Oleh Hat
Pujiati*
Menikmati
karya sastra berbeda dengan menikmati tulisan lain, kita menjelajah ke dunia
lain dari yang kita huni saat membacanya. Katakanlah dunia dalam cerita pada
titik-titik tertentu sejajar dengan dunia kita, tetapi yang tersaji di dalam
cerita adalah hasil abstraksi pengarang yang merupakan bagian dari suatu
masyarakat atas pengalaman dan imajinasinya. Dengan demikian apa yang disajikan
karya sastra bukanlah sepenuhnya copy dari semesta. Karya sastra merupakan
produk imaginatif bermediakan bahasa dengan pemodelan kedua (secondary modelling system menurut
Lotman) yang diciptakan manusia untuk dikonsumsi manusia dengan dominasi unsur
estetis. Bahasa sebagai media dalam karya sastra tidak lah sama dengan bahasa
yang kita pakai sehari-hari yang sifatnya absolut. Artinya bahasa yang dipakai
dalam karya sastra bersifat konotatif, memiliki makna lain di balik makna
literalnya. Apa yang tersurat dalam teks sastra bukanlah totalitas makna,
karena makna yang tersurat memiliki lapis makna lain yang tersirat. Apa
menariknya mengkaji karya sastra jika hanya dari yang tersurat karena bila
demikian dari tahun ke tahun karya itu tetap artefak yang sama? Namun demikian,
karya sastra baik itu dalam bahasa lisan atau tulisan menawarkan keluasan ruang
berimajinasi. Bahasa memberi keleluasaan pembaca atau pendengar cerita untuk
membayangkan sendiri tentang apa-apa yang digambarkan dalam karya. Keleluasaan
tersebut tentu berbeda dengan sajian gambar-gambar, di situlah letak perbedaan
mendasar dari penikmatan karya sastradan film.
Bukankah
film juga menggunakan bahasa? Ya, bahkan bahasa yang digunakan dalam film lebih
banyak, ada bahasa lisan, kadang disertai teks, dan tentu bahasa visual. Justru
keberagaman bahasa dalam film itu membedakannya dengan karya sastra. Bahasa
visual membatasi imajinasi karena sifat visual memaparkan. Elemen lain yang
menyertai film adalah audio yang berdampingan dengan visual yang makin
menguatkan perbedaan antara karya sastra dan film. Keduanya sama-sama karya
seni, sama-sama hasil imajinasi dari dan untuk manusia berdasar pengalaman dan
abstraksi manusia dan untuk manusia. Walau pun pada banyak aspek keduanya
saling berbagi kesamaan, tetapi media yang digunakan dan teknik penyajiannya
juga berbeda sehingga keduanya tidak pernah bisa disamakan. Bukan sebuah
anomali jika kemudian karya sastra yang dialih-mediakan ke dalam film (dikenal
juga dengan istilah ekranisasi yang
berarti pelayarlebaran) atau bentuk-bentuk seni yang lain
menjadi berbeda. Ada aspek-aspek yang tidak bisa diterjemahkan dari satu media
ke media lainnya.
Sebut
saja antara novel Di Bawah Lindungan
Ka’bah karya Buya Hamka dan filmnya, yang baru-baru ini tayang di gedung
bioskop tanah air, berbeda atau mungkin lebih ekstrim sebagian mengatakan
mengecewakan. Dalam kerangka kajian akademis, sekedar mengaduk-aduk perbedaan
antara film dan karya sastra akan membuat kajian ‘basi’. Hal itu hanya akan
seperti mengurai-urai perkara bentuk dua media yang jelas berbeda, seperti
membuat daftar perbedaan, mengumpulkan data, tetapi tidak menganalisis mengenai
perbedaan. Permasalahan perbedaan yang terjadi pada dua media tersebut terletak
pada ‘mengapa berbeda?’. Perbedaan-perbedaan tersebut dibuat karena ada
kreatifitas pencinptanya dan tentu bukan tanpa alasan, andai pun itu terjadi
tanpa disadari. Mungkin saja hal itu dibuat karena faktor ekonomi atau politik
atau budaya. Kembali pada contoh yang saya sebutkan sebelumnya, Di Bawah
Lindungan Ka’bah yang dalam versi novel kental dengan kehidupan Melayu yang
tampak hati-hati menjaga nuansa Islaminya, ketika muncul dalam film sangat
berbau “Sinetron”. Sinetron Indonesia yang bersandar pada penyandang dana dan
dramatis atau dalam bahasa remaja saat ini disebut dalam istilah ‘lebay’.
Misalnya saja pada bagian Hamid yang harus meninggalkan desanya karena dituduh
telah berbuat tidak senonoh terhadap Zainab saat menolong dia yang tenggelam di
sungai hingga Hamid harus memberikan pertolongan
pertama dengan nafas buatan (CPR). Sementara di dalam novel Hamid mininggalkan
kampung karena tak kuasa menahan perasaannya pada Zainab namun juga tak mampu
mengungkapkan. Penonton di samping saya mengatakan bagain itu terlalu dramatis.
CPR (Cardio-Pulmonary
Resuscitation) sebagai teknik pertolongan pertama baru diteliti tahun 1950
dan diteliti lebih lanjut hingga 1960an oleh Safar seorang dokter bedah Austria
yang baru lahir tahun 1924, jadi bagaimana Hamid kenal CPR saat itu? Dan berbagai peristiwa
dramatis lain yang justru urung membuat penonton tersebut menangis.
Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah logika cerita salah? Lantas bagaimana menikmati karya
sastra yang difilmkan atau dialih-mediakan ke dalam teater atau pun musik dan
sebagainya? Haruskah kita sibuk dengan data dan relasi? Cerita memiliki
logikanya sendiri, jadi tidak ada cerita salah, semua hal yang ada dalam cerita
menjadi teks yang punya dunianya sendiri dan tidak bisa disamakan dengan logika
dalam dunia nyata, semua peristiwa tersebut ada maknanya. Menikamati karya sastra atau film tentu saja
sesuka kita, siapa yang mampu membunuh sisi manusia kita mengingat hakikat
manusia adalah makhluk subjektif ? Menjadi larut dalam cerita hingga menangis
atau malah merutuk apa salahnya? Asal jangan jadikan itu sebagai penilaian
akhir, melainkan langkah awal untuk mengamati, memahami dengan caranya sendiri,
memaknai, dan kemudian mengkritisi. Karena menikmati dan mengkritisi adalah dua
tahap berbeda, namun berhubungan. Menikmati dengan cara awam bukan berarti
terlena, sudah saatnya kita makin kritis dengan apa-apa yang terjadi di sekitar
kita, termasuk pada sastra dan film kita.
*Penulis adalah
staf pengajar di Jurusan Sastra Inggris, fakultas Sastra,Universitas Jember.
No comments:
Post a Comment