Tuesday, June 13, 2017

MATA IBU; KILATAN PERISTIWA, DUNIA DALAM PENGHAPUSAN, DAN NATURALISASI KEKERASAN


*dipublikasikan juga di sini
Awal membaca Mata Ibu, saya ragu apakah novel ini realisme, posmodernisme, atau realisme magis. Cerita diawali dengan peristiwa hujan di musim yang dirindukan petani. Pertemuan air dan tanah yang detil, pemanusiaan hujan yang kadang ‘ngambek’ menjadikannya sebagai awal kesuburan yang dirayakan, disyukuri, dan diopeni. Kedekatan antara antara alam dan manusia mencirikan kehidupan tradisional dan Mata Ibu menggambarkannya dengan diskripsi yang nyaris kongkrit. Keterhubungan musim dan tanah desa Meranti menjadi rangkaian cerita yang tak menegaskan realismenya. Gambaran sistem produksi di desa yang terkendala infrastruktur mengindikasi pemikiran marxis, begitu saya pikir awalan membaca. Kehadiran mantra-mantra yang dibaca saat memanggil hujan, saya kira sebagai interupsi dugaan pertama yang mengiranya realisme. Akan tetapi fokalisasi yang berpindah-pindah antara narator dan tokoh dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, tiba-tiba menjadi orang pertama atau kembali lagi menjadi orang ketiga membuat saya juga berpikir mungkin cerita ini sejenis fiksi posmodernis. Plot dibuat berlompatan sehingga saya beberapa kali sesat dalam pembacaan dan butuh membaca ulang halaman buku tersebut. Sungguh riuh kepala saya dengan banyak dugaan ketika membaca.
Ketika hujan ‘ngambek’ orang-orang desa yang sebagian besar hidup dengan bertani kelimpungan mengurus tanaman, mengira salah mongso, harapan yang tadinya merekah karena musim tanam datang, tiba-tiba dibatalkan dengan dugaan salah mongso. Musim hujan yang berarti musim tanam tetiba berhenti dan langit kembali cerah, air kembali susah mengairi sawah. Peristiwa tersebut menghadirkan penghapusan, musim hujan. Kemudian peristiwa musim hujan tidak lah benar. Salah mongso juga coret; itu benar musim tanam. Penghapusan peristiwa dengan cara tersebut juga memberikan konsekuensi pada harapan yang juga coret menjadi keputusasaan, namun harapan dikembalikan lagi dengan menegaskan kembali bahwa musim tidak keliru dan keputusasaan lah yang coret. Selain itu, peristiwa yang dialami sang ibu, Yu Sari, juga beberapa kali berulang. Dia terjatuh, kakinya terkilir kemudian terkilir lagi dan dia merasakan sakit, ini berulang. Namun sakit yang dirasakannya disembuhkan tekad ‘harus sembuh’ sehingga sakit juga sakit.
Kesepian Yu Sari yang menyiksanya sebagai ibu tiga anak, janda ditinggal mati suaminya dan harus mengurus harta warisan sendiri berupa sawah membuatnya hilir mudik ke dalam kenangan dan dunia samping, bahkan Yu Sari bertemu malaikat kematian. Yu Sari menolak mati termakan sepinya dan masih hendak bertemu anak-anaknya yang merantau ke kota menempuh pendidikan tinggi, demi masa depan lebih baik dari sekedar petani yang kerab direpotkan mongso. Malaikat pun mengijinkannya jadi dia batal dicabut nyawanya. Kenangan dan dunia samping yang dihadirkan membuat saya sebagai pembaca kerap tergelincir menyadari itu dunia yang mana. Bahkan pada sub bab Elang Menyambar-nyambar, kisah Sri Sedana oleh mbah Dento lebur begitu saja menginfasi dunia fiksional Yu Sari dan tokoh-tokoh yang lain. Sekali lagi jarak dunia itu mengaburkan kesadaran saya, apa lagi bagian upacara diulang setelah kisah Sri Sedana selesai. Bila di awal upacara mbah Dento hadir memimpin dan bercerita, di bagian kedua upacara itu mbah Dento dinyatakan ‘sudah lama mati’. Dunia lain itu bertumpuk-tumpuk, bila semula dunia Sri Sedana yang ada di dunia tiba-tiba menggantikan dunia fiksional yang di huni Yu Sari dan mbah Dento, kemudian dunia fiksional itu pun menjadi dunia sebelah atau dunia samping yang mengasing, di situ saya curiga dengan genre novel ini. Realisme, posmodernis, atau realisme magis? Saya pun membaca ulang di mana kisah-kisah dunia lain dimulai dalam cerita. Ternyata ini memang kisah realisme, setiap perjalanan ke dunia samping selalu ada awal atau akhir yang dinyatakan dalam ranah dunia fiksional. Misal membedakan peritiwa dunia samping itu dengan ‘Yu Sari mengerjap ngerjap’ (Isnadi; 2015: 25) untuk menandai peristiwa tersebut terjadi dalam benaknya. Jadi peristiwa-peristiwa semacam itu hadir dalam bentuk stream of consiousness seperti yang pernah dimainkan Virginia Woolf dalam Mrs. Dalloway. Plot maju mundur juga menjadikan novel 90 halaman ini tidak sederhana dibaca. Mengetahui titik magis atau realisme novel ini butuh kesadaran penuh dan kejelian, jika larut dalam cerita maka sulit membedakannya walau ia tidak berdiri di wilayah antara.
Adapun persoalan sosial yang digambarkan oleh novel ini adalah perihal gender, kekerasan dan sisi lain sang pemilik tanah. Yu Sari yang diwarisi sawah luas oleh almarhum suaminya harus pontang-panting mengurusnya sendiri demi anak-anaknya. Dia juga bolak-balik mengatakan bahwa dia tidak berhak atas tanah tersebut melainkan anak-anaknya. Di satu sisi, dia yang bertanggungjawab atas tanah tersebut karena anak-anaknya masih sekolah. Yu Sari lah yang mencari penggarap sawah, dia yang membayar pajak, maka dia adalah pemilik. Dia pemegang kekuasaan, namun ini kemudian hanyalah sekedar kuasa karena dia tersiksa karenanya, dia kelelahan, terbebani oleh kuasa dan tak berdaya di hadapan para pekerja yang siap menggunjingnya hingga bisa saja menolak bekerja lagi di sawahnya. Yu Sari pun harus menuruti keinginan pekerja. Pekerja ternyata juga sangat mampu mengambil alih kuasa dalam hal ini. Bila pekerja menolak kerjakan sawah Yu Sari maka panen akan tertunda, biaya sekolah anak-anaknya juga jadi tertunda. Yu Sari tak lebih sebagai pekerja juga untuk sawah warisan suaminya. Suami yang tak hadir itu tetap saja mejadi Subjek yang membuat Yu Sari yang masih hidup patuh pada yang telah tiada. Yu Sari hidup untuk suaminya yang telah almarhum, menguruskan sawah dan anak-anaknya, maka diri Yu Sari sebenarnya tidak ada, itu sisi keterbelahan Yu sari.
Untuk mengatasi perasaan lacking dalam diri Yu Sari yang terbelah, dia menghadirkan kembali sosok tuan dengan memilih Karto. Namun itu tak sepenuhnya tuan, dia memilih Karto masih atas nama tuan almarhum yang menjadikannya objek dari warisan yang tak mudah dijalankan. Pemilihan Karto menjadikannya subjek namun atas nama tuan menjadikannya subjek’.  Karto yang berotot, dipekerjakan oleh Yu Sari untuk mengurus sawah melalui perkawinan. Otot dan kekuatan Karto, kelincahan mencari pekerja dan menangani sawah yang menjadi penanda maskulinitasnya dalam hal ini hanyalah objek sang pemilik tanah yang perempuan. Posisi Karto menjadi inferior dengan tekanan penceritaan dari sudut pandang Yu Sari. Bahkan Karto tidak bersuara, dia dihapus dari kisah dengan cara dipukul Andi si anak sulung karena rajin mabuk dan memaki Yu Sari dengan sebutan sundal dari luar rumah sepulang mabuk. Padahal Yu Sari berkisah Karto tak diberi banyak uang agar tak mabuk. Tak diceritakan mengapa Karto kembali pada kebiasaannya mabuk setelah sebelumnya dia insaf. Sebelum menikah dengan Yu sari Karto kerab mabuk ditinggal mati istrinya, namun dia sangat menyayangi anaknya sehingga menggendong sang anak ke sana kemari. Alasan Yu Sari menikahinya juga karena dia melihat kasih dalam diri Karto. Bila kemudian Karto kembali menjadi pemabuk, tentu saja ada yang mengikis sisi kasih dalam dirinya. Cerita ini menetralisasi ideologi kesewenangan sang empunya tanah dengan membuang Karto karena mengutuk saat mabuk, buruh tak lebih sebagai budak, perkawinan itu hanyalah kedok perbudakan Karto oleh sang Janda.
Derita Yu Sari yang dengan kesepiannya, objektifikasi tuan almarhum, sebagai pekerja untuk warisannya mengundang simpati pembaca, di sana ada pemanggilan keberpihakan. Kecerdasan yang dimiliki janda kampung tampak begitu natural melawan kehendak pak Lurah, hingga ia kemudian didemo warga desa sebelah karena dianggap menghalangi proyek pelebaran jalan. Logika-logika yang kelihatan polos pada Yu Sari adalah sebuah posisi ideologis. Yu Sari yang punya banyak sawah, yang butuh 70 orang pekerja untuk menggarapnya itu tak mudah dikelabuhi penguasa seperti kebanyakan warga Meranti. Begitulah ideologi mengelabuhi, dengan netralisasi kekerasan; menyembunyikan kesewenangan dengan penderitaan.
Dengan demikian, Yu sari yang polos, nampak kesepian namun juga egois. Di antara reruntuhan dirinya yang kerap gagal menjadi Subjek utuh, dia mengatakan sebagai berikut:
“Mereka tak mau pulang. Mereka tak mau mengakui bahwa keberadaan mereka di tempat tempat jauh itu juga secara tak langsung adalah buah dari usahaku membelokkan perjalanan nasibnya ke arah yang lebih bermartabat dan bermasa depan. Anak zaman saudara saudara, anak asuhan waktu tanpa menoleh pada bekas jejak perjalanannya dari detik ke detik. Ibu sudah tak lagi perlu.” (Isnadi; 2015: 35)
Ketika anak-anak yang dirindukannya tak pulang juga, dia merasa tak lagi dibutuhkan anak-anak yang tumbuh dari kerja kerasnya.  Apa yang dinikmati anak-anak itu adalah karena dia yang membangunkan martabat bagi mereka. Kekecewaan bernada keputusasaan tersebut membuka keegoisannya sebagai ibu, sebagai subjek tak langsung. Rewording dirinya sebagai subjek justru membongkar kegagalannya menjadi subjek. Saat didemo warga dia juga diselamatkan pak Dermo. Yu Sari dalam Mata Ibu ini tak lain adalah ibu tradisional yang tak bisa membalik posisi sebagai Subjek meski Subjek nyata tuan telah mati, tak berubah posisinya hanya dengan tugas-tugas yang menggantikan almarhum suaminya, sang subjek. Tidak juga posisinya berubah dengan mengobjekkan Karto dalam rumahnya. Pernikahan itu juga memisahkan Karto dari anak tercintanya sehingga pernikahan yang dikehendaki Yu Sari itu hanya mereproduksi evil side dari stereotip perempuan. Permainan suara-suara (voices) yang simultan dalam Yu Sari menghadirkan mata pisau ganda (double blade) sehingga cerita tak mudah disimpulkan. Keriuhan suara-suara tersebut semacam karnaval yang tak mendikte pembaca pada makna tunggal.
Kata-kata yang mengalami pengulangan dalam novel ini tidak ada yang menggunakan tanda (-) sebagai penanda pengulangan menunjukkan bahwa semua kata adalah utuh dan berpenekanan. Ketegangan  yang dibangun dengan kilatan peristiwa menonton televisi (hal.39-41) mengingatkan saya pada puisi, bagian puitis ini sebenarnya realis namun pemilihan diksi dan teknik susunnya menghadirkan kesan enigmatik, serasa membaca puisi. Kesimpulannya, membaca Mata Ibu tak dapat disimpulkan; Mata Ibu mengundang kita ke dalam dunia sepi, putus asa, kadang gigih, kadang entah; se-entah hidup itu sendiri. Selamat membaca.

Referensi
Faris, Wendy B,. 2004. Ordinary Enchanments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. Nashville: Vanderbilt University Press.
Hayatmoko.2016. Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Krisis); Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Bracher, Mark. 1997. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Yogyakarta: JalaSutra
McHale, Brian.1987. Postmodernist Fiction. New York & London: Routledge



Pengantar dalam Antologi puisi Gerimis di Mata Kekasih



Bahasa puisi tidak sama dengan penggunaan bahasa biasa, begitu Riffaterre membuka bukunya Semiotics of Poetry, dan begitu pula saya ingin mengawali ide saya setelah membaca draf Antologi puisi penulis-penulis muda difakultas Sastra Universitas Jember ini. Makna dari puisi ada bukan pada apa yang dinyakan, tetapi sesuatu yang ada di balik yang terkatakan. Maka itu puisi sering kali sulit dipahami pembacanya dalam sekali baca. Ketidaklangsungan semantik dengan displacing, distorting, dan creating yang didalilkan Riffaterre tentang ‘kebiasaan’ puisi ini juga dimainkan dengan apik dalam antologi kali ini. Sebut saja Lampu Merah oleh AF. Kelemayar untuk bicara tanda, atau Alif dalam Alif di antara Alphabet oleh Harja el Majnun yang ambigu dan maknanya berlarian dalam tiap baris yang membawanya, kocar-kacir dalam dimensi lexikal-thematik, visual dan ritmik-akustinya hingga kemudian lesap pada titik di bagian akhir puisi adalah menegaskan sifat permainan puisi. Memahami permainan puisi sama saja dengan mengejar makna.

Sering kali juga penitikberatan pada butir “permainan”  dalam puisi untuk menyembunyikan ‘yang sebenarnya’ menggiring penulisan puisi untuk selalu menggunakan kata-kata yang tidak biasa muncul dalam percakapan sehari-hari atau peminjaman kata lintas register yang justru memusingkan pembacanya. Celakanya ketika demikian sering ditinggalkan pembaca yang sekedar ingin menikmati puisi, bukan peneliti, sehingga puisi tersebut gagal berbicara pada pembacanya. Seperti halnya penggunaan kata ‘bioma’ pada puisi ‘Bioma di matamu’. Kata tersebut terdengar unik di telinga, tapi sayangnya dimensi lexikal-thematik tak berketerangan ini butuh paman Google untuk menerangkan pada saya guna tahu artinya. Namun puisi tersebut tidak gagal memberi petunjuk perihal sejarah register diksi tersebut pada / berburu plankton, karang hidup, barangkali paus/ sebagai istilah biologi.

Keistimewaan puisi yang juga ditanamkan dalam susunan antologi kali ini mentasbihkan kalau the ungrammaticality menjadi sistem yang memancing kepekaan literer pembaca. Pengecualian-pengecualian akan penggunaan bahasa dan tata bahasanya berserakan dalam puisi-puisi yang hadir di awal buku ini, kemudian dimodelkan dalam kehadiran tiga cerita pendek di bagian akhir. Bukan kebetulan tentunya, tapi kesengajaan bermakna. Puisi dan prosa ada pada genre berbeda, tetapi bahasa puisi dalam prosa bukan sebongkah dosa, melainkan kreasi, ekspresi. Demikian pula cerita pendek dalam kumpulan puisi, Gerimis di Mata Kekasih menjadi perekat thematik antar karya dan antar genre.

Dialektika antara karya dan pembaca yang punya pengalaman dan pengetahuan berbeda-beda  dalam rangka menangkap makna menjadikan karya sastra hadir dalam hidup, kaya makna dan terus bisa dibaca kembali serta dimaknai kembali sebagai dokumen. Puisi akan terus hidup ketika dimaknai oleh para pembaca. Di kesempatan kali ini, teman-teman muda yang tergabung di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Sastra, Dewan Kesenian Kampus, untuk kedua kalinya ‘bergerak’ mendokumentasikan karya mereka melalui sebuah antologi puisi dan cerpen yang bertajuk “Gerimis di Mata Kekasih”.

Kekasih memang tidak pernah usang menginspirasi, entah gerimis, badai, senja, bahkan pekat malam di matanya menjadi benih imajinasi mereka yang berkarya. Harapan saya, antologi kali ini menjadi ladang subur bertumbuhnya benih kreatifitas bagi kelahiran antologi-antologi berikutnya.

Hat Pujiati

Secubit tentang “Karapan Laut”



Oleh Hat Pujiati
*Tulisan ini disampaikan dalam acara Bedah Buku Karapan Laut karya Mahwi Air Tawar di Jember

Kumpulan cerpen karya Mahwi Air Tawar “Karapan Laut” ini memiliki benang merah di ‘laut’ seperti terbaca pada judulnya. Laut yang merupakan baskom besar berisi ganangan air beriak bagi sebagian kita yang jauh dari laut, menjadi ber’jiwa’ di tangan Mahwi dengan mengangkat kehidupan pesisir yang dinamis. Laut berbicara, laut menjadi sumber petanda bagi sisi masyarakat yang nelayan, yang Madura dalam  buku ini.
Lokalitas masyarakat nelayan di daerah Madura dengan detil setting yang tertuang dalam cerpen-cerpen tersebut menjadi kekayaan yang khas. Penghargaan pada BUPAK – RATOH – GURUH  yang merupakan tiga pilar penting masyarakat Madura hadir mendera dalam tulisan tersebut seakan menjadi ruh dalam buku ini. Dalam Anak Laut semisal, hubungan antara Durakkap dan Ramuk sebagai ayah dan anak yang saling menjaga kehormatan keluarga berakhir dengan pertumpahan darah dengan keluarga lain. Guruh atau guru dalam cerpen tersebut yang disandang Rabbuh tetap dihormati dan diperlakukan hormat dalam pertarungan carok yang jantan oleh Durakkap yang sebenarnya kecewa terhadapnya.
Dunia nelayan yang miskin, yang bertaruh hidup di laut dan berjuang dari lilitan hutang rentenir mewarnai cerita. Perjodohan dini (dengan jabang bayi yang masih dalam kandungan) juga mengalir dalam Tubuh Laut hingga detil peristiwa pesta pernikahan di kampung nelayan Madura. Sapi Sono’ mengupas suka duka memelihara dan memiliki sapi primadona dalam tontonan masyarakat menyajikan sentuhan baru. Bila dalam banyak cerita rakyat kita tak banyak mengasihi hewan (si Tumang dalam legenda Tangkuban Perahu malah tragis karena dimakan anaknya), ada foice yang berpihak pada Rattin si sapi pesolek yang didandani sang pemilik namun juga dieksploitasi untuk kesenangan dan memelihara keangkuhan sang pemilik. Banyak yang bisa didiskusikan perihal kearifan lokal dalam buku kemenangan Mahwi sebagai penulis yang kekeh dalam membawa sastra yang nyastra tanpa campurtangan media dengan batasan ideologis masing-masing media ini. Selain Bupak-Ratoh-dan guruh yang saya ungkapkan tadi, lebih baik putih tulang daripada putih Mata juga beberapa kali muncul dalam cerpen-cerpen Mahwi kali ini, dan juga penamaan karakter yang sangat lokal.
Plot dalam cerpen-cerpen Karapan Laut cukup dinamis, keterbatasan cerpen yang tentu saja pendek tidak membuat cerita-cerita ini jadi ‘pendek’ namun menyisakan perenungan.  Bila kadang kekerasan tampak dimenangkan dalam cerpen-cerpen ini, menurut saya itu bukan semata-mata sebagai sebuah kekerasan tetapi kerja semesta yang coba dihadirkan dalam cerita. Salah-benar bukan bagian yang saklek dalam tulisan-tulisan ini tetapi sesuatu yang dinegosiasikan. Sesuatu dihadirkan bukan antara paramount sebagai pusat yang diamini peripheral, tetapi keduanya saling bertukar posisi. Kernel dan satellite yang saling bertukar, dan ini menjadi kekuatan cara bercertita Mahdi di sini.
Bila Oka Rusmini banyak menulis tentang Bali dengan kebaliannya dan pembelaan pada kaum perempuan dalam tradisi Bali, ada Mahdi Air Tawar yang bicara tentang dunia lelaki dari Madura dengan kemaduraan yang kerab menempatkan perempuan dalam dua sisi berlawanan secara simultan, sebagai Subjek dan Objek secara bersamaan pada posisinya dalam budaya. Misal Markoya sang penjaja keliling hadir dalam wacana perempuan powerful di sini dalam cerpen BINDRING, dia pekerja keras dan tidak tergantung pada lelaki. Tapi kegagahannya sebagai perempuan baru muncul ketika kaum lelaki berangkat kerja, saat tak ada kekuatan lelaki di perkampungan, dia baru datang mengambil alih posisi subjek, namun disaat yang sama juga dia tak berdaya di hadapan Ke Bruddin yang laki-laki. Lastri yang melacur sambil berjualan keliling dihadirkan gagah sebagai pemberani, tak risau dengan gunjingan orang perihal kebiasaannya menjual tubuh selain jual baju, dia berani memilih, untuk uang. Tapi dia juga hilang percaya diri saat ingat sang guru, Ke Bruddin yang memesan kafan padanya yang kemudian dipahami sebagai tanda perintah agar ‘insaf’. Artinya dia pun mengakui dirinya pendosa, maka terpikir untuk bertobat. Lantaklah kekuatannya. Istri Kiaji Subang yang kalah kuasa saat suaminya berkehendak menikah dengan pesinden, dihadirkan dengan irasionalitasnya sebagai perempuan yang menggunakan Letre’ menjadi sangat perempuan. Tapi saat dia menego penjaga kubur dengan tubuhnya yang telanjang bulat, dia memegang kendali atas lelaki. Saat hadir dalam cerpen Bajing, si istri menjadi pelampiasan kemarahan sang suami, diobjekkan karena dia rasional dengan pernyataan atau pun pertanyaannya. Namun posisinya menyubyek saat dia dengan ketus memadamkan api tungku dengan menancapkan kayu yang membara itu ke pasir.