Oleh Hat Pujiati
*Tulisan ini disampaikan dalam acara Bedah Buku Karapan Laut karya Mahwi Air Tawar di Jember
dipublikasi di laman berikut: http://penyair-air.blogspot.co.id/2014/08/secubit-tentang-karapan-laut-oleh-hat_17.html
Kumpulan cerpen karya Mahwi Air Tawar “Karapan Laut” ini memiliki benang
merah di ‘laut’ seperti terbaca pada judulnya. Laut yang merupakan baskom besar
berisi ganangan air beriak bagi sebagian kita yang jauh dari laut, menjadi
ber’jiwa’ di tangan Mahwi dengan mengangkat kehidupan pesisir yang dinamis.
Laut berbicara, laut menjadi sumber petanda bagi sisi masyarakat yang nelayan,
yang Madura dalam buku ini.
Lokalitas masyarakat nelayan di daerah Madura dengan detil setting yang
tertuang dalam cerpen-cerpen tersebut menjadi kekayaan yang khas. Penghargaan
pada BUPAK – RATOH – GURUH yang
merupakan tiga pilar penting masyarakat Madura hadir mendera dalam tulisan
tersebut seakan menjadi ruh dalam buku ini. Dalam Anak Laut semisal, hubungan antara Durakkap dan Ramuk sebagai ayah
dan anak yang saling menjaga kehormatan keluarga berakhir dengan pertumpahan
darah dengan keluarga lain. Guruh atau guru dalam cerpen tersebut yang
disandang Rabbuh tetap dihormati dan diperlakukan hormat dalam pertarungan carok yang jantan oleh Durakkap yang
sebenarnya kecewa terhadapnya.
Dunia nelayan yang miskin, yang bertaruh hidup di laut dan berjuang dari
lilitan hutang rentenir mewarnai cerita. Perjodohan dini (dengan jabang bayi yang
masih dalam kandungan) juga mengalir dalam Tubuh
Laut hingga detil peristiwa pesta pernikahan di kampung nelayan Madura. Sapi Sono’ mengupas suka duka memelihara dan memiliki sapi
primadona dalam tontonan masyarakat menyajikan sentuhan baru. Bila dalam banyak
cerita rakyat kita tak banyak mengasihi hewan (si Tumang dalam legenda
Tangkuban Perahu malah tragis karena dimakan anaknya), ada foice yang berpihak pada Rattin si sapi pesolek yang didandani sang
pemilik namun juga dieksploitasi untuk kesenangan dan memelihara keangkuhan
sang pemilik. Banyak yang bisa didiskusikan perihal kearifan lokal dalam buku
kemenangan Mahwi sebagai penulis yang kekeh dalam membawa sastra yang nyastra
tanpa campurtangan media dengan batasan ideologis masing-masing media ini. Selain Bupak-Ratoh-dan guruh
yang saya ungkapkan tadi, lebih baik putih tulang daripada putih Mata juga
beberapa kali muncul dalam cerpen-cerpen Mahwi kali ini, dan juga penamaan
karakter yang sangat lokal.
Plot dalam cerpen-cerpen Karapan Laut
cukup dinamis, keterbatasan cerpen yang tentu saja pendek tidak membuat cerita-cerita ini jadi ‘pendek’ namun
menyisakan perenungan. Bila kadang kekerasan tampak dimenangkan dalam
cerpen-cerpen ini, menurut saya itu bukan semata-mata sebagai sebuah kekerasan
tetapi kerja semesta yang coba dihadirkan dalam cerita. Salah-benar bukan
bagian yang saklek dalam tulisan-tulisan ini tetapi sesuatu yang
dinegosiasikan. Sesuatu dihadirkan bukan antara paramount sebagai pusat yang diamini peripheral, tetapi keduanya saling bertukar posisi. Kernel dan
satellite yang saling bertukar, dan ini menjadi kekuatan cara bercertita Mahdi
di sini.
Bila Oka Rusmini banyak menulis tentang Bali dengan kebaliannya dan pembelaan pada kaum perempuan dalam tradisi Bali,
ada Mahdi Air Tawar yang
bicara tentang dunia lelaki dari Madura dengan kemaduraan yang kerab
menempatkan perempuan dalam dua sisi berlawanan secara simultan, sebagai Subjek
dan Objek secara bersamaan pada posisinya dalam budaya. Misal Markoya sang penjaja keliling hadir dalam
wacana perempuan powerful di sini dalam
cerpen BINDRING, dia pekerja keras
dan tidak tergantung pada lelaki. Tapi kegagahannya sebagai perempuan baru
muncul ketika kaum lelaki berangkat kerja, saat tak ada kekuatan lelaki di
perkampungan, dia baru datang mengambil alih posisi subjek, namun
disaat yang sama juga dia tak berdaya di hadapan Ke Bruddin yang laki-laki.
Lastri yang melacur sambil berjualan keliling dihadirkan gagah sebagai
pemberani, tak risau dengan gunjingan orang perihal kebiasaannya menjual tubuh
selain jual baju, dia berani memilih, untuk uang. Tapi dia juga hilang percaya
diri saat ingat sang guru, Ke Bruddin yang memesan kafan padanya yang kemudian
dipahami sebagai tanda perintah agar ‘insaf’. Artinya dia pun mengakui dirinya
pendosa, maka terpikir untuk bertobat. Lantaklah kekuatannya. Istri Kiaji
Subang yang kalah kuasa saat suaminya berkehendak menikah dengan pesinden,
dihadirkan dengan irasionalitasnya sebagai perempuan yang menggunakan Letre’
menjadi sangat perempuan. Tapi saat dia menego penjaga kubur dengan tubuhnya yang
telanjang bulat, dia memegang kendali atas lelaki. Saat hadir dalam cerpen
Bajing, si istri menjadi pelampiasan kemarahan sang suami, diobjekkan karena
dia rasional dengan pernyataan atau pun pertanyaannya. Namun posisinya
menyubyek saat dia dengan ketus memadamkan api tungku dengan menancapkan kayu
yang membara itu ke pasir.
No comments:
Post a Comment