http://matatimoer.or.id/2017/06/08/peradaban-posmodern-kembalinya-pesona-dunia-dalam-sastra/
Oleh Hat Pujiati[1]
Salah satu hasil peradaban modern adalah cara pandang
biner, ketika ada pemikiran lain dari modernisme maka ia akan dikategorikan
sebagai oposan dari modern itu sendiri. Modern menjadi pusat, yang lahir
sebelum modern disebutnya sebagai tradisional, yang lahir setelah kehadirannya
menjadi pos-modern. Perihal bila yang tradisional adalah yang dieksklusi oleh
modern dan cenderung inferior daripada modern, posmodern lebih dipandang
sebagai kondisi, gerakan atau peradaban ‘setelah’ modern. ‘Setelah’ (post) pada
kata ‘modern’ menghadirkan posisi biner antara modern dan posmodern. Namun
demikian, posmodern yang asalnya lahir dari kekecewaan pada dampak modernisme,
perang dunia sebagai puncaknya, tidaklah takluk pada klasifikasi modern. Secara
ontologis, ia menekankan multiplisitas yang tumbuh dan berkembang dalam
pemikiran posmodernisme bukan dalam bentuk pasca-modern yang terputus, tetapi
sebagai organisme (Pamela Alen).Walau pun pada akhirnya, organisme sebagai
model dari keterhubungan modern dengan posmodern ini dipertanyakan lagi, karena
posmodern dipandang sebagai sesuatu yang baru, yang menentang keterhubungan.
Pemikiran posmodern terus berkembang dari beragam sudut pandang, menghadirkan
keberagaman dan multiplisitas.
Dalam tulisan ini saya pun masih mengurutkan posmodern
dari modern, juga menghadirkan yang tradisional. Bila Modern cenderung
menginferiorkan tradisi, posmodern memberi ruang pada keduanya. Sub-sub judul
pada artikel berikut memberikan ruang pada tradisi dalam konteks biner dari
modern tapi juga ruang pada perayaan tradisi dan moden di bawah payung postmodern.
Eksklusi Modern
pada Tradisi; Hilangnya Pesona Dunia (Disenchantment
of the World)
Ketika
alam dianggap sahabat, diperlakukan sebagai bagian dari semesta yang menjadi
milik manusia, ikatan antara alam dan manusia ini mengakar dalam wujud budaya.
Manusia dan alam merasa saling terikat yang menimbulkan kesadaran psikis akan
ikatan keduanya dan timbullah pesona (enchantment).
Akan tetapi, Revolusi Scientifik abad 16-17,
melalui sekat-sekat rasionalitasnya justru mengasingkan manusia dengan
alam sehingga memutus pesona dunia yang tadinya ada dalam kesadaran manusia
atau dunia psikisnya (Berman:1981;16-17). Descartes sebagai pengusung
cikal-bakal pemikiran rasional yang berakibat pada kemajuan ilmu pengetahuan
telah membuat manusia terkotakkan dengan kekhususan pengetahuannya dan
menjadikan dirinya sebagai penguasa alam. Dengan demikian alam diposisikan
sebagai objek sementara manusia sebagai subjek. Reifikasi terhadap segala
bentuk yang terpikirkan oleh subjek, pada perkembangan berikutnya, seisi alam menjadi objek.
Demikian pula manusia di dalamnya sehingga manusia teralienasi. Alienasi alam
dengan manusia menghadirkan hilangnya pesona dunia (disenchantment).
Weber menggambarkan disechantment of the world sebagai putusnya
spiritualitas manusia dengan tuhan. Disenchantment of the world dikatakan Weber sebagai berikut:
...the knowledge and belief that in principle there were no
mysterious and incalculable forces that matter, but that all things in
principle could be controlled by calculation. ...unlike the primitive for whom
such forces did exist you don’t have to use magical means to control or
influence the ghosts. Technical means and calculation do it.
(Weber
dalam Max Preglau, 2003:25-6).
(...pengetahuan
dan kepercayaan yang prinsipnya tidak mempercayai adanya kekuatan-kekuatan
misterius dan tidak kalkulatif, tapi segala sesuatunya adalah terkendali oleh
kalkulasi. ...tidak seperti orang primitif yang yang menganggap kekuatan
misterius dan yang tak dapat dikalkulasi itu ada, tetapi kamu tidak perlu
menggunakan alat magis untuk mengendalikan atau mempengaruhi hantu-hantu.
Alat-alat teknis dan kalkulasi lah yang melakukannya untukmu.)
Kepercayaan-kepercayaan
dan pesona alam menghilang dengan penjelasan ilmiah, terukur atau rasional.
Pendewaan pada rasionalitas semakin tegas dalam gambaran hilangnya pesona dunia
pembacaan Weber dan muncullah economic man yang kehilangan tuhannya.
Ritual keagamaan dan hubungan sosial hanya menjadi rutinitas yang tinggal
cangkang tanpa hubungan mengikat antara manusia dengan tuhannya.
Rasionalitas
yang garing spiritualitas membuat manusia ada dalam masa carut marut secara
psikologis menghadapi kenyataan-kenyataan bermata ganda dan tak memenuhi
harapan. Apa yang ditutupi modernisme dengan keterpusatannya dan reifikasinya
yang ternyata mengalienasi manusia akhirnya diumbar kembali tetapi dengan
perubahan-perubahan sesuai pencapaian perkembangan pikir manusia yang tak dapat
dipungkiri dari era modern yaitu rasionalitas. Pada gilirannya pesona itu
dihadirkan kembali- re-enchantment of the world.
Kapitalisme Lanjut
dan Kembalinya Pesona Dunia
Perkembangan teknologi dalam peradaban manusia
mempunyai andil signifikan. Posisi logika sebagai pemegang aturan main,
menggiring manusia pada inovasi tiada batas, pengetahuan berkembang pesat. Perkembangan
teknologi menjadi konsekwensi dari keadaaan tersebut. Lebih lanjut lagi, cara
produksi masyarakat pun berubah yang berarti perubahan pada sistem ekonomi
dunia (Faruk: 2001; 27).
Perubahan perspektif pada tanah berubah, Eropa
mengalami Revolusi Industri sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan
pengetahuan. Produksi masal pun menjadi peluang penampungan kapital bagi
produsen. Dunia tiba-tiba menjadi riuh karena semua menjadi pasar. Reifikasi
ideologis juga dikomodifikasi sehingga masyarakat berubah signifikan dalam gelombang
peradaban. Teknologi elektronik dan transportasi membuat globalisasi tak
terbendung lagi (Faruk: 2001; 27), ruang dan waktu termampatkan, kapitalisme
pun melibatkan masyarakat dunia dalam arus perubahan global tersebut.
Ketika gelombang perubahan melaju, cara-cara manusia
berinteraksi, berbicara dan mempersepsi segala sesuatu dalam kehidupan
sehari-hari juga berubah. Abstraksi-abstraksi kehidupan yang dilakukannya juga
berubah. Dengan demikian kebudayaan masyarakat berubah. Peredaran barang yang
mengglobal dan cara-cara menikmati hidup juga memiliki bentuk-bentuk baru. Hubungan tanda-penanda beranjak dari semula. Jean
Boudrillard menguraikan efek psikologis dari perubahan-perubahan kultural yang
juga merupakan kelanjutan dari perubahan-perubahan moda produksi. Menurutnya,
pergeseran makna itu terjadi dalam 4 tahap dan akhirnya peristiwa-peristiwa
hanyalah simulasi-simulasi yang menghadirkan hiperrealitas; kesadaran palsu
terasa lebih nyata dari kenyataan sebenarnya dan sulit dibedakan mana yang lebih
nyata. Jadi kapitalisme pada puncaknya mengembalikan pesona dunia melalui
teknologi.
Fiksi Posmodernis
Gelombang perubahan yang masiv dalam peradaban
masyarakat dunia juga terjadi pada wujud karya seni sebagai ekspresi anggota
masyarakatnya. Karya sastra sebagai rekaman peradaban turut memeriahkan
keriuhan dan kecarut marutan gelombang perubahan. Pemikiran-pemikiran filosofis
dalam menerima peradaban muncul dalam bentuk puitik yang terbuka terhadap
banyak kemungkinan bahkan kerab mengaburkan teks dan konteks. Brian McHale
mencoba menstrukturkan fiksi posmodernis yang antistruktur sebagai praktik
kebahasaan di dunia yang serba mungkin, dalam temuan-temuan baru media ekspresi
dan moda informasi yang juga tak kalah masif menimbulkan perubahan.
Penghadiran
dunia-dunia paranormal, the uncanny,
dunia samping menurut McHale dalam Postmodernist
Fiction adalah salah satu cara menghadirkan dominan ontologis dalam sastra
postmodern. McHale membedakan posisi filosofis pemikiran dalam sastra
ditentukan oleh dominan epistemologis dan ontologis. Sastra modernis dipimpin
oleh dominan epistemologis yang berkaitan dengan pengetahuan, sementara sastra
posmodernis menurutnya adalah yang dipimpin oleh dominan ontologism. Permainan
mode-mode keberadaan (ontologis) dalam sastra dibangun dengan pembangunan dunia
plural (Wolrds), kata-kata (Words), dan Konstruksi. Bila dunia paranormal dan
keanehan-keanehan dalam fiksi itu dibawa pada konsep Weber sebelumnya, maka
saya menilai itu sebagai bentuk pesona dunia yang dihadirkan kembali, yaitu
pesona dunia bukan yang berasal dari peradaban tradisional, melainkan yang
telah melampaui modernism atau disebut Bowman sebagai
Reenchanment of the
world. Reenchantment
of the world yang merupakan konsep sosiologis diterjemahkan oleh McHale
sebagai paranormal atau uncanny
sementara Wendy B. Faris dalam Ordinary
Enchantment: Magical Realism and the Remystification of Narrative
menggarisbawahinya dengan kata Magical atau magis yang berarti di
luar kenormalan. Dalam bukunya tersebut dia mengkategorikan lima penciri sastra
realisme magis. Pertama, teks mengandung elemen magis tak tereduksi. Kedua,
teks detil menghadirkan dunia penomenal yang kuat. Ketiga, teks membangun
keraguan pada pembaca dari peristiwa yang kontradiktif. Keempat, narasi
memunculkan realm yang berbeda.
Kelima, realisme magis mengganggu penerimaan ide akan waktu, ruang dan
identitas (Faris, 2004:7). Dari
pengklasifikasian pada lima ciri tersebut Faris memetakan posisi magical realism sebagai posmodernisme
dan juga sebagai poskolonialisme. Realisme magis akan tergolong posmodern terkait dengan pluralitas
dunia yang dibangunnya, penghancuran narasi besar, rasionalitas dan
irasionalitas yang simultan hadir mengacaukan ruang dan waktu yang meragukan.
Sementara bila realisme magis
muncul sebagai strategi kedirian untuk melampaui batas-batas antara Barat dan
Timur, asumsi-asumsi kebenaran yang dibangun kolonialis teks tersebut ada dalam
kanopi poskolonial. Namun, kedua
posisi tersebut masih berpotongan dalam konteks posmodern terkait dengan
penghancuran narasi besar, pluralitas, dan strategi. Dengan demikian, teori
posmodernis yang diajukan McHale sejalan dengan apa yang diajukan Faris dan
saya masih menengarai keterhubungan re-Enchantment of the World
dengan paparan McHale dan Faris. Hal ini
menegaskan bahwa yang terjadi di tataran konseptual, yang abstrak seperti yang
kerab dibicarakan dan perdebatkan dalam karya sastra, terhubung dengan yang ada
di dunia nyata. Fenomena-fenomena kebudayaan di era tenologi dan informasi yang
terus tumbuh saat ini, yang nyata, juga kembali diabstraksi, dipahami,
diuraikan melalui jalur-jalur konseptual. Dunia tak habis menebar pesona bagi
manusia yang menghuninya. Rekaan-rekaan virtual yang semula begitu utopis dalam
karya sastra, film dan seni lainya kemudian dinikmati sebagai kenyataan dalam theme parks seperti yang dicontohkan
Boudrillard. Teknologi membuat kita melihat diri palsu dalam dunia nyata namun
menikmati kepalsuan semacam aplikasi-aplikasi beautyplus di Android. Manusia
saat ini juga menikmati dunia gemerlap dan hedon tetapi break untuk menjalankan ritual religiusnya dan kembali dalam
ajib-ajibnya. Sebagian dari kita juga mengadakan syukuran atas keberhasilan
yang dicapai dengan usaha keras kita melalui jalur logis, namun bersyukur pada
Tuhan yang (magis) karena telah membuat kita berhasil. Artinya, peristiwa ini
merupakan perpaduan yang realis dan magis, postmodernman
tidak berjejak pada satu posisi secara utuh. Maka sekali lagi, menurut saya
pesona itu kembali lagi dengan memadukan logika yang bisa ditelusuri dalam
kenyataan (realita) dengan yang magis.
Jean
Boudrillard dari paradigma
sosiologis berbicara mengenai hiperrealitas terkait dengan hal yang tidak
sepenuhnya nyata, yang mempesona, namun kerab dianggap nyata. Teknologi
dianggap memberikan lonjakan-lonjakan kekaguman atau pesona sementara di waktu yang sama hal itu disadari sebagai ciptaan
yang tidak mampu dinalar logis namun peristiwa dinikmati sebagai peristiwa
‘nyata’. Simulasi-simulasi yang membentuk simulacrum menghadirkan
hiperrealitas, menciptakan keterputusan antara tanda dan penandanya. Manusia
postmodern ditengarainya sebagai manusia psyzhoprenic karenanya. Dengan
demikian saya melihat permasalahan yang diangkat dalam cerita-cerita postmodern
dengan menggunakan teknik-teknik penulisan dan penghadiran ‘ada’ itu sebagai
bentuk psyzhoprenic masyarakat posmo yang memberikan ruang anything goes, sebagai masyarakat yang selalu berstrategi dan
bernegosiasi dalam prosesnya “menjadi”.
Maka McHale, Faris, Weber, Berman, dan Boudrillard menurut saya
terhubung, apa yang berkembang dalam sastra tidak dapat dilepaskan dari
peradaban manusianya. Melalui bahasa, sastra merekam peradaban, sastra
menceritakan sejarah pemikiran manusia bukan sekedar peristiwa cerita
pengalaman.
Daftar Bacaan
Allen,
Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi; [re]presentasi Fiksi Indonesia
1980-1995. Terjemahan Bakdi Soemanto. Magelang: Indonesia Tera.
Berger, Peter.L dan Thomas Luckmann. 1966. The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge.
Maryland: Penguin Books.
Berman, Morris. 1981. The Reenchantment of the World.
London: Cornell University Press
Curry, Pattrick. 1999. Magic Vs. Enchantment.
(dalam Journal of Contemporary Religion, vol.14 Num) Cammeray, NSW: Carfax
Publishing, Taylor & Francis Ltd.
Faris, Wendy B., 2004. Ordinary
Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. USA:
Vanderbilt University Press.
Faruk.
2001. Beyond
Imagination.Yogyakarta: Gama Media
Gablik,
Suzi. 1992. The Reenchantment of Art. London: Thames and Hudson Inc.
Hutcheon,
Linda. 1992. A Poetic of Postmodernism. New York and London: Routledge.
Lyotard,
Jean-Francois. 2009. The Posmodern Condition: A Report on Knowledge
(Kondisi Posmodern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan, penerjemah Dian Vita
Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing
McHale,
Brian.1987. Postmodernist Fiction. New York & London: Routledge
Nicol,
Bran. 2002. Posmodernism and the Contemporary Novel: A Reader. Edinburg:
Edinberg University Press Ltd.
Payne,
David. 2005. The Reenchantment of Nineteenth-Century Fiction: Dickens,
Thackeray, George Eliot, and Serializatin. New York.: Palgrave Mcmillan
Preglau,
Max. 2003. Disenchantment and Re-Enchantment of the World; Inscapable
Dialegtics? dalam Religion, Society and Economics: Eastern and Western
Perspectives in Dialogue seri XXIII Theology.Frankfurt am Main:
Peter Lang GmbH- Europaischer Verlag der Wissenschaften.
Piliang,
Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Bandung: Jalasutra.
Schneider, Mark A..1993. Culture and Enchantment.Chicago:
The University of Chicago Press.
Wrong,
Dennis. 2003. Max Weber: Sebuah Khazanah. Yogyakarta:Ikon Teralitera.
Akses data dari
internet:
Jenkins, Richard.
2000. Disenchantment, enchantment and re-enchantment: Max Weber at The
Millennium, dalam jurnal Max Weber Studies, vol. 1 (2000) no. 1, pp. 11-32.
diakses di http:// www. maxweberstudies. org/1.1pdfs /1.1% 2011-32.pdf pada
tanggal 26 Oktober 2008 pukul 5.40 WIB
Klages,
Mary. Berupa materi kuliah elektronik untuk mahasiswanya di Colorado
University, yang dipublikasikan di situs resmi Colorado University : http://
www.colorado. edu/English/ courses/ENGL 2012Klages/pomo.html. diunduh pada 14
November 2008 pukul 17.56 WIB.
Lyotard,
Jean-Francois. The Postmodern Condition diakses dari http://
www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/fr/lyotard.htm pada tanggal
26 Agustus 2009 pukul 9.06 WIB yang dikutip dari The Postmodern Condition (1979) publ.
Manchester University Press, 1984.
No comments:
Post a Comment