Oleh Hat Pujiati[1]
Dipublikasi di Jurnal Ilmiah Kesusasteraan/Alayasastra
Volume 4, Oktober 2008(ISSN: 1412-2294) oleh Balai Bahasa Jawa Tengah
Pendahuluan: Kapitalisme, sebuah Pertemuan Posmodernime dan
Dekonstruksi
Arus
kapitalisme yang dimotori industrialisasi masa modern memberikan suntikan
suplemen pada keglobalan masyarakat ini dan muncul istilah Anything Goes yang
dikumandangkan Lyotard[2]. Semua jadi mungkin ketika
ada uang. Uang dengan mudah merangkai serpihan-serpihan atau potongan-potongan
budaya yang tercecer di dalam ruang publik dan menciptakan ekletisisme.
Padu-padan fragmen-fragmen ini mewujud dalam wadah-wadah ekspresi dalam kehidupan,
termasuk dunia sastra.
Roh
posmodernisme bercirikan gerakan keluar dari pikiran modernisme dengan
menerobos konsep-konsep biner. Pemikiran
dikotomis yang mapan di jaman modern menjadi target perlawanan pemikiran
posmodernis. Kecenderungan ini mengangkat segala sesuatu yang selama ini telah
dipinggirkan menjadi perlawanan khas terhadap modernisme. Minoritas dipaparkan
sebagai sebuah keseluruhan tersendiri yang menarik, tidak lagi dibandingkan
dengan mayoritas karena keduanya dianggap memiliki entitasnya sendiri-sendiri
namun demikian masih bisa dibedakan karena masing-masing entitas memiliki
keunikan sendiri. Karya sastra pun menjadi ajang penggembosan narasi-narasi
besar, pembalikan wacana-wacana langgeng yang telah terbangun secara diskursif
dan penghadirkan keabsahan pluralitas
pemaknaan dalam pemaknaan teks.
Mendekonstruksi
teks karya sastra adalah salah satu cara untuk membuka simpul-simpul
penyeragaman pemikiran yang coba dibekuk modernitas dalam satu kesatuan.
Pembukaan simpul-simpul ini membawa keragaman dalam pemaknaan pikiran yang ada
di dalam karya. Pikiran-pikiran dikotomis yang dipetakan modernisme menjadi titik
berangkat dekonstruksi untuk kemudian diterobos dan merayakan pluralitas.
Konsep
dekonstruksi Derrida adalah teori pembacaan yang memiliki kesejajaran dengan
posmodernisme. Dekonstruksi anti logosentris, yaitu adanya keterpusatan
kebenaran dan posmodernisme anti narasi besar.
Kerangka Teoretis: Derrida dan Medekonstruksi Teks
Jaques
Derrida, seorang filusuf Perancis asal Aljazair, pertama kali mengenalkan teori
dekonstruksinya untuk membongkar batasan-batasan dalam filsafat barat namun
kemudian ini bisa diterapkan di dalam teks apa saja. Dia melawan opossisi biner
yang dibawa Saussure dan dilestarikan Levi-Strauss. Dalam pandangan Derrida,
oposisi biner mengindikasikan pusat, atas, asal, atau pun isi yang diangap
lebih penting dari pinggiran, bawah, turunan, atau pun lampiran. Saussure
menggap tulisan adalah representasi lisan yang presen (hadir) dan yang lisan
merepresentasikan kehadiran subjek. Maka itu lisan dianggap lebih bernilai dari
tulisan karena lisan memungkinkan auto-affection[3]. Derrida justru hendak
mendekonstruksi hal tersebut. Substansi
atau esensi itu tidak ada, yang ada hanya bentuk.
Menurut Derrida, yang lisan itu
sebenarnya tulisan, yang lisan itu meniru tulisan. Lisan itu bukan present
tapi represent. Tulisan adalah sekunder, jadi tidak perlu diteliti,
karena dia hanya representasi, yang penting adalah yang hadir sekarang, tulisan
itu, bukan masalah tulisan sebagai tiruan bunyi maka itu bunyi dianggap lebih
penting. Sedangkan yang hadir ini pun sebenarnya juga representasi dari bentuk
lain. Semuanya hanya representasi, penundaan kehadiran subjek total yang terus
menerus. Tulisan membedakan namun ternyata lisan juga membedakan keduanya tidak
ada yang hadir tapi hanya sistem relasi yang bersifat formal. Bagi Derrida,
kenyataan disusun seperti tulisan, dan tulisan adalah sistem perbedaan dan
persamaan, itulah difference – defferance.
Teori
dekonstruksi Derrida akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah
cerpen Djenar yang berjudul Ha...ha...ha... ini, namun demikian dalam
rangkaian analisis pembongkararan narasi ini tidak menutup kemungkinan
penggunaan teori-teori pendukung lainnya. Pendekatan yang akan digunakan dalam
meganalisis cerpen ini adalah dengan pendekatan semiotik[4]. Pendekatan semiotik
dipilih dalam penulisan makalah ini untuk membantu memahami konstruksi makna
yang ada di dalam teks. Pendekatan ini akan menyoroti teks dari aspek struktur
teks tersebut. Konsep-konsep yang ditawarkan Mchale juga berperan dalam analisa
fiksi pormodernis sehingga dalam tulisan ini pendapat Mchale juga akan mewarnai
analisa cerpen.
Berkenaan
dengan narasi, Belsey[5] dalam Critical Practice
memberikan ulasan mengenai struktur narasi yang punya andil dalam mempengaruhi
pembacanya. Akan tetapi, kompleksitas pengalaman dan pengetahuan pembaca mampu
merombak arahan narator dalam memaknai cerita. Menurutnya, mendekonstruksi teks
artinya mencari kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalam teks dan melampaui
batasan-batasan apa yang dibangun oleh teks, melepaskan ikatan-ikatan yang
membatasi teks tersebut. Pelepasan ikatan-ikatan tersebut menghasilkan
pluralitas yang terbuka dalam pembacaan kembali bahkan dalam konsep Barthes[6] ini juga menghasilkan
penulisan kembali. Lebih dalam lagi, mendekonstruksi teks adalah membuka
ketidakmungkinan yang mungkin ada dalam teks termasuk juga bagian-bagian
ideologis yang terselip di dalam teks.
Medan Semantik
Oposisi-oposisi yang dihadirkan dalam cerita
diterobos dan dihancurkan dan kembali membangun
oposisi baru dan tindakan-tindakan penerobosan yang baru pula. Medan-medan
semantik yang bisa saya tangkap dari cerpen ini adalah sebagai berikut;
Rumah
Luar rumah Rumah
setan (batin) Sera (Ibu)
Kegelisahan ketenangan
kenyataan Hati
fisik
yoga
Sebab akibat
neraka Surga
setan Tuhan
doa
anak orangtua
ibu ayah
kekerasan kedamaian
kesalahan kebenaran
objek subjek
subjek' subjek
kenyataan
uang
Luar rumah
Berangkat
dari kontradiksi antara rumah dan luar-rumah yang ada dalam cerpen, ideologi
yang tampak dari sisi ini adalah kekerasan. Dua dunia yang disadari narator ini
membawa kegelisahan-kegelisahan yang berkepanjangan. Dia sebagai penghuni rumah
mengamati orang-orang yang ada di dalam rumah dan mengidentifikasi dirinya
untuk kemudian bisa bertindak sesuai dengan dunia yang didiaminya. Sera
menyebutnya anak setan, Sera pun diartikan sebagai setan, identifikasi itu
memunculkan kontradiksi antara Sera (ibu) dan Setan, setan juga bersuamikan
setan maka itu mereka beranak setan. Bapak
yang punya kekuasaan di dalam rumah menjadi penentu suasana, bahkan nasib
narator. Akses Bapak ke luar rumah kemudian menampakkan muasal kekerasan di
dalam rumah. Kekerasan ini berasal dari luar rumah dan kemudian menimbulkan
oposisi berikutnya yang berupa kegelisahan dan ketenangan. Seperti disebutkan
di dalam sinopsis, narator gelisah degan perilaku Ibu dan Bapaknya yang
berdampak pada dirinya, Sera gelisah dengan perilaku Bapak yang senang berjudi,
main perempuan dan menghamburkan uang, bapak sendiri gelisah dengan uang yang
diberikan Sera maka dia menghamburkannya dengan cara keluar rumah. Kenyataan
yang mereka hadapi adalah kegelisahan tapi di dalam hati kegelisan-kegelisahan
itu menemukan jalan keluar.
Sebab-akibat
juga bisa dijadikan ruang oposisi dari hubungan Sera dan Bapak yang melahirkan
masalah yang kompleks di dalam rumah. Sementara antara kenyataan dan hati,
batin dan lahir, oposisi ini mengindikasikan oposisi pada lingkup yang lebih
besar lagi yaitu neraka dan surga yang artinya oposisi tersebut juga
menghadirkan kontradiksi antara setan dan Tuhan. Kehadiran setan-setan di dalam
rumah menghadirkan oposisi kebenaran dan kesalahan.
Sementara
itu, peristiwa-peristiwa di dalam rumah ada kekerasan dan imajinasi kedamaian
dan kenyataan memisahkan kutub-kutub tersebut. Usaha-usaha menembus batas
pemisah akan dijelaskan dalam sub bab berikut ini.
Plot: Menembus Batas Biner
Seperti
apa yang telah dikatakan Faruk, berlandaskan pemikiran Lotman, Plot adalah
segala aktivitas fisik maupun mental yang dilakukan untuk menembus atau pun
mempertahankan medan-medan semantik yang ada dalam sebuah cerita. Plot ini
kemudian berkaitan dengan komposisi penceritaan yang terbaca oleh pembaca yang
berkaitan dengan narator dan cerita yang dibawakannya. Dekonstruksi cerpen ini
pun berdasarkan pembacaan penulis atas teks.
Ideologi
kekerasan yang saya tangkap di dalam teks dalam lingkup yang cukup luas
terlihat pada dikotomi luar rumah dan dalam rumah sebagai dua dunia yang harus
disikapi oleh para tokoh dalam cerita.
Sera namanya. Setan, saya
memanggilnya.
(Ayu, 2006; 42)
...yang yang saya dapat adalah
tamparan keras di pipi. Serasa terbakar. Serasa dalam neraka. Saya begitu ingin
keluar dari neraka jahanam ini. Saya berdoa. Mencari kata yang begitu sering
diucapkan di depan kelas oleh guru sekolah, “Bapa kami yang di surga.” Tuhan.
Tapi di rumah, saya lebih sering mendengar kata anak setan. Maka saya berdoa
mencari bapa saya. Setan.
(Ayu, 2006; 42)
Pada saat Bapak pergi itulah nama
saya diganti dengan anak setan. Tak begitu lama setelah ia berdoa.
(Ayu, 2006; 43)
Satu-satunya pelecehan dan
penganiayaan ada dan terjadi di rumah ini. Kenapa ia tidak pergi?
(Ayu, 2006; 45)
Rumah dianggap sebagai tempat yang identik dengan
neraka jahanam karena kekerasan yang dialami oleh narator adalah terjadi di
dalam rumah. Sera dengan kemarahannya sering memanggilnya sebagai anak setan, Bapak
yang dicintai Sera adalah ayah kandung narator dengan demikian Bapak juga
setan. Sera yang emosinya meledak-ledak menghadapi narator disebutnya juga
setan. Rangkaian hubungan tersebut membuat narator mulai menyadari bahwa memang
dirinya adalah setan, demikian pula ibu dan bapaknya yang menghuni rumah
tersebut. Rumah, dunia yang dihuni mereka adalah neraka maka perilaku mereka
layaknya setan penghuni neraka. Keterpecahan sempat terjadi pada diri narator,
dia bingung dengan identitasnya namun setelah mengenali dunianya, dia kenali
dirinya dan bersikap sesuai dengan tuntutan dunianya tersebut, menjadi setan.
Sera
berdoa pada Tuhan di dalam rumah, dia juga beryoga guna menyeberangi kegelisahannya
dan mencapai ketenangan. Kondisi fisik menghalangi narator menerobos batas
antara kegelisahan dan ketenangan. Narator yang tidak selangsing Sera
menyulitkannya untuk berdoa atau pun beryoga. Kegagalan lah yang tercapai oleh
narator dalam mencapai ketenangan tersebut.
Kegelisahan
narator berlanjut pada pertentangan yang lahir dan batin. Dia setan kecil dan
lemah dibandingkan Sera. Hubungan darah dirinya dan sang ibu yang mengikatnya
secara normatif menjebaknya dalam kelemahan, posisinya lemah karena ibu tidak
boleh dilawan, meski ia tidak percaya surga di telapak kaki ibu tetapi
kenyataanya dia tidak kuasa menghancurkan batas antara yang lahir dan yang
batin. Tidak ada keberanian yang menghinggapi dirinya, yang bisa membuatnya
kuat menghancurkan batas itu adalah keberanian lahiriah, bukan batiniah.
Narator terjebak di dalam lingkup batiniah.
Bisakah
dikatakan bahwa narator kalah melawan keadaan karena terjebak di dalam
ketakutan? Narator berani mengumpat Sera dan Bapak dalam hati. Ada kekuatan dan
keberanian yang terbangun di dalam batinnya. Dia menerobos batas ketakutan itu
melalui batin dengan berteriak di dalam hati, dalam batin. Pencapaian pada
ketenangan atau kedamaian hati yang dilakukan narator adalah dengan hukum
negatif x negatif = positif. Ketakutan, keresahan dan ketidaknyamanan yang dia
dapatkan di dalam rumah juga ditembus melalui doa. Hanya saja doanya sebagai
anak setan, di dunia para setan, dia mencari kekuatan pada setan. Dia bersekutu
dengan setan.
Saya berdoa. Mencari kata yang
begitu sering diucapkan di depan kelas oleh guru sekolah, “Bapa kami yang di
surga.” Tuhan. Tapi di rumah, saya lebih sering mendengar kata anak setan. Maka
saya berdoa mencari bapa saya. Setan.
(Ayu, 2006; 42)
Saya berdoa dalam hati. Tapi
tidak dengan posisi seperti Sera. Saya berdoa sambil berguling-guling di lantai
sambil diinjak-injak oleh Sera. Jadi saya tidak beraniberdoa memohon kepada
bapa kami yang ada di surga. Tuhan. Saya berdoa memohon kepada bapa saya.
Setan. Semoga ia segera pulang. Dan doa saya terkabul. Kemarin Bapak pulang
dengan riang dan membawa uang. Bapak menang.Sera senang. Setan dengan setan
sama-sama girang. Saya tenang.
(Ayu,
2006; 46)
Bapak
sebagai pemegang kekuasaan tertingi di dalam rumah mempunyai kekuatan untuk
menyelamatkan narator. Bapak adalah setan, narator adalah setan, maka yang
tercipta adalah kekuatan super setan yang tentunya bisa menghentikan setan yang
lebih lemah. Kutub negatif pada dirinya dan pada diri Bapak yang berkolaborasi
melahirkah sebuah kutup yang positif.
Di
masa yang sama, ketika narator mengumpat Sera dia juga sebenarnya meninggikan
posisi Sera sebagai Ibu, dia mengagumi kelebihan-kelebihan Sera baik dari sisi
fisik, yang secara diskursif tidak menarik namun menguntungkan bagi perempuan,
mau pun Sera secara spiritual. Dia iri dengan kekuatan spiritual Sera yang
walau pun mendapatkan perlakuan yang tidak buruk dari suaminya tapi tetap
bertahan dan mengadukan semua pada Tuhan. Bapak yang juga dianggapnya sebagai
setan penyebab kekacauan di dalam rumah, pada kenyataannya diperlakukannya
sebagai penyelamat, dan dianggap makhluk yang punya kekuasaan besar yang patut
disembahnya.
Rupture[7] dalam pendobrakan batas-batas biner ini terus
berlanjut, meski pun Sera rajin berdoa, bukan pula berarti bahwa dia adalah
orang yang saleh. Sera adalah pelacur yang sangat mencintai penis Bapak karena
sekeras tiang. Batin Sera sebenarnya juga memuja setan, setan Bapak. Sera
membuat bapak jadi setan. Setan lanang menjadi setan karena setan jalang.
Oposisi-oposisi yang ini ada dalam medan sebab-akibat. Sera jadi setan karena
penis sekeras tiang. Kekerasan Sera adalah karena kekerasan penis Bapak. Sera
adalah pemuja kekerasan yang ada pada Bapak maka ia hanya bisa ditaklukkan oleh
pemilik kekuasaan[8]
atau kekerasan. Sekali lagi rapture dalam hal ini adalah pembalikan
medan sebab-akibat tersebut, yang semula tampak sebagai sebab tetapi juga bisa
hadir sebagai akibat dan sebaliknya. Dalam rangkaian peristiwa berikut ini bisa
kita lihat siklus yang mengaburkan sebab akibat ini.
Penis bapak keras—Sera Cinta—karena cinta, Bapak dimanja dengan uang—uang
membawa kehancuran karena dihamburkan—Sera kecewa—anak disiksa – anak
meninggalkan rumah meninggalkan neraka kekerasan---luar rumah juga sumber
kekerasan, anak memasuki kekerasan.
Bapak juga memilih pulang ketika menang atau pun
kalah, ia pulang pada Sera. Kelemahan Sera, yang bisa dipukul, ditelanjangi dan
bisa dirampas uangnya, ternyata juga mengikat bapak yang kuat dan pemilik kuasa
tersebut.
Jika hatinya dirundung senang,
biasanya ia langsung tertidur di bawah ketiak Sera. Jika hatinya setengah
senang, biasanya ia menelanjangi Sera. Jika hatinya sama sekali tidak
senang, biasanya ia menelanjangi, memukuli, merampas uang baik dari
dalam dompet maupun celengan Sera. Lalu ia pergi lagi, dan baru pulang keesokan
pagi.
(Ayu, 2006; 43)
Jika
hati bapak dirundung senang, ia akan menyodorkan ketiaknya
dan membiarkan bapak di sana sampai lelap tertidur. Jika hati
Bapak setengah senang, ia akan menyerahkan tubuhnya
ditelanjangi dan dibolak-balik oleh Bapak seperti adonan martabak telur.
Jika hati Bapak sama sekali tidak senang, ia akan merelakan
dirinya ditelanjangi, dipukuli, dan membiarkan Bapak merampas semua uang
baik dari dalam dompetnya mau pun celengan lantas pergi lagi, baru pulang
keesokan harinya. Kalau Bapak pergi lagi, ia pasti akan menangis meraung-raung
di depan pintu ruang tamu, lalu...
(Ayu, 2006; 46)
Dua kutipan di atas, oposisi Sera (Ibu) dan bapak,
memposisikan subjek dan objek. Pada kutipan pertama Sera adalah objek Bapak
namun pada kutipan kedua, ketika membicarakan konteks yang sama bahkan sekedar
pengulangan dari yang pertama, Sera ternyata selain objek dia juga subjek, dia
bukan korban Bapak. Dominasi subjek-objek ini dituturkan narator guna
menunjukkan penundaan pada jejak-jejak yang terbaca di awal. Ada dualitas dalam
sesuatu yang tampak tunggal, dibalik yang tampak natural, biasa, dalam common
sense ternyata ada kemungkinan-kemungkinan lain, ada pluralitas di balik
kesatuan. Teks ini mengusiknya dengan penundaan-penundaan seperti subjek adalah
yang menentukan namun perlu ditengok lagi. Subjek diayomi, dilayani objek,
subjek butuh objek, objek sekaligus subjek, seperti yang dilakukan Sera. Dia
membiarkan suaminya menjadikannya objek, artinya kendali juga ada pada dirinya
yang diposisikan sebagai objek. Objek menjadi subjek' tanpa menjadikan subjek
(subjek pertama/suami/bapak) sebagai objek. Kadang juga ada sintesis antara
objek-subjek atau subjek'-subjek, menghilangkan border oposisi yang
terbangun pada awalnya.
Rentetan
kegelisahan yang terjadi dalam cerita ternyata terbayarkan dengan uang. Kegelisahan dalam
batin tokoh-tokoh dalam cerita terbeli dengan uang. Uang menjadi kekuatan yang
mampu melampaui batas pemisah antara kegelisahan dan ketenangan. Uang membuat
bapak senang pulang dengan kemenangan, memberikan kenyamanan pada Sera. Sera
senang uang, uang bisa mengantarnya berbelanja dan melupakan semua kepenatannya.
Jika Sera senang, narator senang karena bebas dari siksaan Sera. Uang
mempertemukan setan dengan setan di dalam rumah itu dan menghasilkan energi
positif. Uang di sini sama dengan penis sekeras tiang, dengan keberanian dan
kekuatan fisik yang mempertahankan kekuasaan Bapak. Uang hasil judi menjadikan
Bapak sebagai pembawa energi positif, membawa kedamaian.
Uang dari Sera, yang juga untuk memanjakan Bapak,
membahagiakan Bapak, sebagai ungkapan cinta Sera pada Bapak, adalah berbeda
dengan uang hasil judi Bapak. Uang Sera justru menjadi pembawa kehancuran. Bapak
menggunakan uang itu untuk berjudi, mabuk dan bermain perempuan di luar rumah.
Sera kecewa karenanya dan melampiaskan hal itu dengan menyiksa anaknya, anak itu
pun tidak tahan dan meninggalkan rumah yang menjadi tempat kekerasan. Jika kita
runut lagi pada premis cerpen ini yang pertama, Bapak sebagai pemilik akses ke
luar-rumah adalah penyebab semua kekerasan di dalam rumah. Ketika narator
(anak) ini pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah untuk melepaskan
diri dari kekerasan, sebenarnya dia justru menceburkan dirinya ke dalam
kekerasan, bahkan sumber kekerasan itu sendiri. Ideologi kekerasan dalam cerita
ternyata tidak terpisah dari dunia rumah dan dunia luar-rumah. Antara rumah dan
luar rumah adalah berbeda atau dalam konsep Derrida bisa dikatakan difference
tetapi sebenarnya juga sama, differance. Dunia rumah merupakan sumber kekerasan
yang berasal dari akses Bapak dari luar rumah. Kekuasaan Bapak dalam rumah yang
dominan menjadikannya penyebab kekerasan di dalam rumah. Sedangkan di dunia
luar rumah Bapak bukan pemegang kekuasaan. Rumah merupakan tempat Bapak kembali
dari kekalahan mau pun kemenangan di dunia luar rumah. Di luar rumah Bapak juga
menjadi objek kekerasan. Rumah dan luar rumah sebenarnya juga memiliki
kesamaan. Dua dunia itu sama-sama merupakan sumber kekerasan namun keduanya
dapat dibedakan dan harus disikapi berbeda.
Latar
waktu yang menyeratai pergerakan alur hadir dalam tulisan ini dengan melingkar
tapi juga acak. Cerita dimulai dari kejadian terkini, yaitu ketika narator
melihat Sera berdoa kemudian cerita bergulir dengan mengulas kejadian-kejadian
sebelumnya, masa lalu. Selanjutnya latar waktu yang disebutkan secara eksplisit
di dalam teks adalah kemarin dan kemarinnya lagi dan kembali pada kemarin yang
kemudian diakhiri pada hari ini dan sekarang.
Setan!Ia berdoa lagi. Bersimpul
kanan kiri jari. Bertekuk lutut kaki.
Begitu jengah saya
melihatnya dalam posisi seperti itu. Pernah satu kali saya mencoba
mengikutingerakan yoga yang saling ditayangkan dalam program salah satu stasiun
televisi. Namun keesokan harinya lutut saya memar. Biru keunguan. Saya malah
jadi gusar. Padahal tadinya saya mencari ketenangan.
(Ayu, 2006; 41)
Kemarin Bapak pulang.
Terhuyung-huyung dengan rambut kucai masai tapi wajah riang. Bapak membawa
uang. Ia baru saja menang. Sera senang.
(Ayu, 2006; 43)
Kemarinnya lagi Bapak tidak
pulang. Terhuyung-huyung dengan rambut kucai masai, ia pergi meninggalkan Sera
yang terduduk di depan pintu ruang tamu degan air mata berlinang.
(Ayu, 2006; 44)
Hari ini mungkin bapak pulang.
(Ayu, 2006; 46)
Tapi saya tahu, saya tak akan
kembali ke neraka jahanam. Saya tak mau kembali ke setan-setan. Saya tak mau
pulang supaya...
(Ayu,
2006; 46)
‘Tahu’ narator dan keputusannya untuk tidak pulang
adalah indikasi bahwa itu merupakan saat terkini, kembali pada awal cerita
dimana Sera sedang berdoa. Rentetan kejadian alasan Sera berdoa disisipkan
dalam alur penceritaan yang berputar pada masa lampau, mengingat kejadian
lampau. Cerita itu hanya berputar di dalam benak narator, awal cerita dan akhir
cerita ada dalam satu latar waktu, jeda antara awal dan akhir diisi oleh
rangkaian cerita pendek ini. Awal dan akhir sama saja, walau akhir menegaskan
awal.
Semesta Semantik
Cerita yang dihadirkan cerpen ini melukiskan keterpecahan yang dialami subjek-subjek di
dalam cerita, mereka ada di dua kutub antagonis sekaligus protagonis. Tokoh-tokoh tersebut juga menyadari ada
dunia-dunia di luar dunia mereka dan berusaha menyesuaikan dengan dunia-dunia
itu namun sering muncul kebingungan[9] pada diri mereka untuk
membedakan dunia yang manakah itu. Kebingungan mereka membawa masalah.
Masalah-masalah muncul dalam kutub-kutub biner, seperti yang telah diuraikan di dalam sub bab Plot,
kemudian dihancurkan atau dilampaui, kadang juga dipertahankan dengan
usaha-usaha yang dilakukan tokoh. Kutub-kutub biner itu sebenarnya tidak saling
terpisah, akan tetapi keduanya bisa dibedakan. Ada ekuivalensi dari medan-medan
semantik yang terbangun, kemudian diterobos, atau pun yang dipertahankan dalam
alur cerita yang melahirkan makna yang spesifik
dalam keseluruhan dunia pemaknaan cerita yang melingkupinya.
Keacakan
ide-ide yang ditawarkan cerita tersebut menggambarkan kehidupan manusia yang
sering kali bingung menghadapi dualitas semesta. Padahal keduanya menyatu pada
titik tertentu, namun masih terbedakan. Teriakan teks mengenai hubungan anak
dan ibu, ibu dan bapak, anak dan orangtua, dan manusia dan Tuhan, yang semuanya
bergerak meninggalkan nilai-nilai yang telah terbentuk secara diskursif dalam
masyarakat, ternyata bergerak kearah yang tak jauh dari realitas common
sense. Ada harapan akan kedamaian, ketentraman yang diwakili hati atau
batin, hanya saja cara yang ditempuh dalam menggapainya adalah dari kutub
berlawanan dari jalur tersebut. Ketentraman dalam cerpen ini bisa dimiliki jika
digapai dengan kekerasan. Kekerasan harus dilawan dengan kekerasan pula. Jika
tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam batin maka kekerasan lah yag
didapat. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa narator yang hanya mampu
memaki di dalam hati membuatnya disiksa, tak kuasa melawan, maka dia menerima
kekerasan. Dia berdoa pada Bapaknya, setan, agar segera menyelamatkannya dari
kekerasan itu. Bapaknya adalah pemilik kekerasan, pengendali kekerasan dan
kekerasan Sera pun dilawan dengan persekutuannya dengan setan sehingga
menghasilkan energi positif di dalam kutub-kutub negatif tersebut.
Kekerasan
di dalam rumah yang tak lagi dapat ditolerir narator, juga dilawan dengan
menyongsong kekerasan lain yang ada di luar rumah, meskipun kerasan di luar
rumah itu belum pasti lebih ringan dari pada yang ada di rumah. Keluar rumah
artinya mencari bebas tetapi bukan kebebasan. Kekerasan di luar rumah mungkin
saja menariknya ke dalam siklus kekerasan baru.
Apa
yang diungkapkan secara eksplisit di dalam teks juga bergerak ke arah yang
berlawanan dari konsep-konsep keagamaan, teriakan tokoh terkesan garang menyerang
konsep tersebut. Akan tetapi, agama, ketuhanan itu ada dalam diri tokoh hanya
saja hal tersebut tertutup kekerasan. Kekerasan itu membuat hati atau batin tokoh
palsu dan kenyataan yang ditampilkan hanyalah kepalsuan belaka. Meskipun teks berbicara
kepalsuan diri tokoh, di balik itu teks juga mengungkapkan sisi kebenaran hanya
saja tersembunyi. Kedamaian itu ada sebagai imajinasi, kenyataannya tidak ada.
Kesimpulan
Pikiran-pikiran
yang terdapat di dalam cerpen ini sangat berantakan sehingga ide-ide yang ada
di dalamnya sulit direduksi ke dalam medan-medan semantiknya. Medan-medan
semantik itu saling berhadapan kemudian ditentang kembali oleh teks itu
sendiri, yang tersisa kemudian adalah sebuah lingkaran yang saling menjerat.
Pada tataran ide, dikaitkan dengan konsep posmodernisme yang pro-keacakan,
cerpen ini telah mengambarkan keacakan tersebut.
Eklektisisme
muncul dalam oposisi-oposisi biner yang berbenturan, beragam dan menggembosi
namun demikian bentuk tulisan yang cukup ekstrim ini ternyata juga bermain-main
di jalur-jalur konvensional. Teriakan teksnya akan kebebasan, kutukan pada
Tuhan, sumpah serapah pada orangtua dan sebaliknya kutukan pada anak yang digambarkan
dalam cerpen ini juga mengandung hal yang sebaliknya. Ada perjalanan ulang-alik
norma-norma mapan yang sudah mengakar di masyarakat, melepaskan diri dari dan
kembali pada kemapanan tersebut terus menerus. Narasi besar tentang Tuhan,
orangtua, bakti anak pada orang tua tersebut(dimana narator tak berani
meneriaki ibunya sebagai pelacur atau pun setan secara lisan) ditarik ulur di
dalam teks sehingga menciptakan pluralitas dan partikularitas tersendiri di
dalam teks. Penceritaan berputar-putar mencoba lepas landas dari konvensi norma
namun masih tinggal di ruang yang sama, apa yang diceritakan seperti ungkapan
masturbasi spiritual. Kepuasan memaki, mengutuk, usaha membalik dan melepaskan
diri dari jeratan norma hanyalah kepuasan imajinatif dan sesaat karena akhirnya
teks ini menghasilkan kekosongan. Kekosongan ini juga bukan berarti sebuah
kemubaziran, teriakan-teriakan yang sekeras teks ini memberikan keragaman
pemahaman, pemikiran ‘yang lain’ tersampaikan sebagai renungan dalam
ruang-ruang kosong tersebut. Sesuai dengan konsep posmodernisme yang hendak
menciptakan sesuatu yang baru namun yang terjadi hanya pengrusakan yang lama,
kali ini teks cerpen Djenar ini menambal sulam perusakan-perusakan yang telah
dibuat. Terobosannya pada yang konvensional menghasilkan produk tambal sulam,
yang tak benar-benar baru, yang nantinya
bisa menjadi konvensi sebagai gaya baru, gaya tambal sulam.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Djenar Maesa.
2006.Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Al-Fayyadl, Muhammad.
2005.Derrida. Yogyakarta: Pt. LKis Yogyakarta. Hal.58-59
diunduh tanggal 2
November 2007 pukul 14:15 wib.
H.T, Faruk.
2001.Beyond Imajination: Sastra Mutakhir dan Ideologi.Yogjakarta:
Gama Media.
Lotman, Jurij.
1977.The structure of The Artistic Text. Michigan: the Universty of
Michigan Press.
Belsey,Catherine.
1980.Critical Practice.
London : Routledge.
Malpas, Simon.
2005.The Posmodern.London
and New York:Routledge Taylor & Francais Group
Mchale, Brian.
1989.Postmodernist Fiction.London and New York : Routhledge
[1] Hat Pujiati, SS adalah staf pengajar pada
jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Jember.
[2]
Malpas, Simon.2005. The Posmodern.London and New York:Routledge Taylor
& Francais Group. Halaman:2
[3] auto-affection merupakan kehadiran diri
subjek dalam wacana yang dilontarkannya secara terus-menerus sehingga subjek
menjadi pusat yang dalam komunikasi lisan kehadiran subjek menjadi absolut.
Subjek bisa mengendalikan dan mengarahkan komunikasi seperti yang
dikehendakinya. Antara pembicara dan pendengar ada hubungan timbal balik, yang
diragukan bisa ditanyakan langsung pada pembicara sehingga ada kepastian,
interpretasi menjadi tunggal dan dikebirikan. Al-Fayyadl, Muhammad.2005.Derrida.
Yogyakarta: Pt. LKis Yogyakarta. Hal.58-59.
[4] Semiotik di sini yang akan dipakai adalah
konsep Jurij Lotman dalam The Structure of The Artistic Text.
[5]
Catherine Belsey dalam (1980) Critical Practice. London : Routledge. Hal
103-124
[6] ibid. hal106-107.Barthes dalam Belsey ini juga
menegaskan bahwa mendekonstruksi karya bukan berarti mendekonstruksi pengarang
yang memang punya kekuasaan mengarahkan jalannya cerita sebagai pemegang
keputusan mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya. Walau pun keputusan itu
sendiri ditentukan oleh kecenderungan cerita.
[7] Istilah Derrida yang berarti peretakan
gambaran makna lambang-lambang kebahasaan di dalam teks. Dengan re-trace,
penelusuran kembali jejak penggambaran makna lambang-lambang kebahasaan di
dalam teks sehingga mengalami penundaan pemaknaan, artinya makna menjadi tidak
jelas karena lambang-lambang kebahasaan tersebut meretakkan makna yang tadinya
tertangkap penikmat/pembaca. Ini biasanya dilakukan dengan membaca kembali
sebagai proses trace.
[8] kuasa di sini adalah konsep Freudian
dimana phallus diangap sebagai lambang kuasa, pemilik phallus adalah penguasa.
[9] di dalam Mchale, Brian.1987.Postmodernist
Fiction.London and New York : Routhledge. halaman 10 menurut Mchale, cirri
fiksi posmodenis adalah berbeda dari fiksi-fiksi modernis yang epistemologis,
posmodernis lebih menyiratkan pertanyaan-pertanyaan ontologism di dalamya, yang
oleh Dick Higgins disebut pertanyaan post-cognitive. Prtanyaan-pertanyaan itu
adalah dunia yang manakah ini, apa yang harus dikerjakan di dalamnya, apa yang
harus aku kerjakan di dalam dunia itu ada dunia macam apa saja dan bagaimana
mereka berbeda-beda? Kesadaran
akan diri juga dipertanyakan seperti diriku yang manakah ini? Diriku yang mana
yang harus melakukan sesuatu di dunia itu.
No comments:
Post a Comment