluralisme agama. Gerakan sastra ini memiliki peluang bekerja efektif karena nilai universal yang ditanamkan merangkul perbedaan dalam



94                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



pluralisme (BBC News Indonesia 2017). Kine (Human Rights Watch 2017) menyoroti pujian wakil presiden Jusuf Kalla pada toleransi beragama di Indonesia sebagai fantasi karena peristiwa-peristiwa diskriminatif bahkan oleh pihak pemerintah atas kasus keagamaan masih terjadi. Phelim Kine, penulis di laman tersebut, menyatakan bahwa penangkapan pemimpin Gaffatar dan juga penangkapan Ahok atas tuduhan penistaan mencerminkan ketidakadilan di ranah hukum atas minoritas. Dengan demikian, melihat Indonesia sebagai model toleransi beragama disebutnya sebagai fantasi.

Melalui sastra, wacana yang dikonstruksi untuk menyebarkan pemikiran kesetaraan atas nama kemanusiaan ini bisa digerakkan, setidaknya fantasi itu diusahakan menjelma menjadi kenyataan. Model-model dari karya sastra yang mampu menyebarkan pemikiran dan mengubah toleransi sebagai fantasi tersebut menjadi dibutuhkan di pasar sastra Indonesia saat ini sebagai anti-radikalisme. Penyebaran pemikiran model sastra dengan muatan wacana anti-radikalisme membutuhkan gerakan yang massif, baik dalam aktivitas menulis maupun aktivitas membaca, sehingga proses transfer pemikiran ini dapat menjadi efektif dan produktif.

E. SIMPULAN

Konservatisme salafi telah dinego oleh kedua cerita, akan tetapi religiusitas dan kemanusiaan dibicarakan, direnungkan dan dipadukan dalam kedua cerita tersebut. Kedua cerita sama-sama negosiatif, Izzul Muttaqin menempatkan Tuhan lah pemegang hak prerogatif sejati. Laila Haqy memilih kekuasaan pada manusia. Dalam wacana-wacana sastra pesantren, baik itu pesantren salaf maupun pesantren modern, Rebbe dengan corak modernnya tidak melarang kehadiran yang tradisional, tidak menghakimi seperti ajaran-ajaran agama yang dimodernkan. Ia tidak mengingkari tradisi, tidak melakukan purifikasi pada ajaran. Jadi ruang negosiasi terbuka lebar. Bahkan bentuk neoliberalisme pun muncul dalam mempertahankan logika cerita. Peristiwa tersebut menunjukkan kekuatan manusia, manusia sebagai pengambil keputusan atas hidup yang dijalani. Sementara posisi mengambang terjadi dalam moksha bagi Menggapai Kosong. Absolutisme agama yang menghakimi yang lain yang berbeda



SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
95

Hat Pujiati


tidak dimunculkan sebagai yang dimenangkan. Kemanusiaanlah yang lebih dipentingkan dan dikedepankan, karena agama adalah cinta dan penghargaan kemanusiaan yang selalu berada dalam kondisi plural.

Wacana keIndonesiaan yang hadir telah menjadi sebuah konstruksi yang mempertegas posisi ideologis pengarang. Cinta manusia sebagai model dari ketuhanan yang dihadirkan Izzul Muttaqin tidak lepas dari kehadiran negara dalam mempromosikan anti-radikalisme; bahwa Indonesia merupakan negara presidensial sehingga yang hendak mengubahnya dengan model kepemimpinan lain (khilafah) adalah musuh negara. Kepemimpinan khilafah yang diagungkan para pendukungnya sebagai kepemimpinan ideal Islam ini direspon Izzul Muttaqin dengan pengakuan pada hak prerogatif Tuhan yang absolut, tetapi perihal kemanusiaan bukan juga hal lain dalam pengakuan Tuhan. Menjadi makar terhadap negara, dengan memaksakan penyeragaman atas dasar mayoritas seperti menggantikan model kepemimpinan negara menjadi khilafah akan menimbulkan kekacauan yang berdampak pada luka kemanusiaan yang berarti membuat urusan ketuhanan lebih penting dari kemanusiaan. Hirarkisitas ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang tidak didamaikan dalam Menggapai Kosong. Sementara, kebebasan dan prioritas kemanusiaan yang dihadirkan dalam Rebbe juga merupakan penolakan pada pemurnian ajaran dengan menghadirkan peran budaya dalam agama. Sepakat dengan negara yang memberi ruang pada perbedaan, Laila Haqy melawan wacana satu ideologi Islam dengan kepemimpinan khilafah yang berkembang di Indonesia beberapa dekade ini. Penolakan tersebut muncul dalam ketidaksepakatan pada pemurnian ajaran Islam yang dilepaskan dari akar-akar budaya yang ada. Indonesia yang dibangun Laila yang mengangkat peran budaya dalam agama dalam cerita sesuai kehendak negara; saya pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Armedian,  Darus. 2017.  Dari  Batu Jatuh Sampai  Pelabuhan  Rubuh.

Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur.

BBC News Indonesia. 2017. “Aksi 212: Rizieq Shihab Datang dan Menyeru ‘Penjarakan Ahok”. BBC News Indonesia, 21-2-2017.




96                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

Representasi Radikalisme...



https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39035135. Diakses pada 3 April 2018.

Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation”. Dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, diedit oleh Stuart Hall. London: Sage in association with the Open University.
Haqy, Laila. 2017. “Rebbe”. Dokumen Untuk Sayembara Penulisan Sastra pesantren tahun 2017.

Haryatmoko.  2015.  Membongkar  Rezim  Kepastian:  Pemikiran  Kritis

Post-Strukturalis. Yogyakarta: Boekoe Tcap Petroek.

Human Rights Watch. 2017. “Indonesia’s ‘Religious Tolerance Model’ Fantasy.” Human Rights Watch. 30 Oktober 2017. https://www.hrw.org/news/2017/10/30/indonesias-religious-tolerance-model-fantasy. Diakses pada 2 Mei 2018.

Jirnaya, I. Ketut. 2015. “Sinkretisme Hindu-Islam dalam Mantra: Sebuah Kasus Dalam Teks Usada Manak.” Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra 14 (2): 282–300. http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/ Adabiyyat/article/view/14206.

Khairur Rozikin. 2017. Dokumen Wawancara Tahun 2017.

Kian Gie, Kwik. 2011. “Apa Neo Liberalisme (Neolib) Itu? Bagian 1.” Blog. Forum Kwik Kian Gie. Maret 2011. http://kwikkiangie.com

/v1/2011/03/apa-neo-liberalisme-neolib-itu-bagian-1/. Diakses pada 2 Mei 2018.

Ma’mun, Muhammad. 2017. Dokumen Wawancara Tahun 2017. Muttaqin, Izzul. 2016. Menggapai Kosong. Yogyakarta: Interlude. Rahman, Jamal D. 2008. “Sastra, Pesantren, dan Radikalisme Islam.”

Jamal D. Rahman.wordpress.com. Oktober 2008. https:// jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/?wref=tp. Diakses pada 2 Mei 2018.

Tami, Rosmah, Faruk, dan Ida Rochani Adi. 2017. “Hegemonic Culture and Subaltern: A Compromised Veil in Indonesian Islamic Popular Novel.” Lingua Cultura 11 (1): 13–18. Http://journal.binus.ac.id/ index.php/Lingua/article/view/1729.

Ubaidillah. 2014. “Nilai-Nilai Ajaran Salafi dalam Buku Ajar Bahasa Arab al-Arabiyyah Bayna Yadaik (Analisis Semiotik Roland




SK Akreditasi DIKTI No: 040/P/2014
97

Hat Pujiati


Barthes).”  Adabiyyāt:  Jurnal  Bahasa  dan  Sastra  13  (1):  1–21.

Http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/Adabiyyat/article/view/13101.

Profil Informan:

1        Khairur Rozikin adalah mantan pegiat Matamovie (bagian dari Matapena yang fokus pada film).

2         Muhammad Ma’mun (Gus Ma’mun) adalah pengasuh Pesantren

Al-Falah, Karangharjo-Silo-Jember yang juga mengajarkan sastra pada santri di Pesantren Al-Falah.










































98                                Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. II, No. 1, Juni 2018

No comments:

Post a Comment