Oleh Hat Pujiati[1]
Abstract
Through a postmodernist paradigm, this
text discusses about a transformation of women’s stereotypes and roles from
fairy tales, especially in Cinderella and Snow White, to women’s representations in a novel entitled Enchanted. The representation of the Women’s
stereotypes and roles in this discussion relates to the development of world
economics system as the modes of production change in the society. However, the
transformation occurs in the representation is not a kind of shifting from the
old to the new representations but it is a collaborative one; the old and the
new ones are represented simultaneously in the novel.
Keywords:
postmodernist paradigm, women’s stereotypes and roles, economics system,
representation, transformation, society.
1. Awalan: Daur ulang Dongeng Lama dalam Cerita Baru
Dari waktu ke waktu dongeng Cinderella ditransformasikan, didaur ulang dalam berbagai kisah.
Popularitasnya mewujud dalam berbagai bentuk. Kemajuan teknologi juga menjaga
kelanggengannya, jika dulu dongeng Cinderella
hanya merupakan cerita dari mulut ke mulut, saat ini cerita Cinderella
hadir dalam bentuk film, lagu, dan buku dengan variasi-variasi yang beragam. Cinderella
pun menginterteks berbagai karya seni, termasuk sinetron Indonesia beberapa
tahun terakhir menjadi penuh dengan cinderella complex. Mimpi Cinderalla
menjadi komoditas yang menjajikan bagi pelaku bisnis hiburan.
Dongeng sejenis Cinderella
yang juga menawarkan keajaiban-keajaiban adalah cerita Snow White yang menceritakan
tentang gadis korban kejahatan ibunya, hidup menderita namun akhirnya dinikahi
oleh seorang putera raja. Pernikahan akhirnya membebaskannya dari kemalangan
yang menimpanya dan menggantikan itu dengan kebahagiaan abadi yang dijalani
kemudian.
Sementara itu Enchanted adalah film Disney diproduksi tahun 2007 juga
merepresentasikan kesamaan-kesamaan dengan cerita Cinderella dan Snow White yang populer tersebut[2]. Kesuksesan dari ‘dongeng baru[3]’ yang memukau publik ini pun dilanjutkan
ke transformasi buku dengan berbagai versi penceritaan yang ditujukan pada
anak-anak dan remaja. Dalam kajian berikut ini Enchanted yang akan
dijadikan objek materi adalah versi novel oleh Jasmine Jones yang dikategorikan
novel remaja[4].
Cinderella, Snow White dan Enchanted sama-sama menempatkan perempuan sebagai tokoh utama dalam
cerita. Dalam Cinderella ada
Cinderella sebagai tokoh utama yang bermasalah dengan ibu tiri dan
saudara-saudara perempuan tirinya dan dalam Snow
White juga terdapat ibu yang jahat. Cerita-cerita
tersebut bergerak dalam lingkup permasalahan dunia perempuan, laki-laki hadir
pada penyelesaian masalah dan berperan sebagai ‘penyelamat’. Enchanted yang
mengkolaborasikan antara cerita Cinderella
dan Snow White juga menghadirkan hal yang sama; dunia perempuan. Hanya saja Enchanted sebagai kolaborasi dua dongeng
terkenal dunia tersebut mentransformasikan representasi perempuan di dalamnya
dalam alur cerita yang berbeda.
Transformasi film Enchanted ke dalam bentuk novel dan buku-buku cerita
anak dengan kemasan mudah dibawa dan sekali baca ini menarik perhatian saya
hingga mengundang pertanyaan. Selain perpanjangan tangan kapitalis untuk mengejar
audiens—yang ditengarai sebagai hal negatif dalam perkembangan sastra karena
orientasinya pada uang—ideologi apakah yang tersimpan dibalik dongeng tersebut?
mengapa representasi perempuan yang diakrabkan pada anak-anak sebagai generasi
penerus ini hadir dalam bentuk yang ditawarkan Enchanted?Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan ini akan coba dijawab dalam tulisan ini melalui metode
bandingan antara dongeng baru Enchanted dan dongeng-dongeng yang
menginterteksnya dengan pendekatan feminis dan paradigma posmodern. Fokus dari
perbandingan ini adalah mengenai stereotipe tokoh utama perempuan yang
tercermin di dalamnya dan masyarakat seperti apakah yang menghasilkan stereotip
mengenai perempuan dalam cerita-cerita tersebut.
2. Interteks Dua Dongeng Dunia dalam “Enchanted”
Teks
adalah jaringan kutipan-kutipan yang telah ada di masa lalu dan interteks
adalah keterkaitan sebuah teks dengan teks-teks lain yang ada sebelumnya. Menurut
Barthes, semua teks adalah a new tissue
of past citations (Barthes:1981;39). Intertektualitas ini tidak bisa dipermasalahkan mana yang asli dan yang
bukan, karena jaringan dan keberpilinan teks yang terbentuk merupakan paduan
baru, kutipan-kutipan dari teks lain itu hanya sebagian kecil sehingga
membentuk teks baru ketika dikolaborasikan dengan kutipan dari teks lain.
Seperti yang dikatakan Julia Kristeva (Kristeva: 1980; 65-6) bahwa karya sastra
tidak pernah lahir dari kekosongan tetapi dia merupakan respon terhadap teks
yang telah ada. Jadi karya sastra tidak bisa lepas dari sejarah sastra. Begitu
juga Enchanted yang lahir setelah
kelahiran Cinderella dan Snow White,
bagian-bagian cerita itu terrekam di dalam Encanthed
tetapi hanya sebagian. Bagian-bagian dua dongeng pendahulunya tersebut berpadu-padan
dengan kebaruan-kebaruan pemikiran yang terwacanakan dalam era terciptanya Enchanted. Pemikiran-pemikiran tersebut
bisa sebagai penegasaan atas yang terdahulu tetapi bisa juga sebagai counter atas ide yang ada dalam karya
pendahulunya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa cerita baru ini hanya berdiri
pada satu sisi sebagai pendukung atau counter
saja, ada ambivalensi di dalamnya, antara mendukung dan melawannya.
Francois Jost dalam Introduction to Comparative Literature
juga menawarkan konsep pengaruh atau analogi di dalam karya sastra yang menyatakan
adanya keterhubungan (interrelationship)
antara satu karya dengan karya lain dari satu genre sastra atau pun dari bidang
lain. Bagaimana dan seberapa tingkat serapan sebuah karya pada karya-karya lain
adalah masalah yang menurut Jost perlu diperhatikan (Jost:1974;33-40). Keterhubungan
Enchanted dengan Cinderella
dan Snow White berupa persamaan-persamaan yang muncul di dalam karya namun
ternyata juga menawarkan posisi-posisi tawar atau counter terhadap
dongeng-dongeng tersebut yang dapat kita lihat dalam uraian berikut.
2.1 Perempuan dalam Cinderella versus Enchanted
Dalam
Cinderella terdapat tokoh ibu tiri dan saudara-saudara perempuan tirinya yang
jahat. Mereka semua memperlakukan Cinderella seperti pembantu di rumah itu.
Pekerjaan rumah menjadi hukuman yang harus dijalaninya setiap hari, artinya
kegiatan domestik sejak dulu dinilai berat untuk dilakukan sendiri. Derita
Cinderella berakhir saat seorang pangeran tampan menikahinya, hal ini dapat
dibaca bahwa laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih besar dari perempuan. Akan
tetapi ini tidak berlaku pada ayah Cinderella, dia tidak berkuasa pada
Cinderella karena pembagian lingkup keduanya. Cinderella menjadi urusan sang
ibu tiri sebagai penguasa domestik sedangkan sang ayah bergerak di lingkup
publik. Wilayah domestik yang terbatas pada pembagian kekuasaan itu membuat
perempuan harus bersaing ketat untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih dari
sekedar wilayah domestik, salah satu cara mencapai itu adalah dengan menikahi
laki-laki yang punya kekuasaan.
The poor girl bore it all patiently, and dared not tell her father, who
would have scolded her; for his wife governed him entirely.
…
they hadn't eaten a thing for almost two days. Then they broke more
than a dozen laces trying to have themselves laced up tightly enough to give
them a fine slender shape
Kutipan tersebut membuktikan kuasa ibu tiri Cinderella pada suaminya dan bahwa
demi kekuasaan yang lebih, perempuan-perempuan ini rela menyiksa fisiknya agar
tampil cantik—agar bentuk tubuhnya tampak lebih ramping, saudara tiri
Cinderella rela tidak makan selama dua hari. Ideologi yang terkandung dari
tindakan mereka adalah bila cantik, mereka bisa menikah dengan sang pangeran
yang artinya dia bisa memiliki kekuasan lebih dari sekedar kekuasaan domestik.
Menikah dengan raja berarti ada kesempatan untuk mengontrol putra mahkota untuk
kepentingan-kepentingannya, bahkan ada kesempatan memimpin negeri jika raja
lengser sebelum putra mahkota cukup usia. Walau pun kenyataannya dengan cara
tersebut perempuan itu memilih posisi tersubordinasi.
Di dalam Enchanted,
ada juga kehadiran ibu tiri tetapi bukan ibu dari tokoh perempuan, melainkan sebagai
ibu Edward yang memimpin negeri tersebut sementara Edward belum siap memimpin.
Narissa, ibu tiri Edward ini memegang kekuasaan di negeri tersebut dan juga
memiliki kekuatan magis. Berbeda dengan ibu tiri Cinderella yang tidak memiliki
kekuatan dan kekuasaan dalam lingkungan sosialnya. Kesemena-menaann ibu tiri
Cinderela terjadi dalam ranah domestik dan hanya terhadap Cinderella, sementara
Narissa juga berusaha mencelakai Giselle yang bukan anak tirinya tetapi calon
menantunya.
Secara
fisik Cinderella juga digambarkan cantik dan bisa memiliki pakaian mewah untuk
bisa bersaing dengan perempuan lain di pesta dansa. Ada peri pelindung yang
memberikan keajaiban agar Cinderella bisa tampil mewah dan cantik dalam
keterbatasan jangkauannya untuk mendapatkan pakaian dan dandanan yang cantik
saat dia hendak menghadiri pesta dansa. Sedangkan dalam Enchanted bukan
peri baik hati yang menolong Giselle untuk tampil cantik dalam pesta tersebut,
tetapi kartu kredit emas milik Robert yang dipakai Morgan untuk belanja.
Giselle knelt down to look
Morgan in the eye. “ I need your help!” she said desperately. “I’m going to the
ball, and I’m not sure what to do or what I should wear, and I don’t even know
where to find a fairy godmother at this late hour!”
“I have something better than a
fairy godmother!” Morgan said, taking Gisselle by the hand. Morgan led Giselle
into Robert’s bedroom. She pulled a gold credit card out of his sock drawer.
“Daddy says it’s only for emergencies,” Morgan whispered. “This is defnitely an
emergency!”
...
Three hour latter, they had it
all: dress, bag, shoes, hair accessories, lingerie,makeup, jewelry, perfume...”
(Jones,2007;123-5)
Ideologi yang juga tertangkap dari Cinderella dan Enchanted
ini adalah bahwa perempuan harus cantik dan untuk menjadi cantik perlu modal. Dalam
dongeng Cinderella modal yang ada adalah
magis dari peri pelindungnya, sedangkan dalam Enchanted modal yang dibutuhkan oleh Morgan, yang besar di
Manhattan dan didik rasional oleh ayah dan juga lingkungannya menjadi penolong
Giselle, adalah uang sebagai pembawa keajaiban bagi sang putri yang malang itu.
Morgan sadar bahwa di dunianya fairy godmother itu hanyalah
harapan kosong. Hal ini berartinya pula bahwa Morgan bisa membedakan mana yang
merupakan dongeng dan mana yang dunia nyata. Dia sadar bahwa ada dunia-dunia
yang harus dia pilah dan masing-masing dunia menuntut penyikapan berbeda[5]. Lebih jauh lagi, ideologi yang tersimpan
dari bagian cerita ini adalah bahwa di saat-saat darurat uang bisa menjadi
bantuan yang sangat berarti, dan untuk mendapat uang harus bekerja, bukan
mengharapkan keajaiban yang tidak pasti, ideologi inilah yang membedakan
dengan representasi magis dalam Cinderella.
Kecantikan fisik Cinderella juga lah yang akhirnya menuntunnya pada kekuasaan.
Karena ia cantik dia mengalahkan perempuan lain yang kalah cantik dari dirinya,
termasuk saudara-saudara tirinya. Hal ini berarti bahwa “yang kalah cantik” akan
tersisih, untuk memenangkan kompetisi perempuan dituntut cantik. Cinderella
dinikahi pangeran karena pesonanya yang tertangkap dari kesan pertama.
Sementara di dalam Enchanted kecantikan Giselle juga digambarkan
mempesona seisi ruang dansa tersebut. Akan tetapi, Giselle menikah dengan cinta
sejatinya, Robert, bukan karena pandangan pertama melainkan karena proses dan
kebersamaan mereka sebelumnya yang menumbuhkan benih-benih perasaan di antara
mereka. Ideologi modernisme yang terselip pada bagian cerita ini adalah
ideologi rasionalitas. Pernikahan tidak bisa dilakukan hanya dengan modal
pandangan atau kesan pertama melainkan memerlukan proses pengenalan dan juga
perlu memastikan perasaan masing-masing sebelum menikah, dan itu membutuhkan
waktu yang tidak hanya sehari seperti yang terjadi antara Giselle dan Edward di
Andalasia.
“You’re getting married to someone after one
day?” Robert couldn’t believe his ears. “Because you fell ‘in love’ with him?”
“Yes”
Robert shook his head in
amazement. This was so very lie Giselle—unbelievable and fantastical. The woman
was going to drive him batty! Didn’t she know that love din’t happen in a day?
(Jones,2007:81-2)
...
“But most marriages are
considered a success if they manage to not end, period. Forget about
happiness.”
(Jones,2007: 86)
Bagi Robert, keputusan-keputusan yang dibuat dalam hidup haruslah melalui
proses perenungan dan berpikir secara seksama, jadi tidak hanya mengandalkan
rasa. Pernikahan juga bukan sekedar sebuah kesepakatan atau komitmen seperti
yang berusaha dibangun oleh Robert dan Nancy. “ Robert thought his relationship with Nancy was smart and pactical. Just
the way he liked it (halm.27)”. Rasio dan perasaan perlu diklaborasikan
secara imbang, setidaknya itu yang bisa ditangkap dari pernikahan Robert dan
Giselle.
Giselle stared at the ballroom.
What about happily ever after? She thought desperately. But it was clear that
she hadn’t reached that part yet. She had no choice—she had to do something, or
her chance at happiness would be gone forever. She hurried down the stairs,
nearly tripping over Edward’s sword.
(Jones,2007:146)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ketika tampaknya tidak ada pilihan,
sebenarnya di sana ada pilihan yaitu dengan melakukan sesuatu dengan berani
mengambil resiko mimpi itu tidak tercapai. Giselle memilih menyelamatkan Robert
yang dibawa monster Narrisa dan meningglkan Edward yang tak berdaya. Dia sadar
bahwa dengan memilih Robert, dia harus mengorbankan kehidupan bahagia selamanya
yang hanya bisa dia dapat di Andalasia. Akan tetapi kebahagiaan itu tidak
lagi diukur dengan ‘selamanya’, tapi bagaimana dia mau menjalani kebahagiaan
tersebut, tidak penting berapa lama. Ini menunjukkan keberanian mengambil
keputusan pada tokoh perempuan, bahwa perempuan bukan sekedar pemain yang
selalu mencari ‘posisi aman’. Perempuan juga pemberani dan petualang, perempuan
juga bisa memilih bukan dipilih seperti Cinderella. Sepatu kaca yang tertinggal
menjadi petunjuk sang pangeran untuk menemukan Cinderella, artinya Cinderella
sendiri pasif, sepatu itu tertinggal tanpa sengaja. Cinderella dicari dan
dipilih atau terpilih, bukan memilih.
Kesamaan yang lain antara Cinderella
dan Enchanted adalah kekuatan magis peri baik hati yang menolongnya akan
berakhir pada tengah malam sehingga Cinderella berlari terbirit begitu tengah
malam tiba. Sepatu kacanya juga tertinggal di lantai dansa. Begitu pula
kekuatan magis Narissa yang akan membunuh Giselle jika saja sampai dentang jam
yang kedua belas dia tidak dicium oleh cinta sejatinya.
Giselle
bergegas lari mengejar monster jelmaan Narissa yang membawa Robert hingga
sepatu kacanya tertinggal sebelah di lantai dansa.
..., Nancy Wandered aimlessly.
The guest had left, and the musicians were packing up their instruments.
Looking down, she spotted one of Giselles’s glass shoes. The other had
disappeared in the chaos. Nancy thought about her high hopes for the ball.
Things hadn’t turned out quite the way she had wanted...Hot tears welled in her
eyes, and she sank to the floor.
“Why so sad, beautiful lady?”
Prince Edward wasstanding over
her. He held out a white handkerchief, which Nancy gratefully accepted.
“I think Giselle forgot her
shoe,” she said, holding up the slipper. She laughed sadly. “Figures.”
Without a word,
Edward removed one of Nancy’s shoes. In it’s place, he put the glass slipper.
“It’s a perfect fit,” he said with a smile.
(Jones,2007:152-3)
Cinderella memiliki pasangan sepatunya sebagai bukti bahwa dialah pemilik
sepatu kaca itu dan dia lah yang telah berdansa dengan pangeran di pesta dansa
itu, untuk menunjukkan bahwa dialah pemenang. Nancy sebaliknya. Dia menatap
sepatu kaca itu dengan sedih dan jelas ia merasa sebagai yang kalah. Harapannya
lenyap begitu melihat cinta Giselle dan Robert. Dia hanya menemukan sebelah
sepatu Giselle sang pemenang, tapi Edward tidak membuatnya menjadi yang kalah.
Mereka menuju Andalasia dimana kebahagiaan yang abadi ada di sana, Edward dan
Nancy menikah dan dalam epilog disebutkan bahwa Nancy di Andalasia kemudian di
kenal sebagai ratu yang baik hati (Queen Nancy the Kind). Enchanted
sebagai sebuah postmodernist fiction[6] tidak menjadikan Nancy sebagai ‘the
other’ meski pun dia kalah bersaing dengan Giselle. Nancy dimenangkan di
dunia lain, yaitu Andalasia. Dia tidak memenangkan Robert bukan karena dia
jahat atau pun karena dia kalah cantik tapi karena Robert mencintai Giselle dan
sebaliknya. Karena Robert dan Nancy memiliki ketidakcocokan di beberapa segi
sehingga sulit untuk bersatu, dan karena pernikahan bukan hanya sekedar
komitmen seperti yang mereka miliki. Perasaan di antara mereka tidak lagi
terhubung dan mereka sadar bahwa pernikahan memang bukan sekedar kompromi. Berbeda
dengan saudara dan ibu tiri yang menjadi ‘the
other’ di dalam dongeng Cinderella, mereka di biarkan menjadi yang kalah
pada akhir cerita[7].
2.2 Ranah
Domestik “Snow White”, “Cinderella”, dan “Enchanted”
Dongeng Snow
White[8] yang juga eksplisit menginterteks Enchanted
adalah bagian penyamaran ibu menjadi nenek yang memberikan apel beracun.
Narissa juga melakukan hal yang sama dalam Enchanted. Apel tersebut
membuat Giselle tertidur dan jika melampaui jam 12 malam dia belum juga
tersadarkan maka dia akan mati. Satu-satunya yang bisa menyadarkannya adalah
ciuman, true love kiss, dari seorang pangeran yang dicintainya.
Ratu,
ibu Snow White yang memiliki kaca ajaib, sangat cemburu terhadap putrinya
itu ketika kaca ajaib mengatakan bahwa Snow White-lah yang paling cantik
di dunia. Snow White menyaingi kecantikan sang ratu maka Snow White pun
diperintahkan untuk dibunuh. Akan tetapi sang pembunuh tidak sampai hati untuk membunuhnya
dan melepaskan gadis kecil itu di hutan. Di masa persembunyiannya dia hidup
dengan tujuh kurcaci dengan syarat dia harus memasak dan mengerjakan pekerjaan
rumah lainnya, sebagai imbalan Snow White bisa mendapat apa yang
dibutuhkannya. Dalam hal ini kerja domestik di sini sudah dinilai ekonomis,
memasak, melakukan pekerjaan rumahan pun merupakan pekerjaan yang layak diberi
imbalan.
The stepmother was furious and, wild with jealousy, began plotting to
get rid of her rival.
…
"You can live here and tend to the house while we're down the
mine…”
…
Sedangkan dari versi Grimms,
nilai ekonomis pada kerja domestik itu lebih eksplisit digambarkan sebagai
berikut;
"If you
will keep house for us, and cook, make beds, wash, sew, and knit, and keep
everything clean and orderly, then you can stay with us, and you shall have
everything that you want.
Kurcaci dan Snow White tidak ada hubungan keluarga—berbeda dengan apa yang
dilakukan ibu rumah tangga atau anak perempuan di dalam keluarga—mereka asing
dan hubungan mereka adalah dalam konteks ekonomis, Snow White di sini sebagai
pekerja. Hanya saja kemasan hubungan majikan dan pekerja ini lebih lunak, ada emotional
connection antara mereka, ada persahabatan dan ketulusan untuk saling
membantu. Pekerjaan domestik Snow White ini berbeda dengan Cinderella yang
melakukan pekerjaan domestiknya di bawah tekanan ibu dan saudara-saudara
tirinya. Cinderella tidak mendapatkan imbalan yang layak dari ‘majikannya’.
Sementara Giselle dalam Enchanted melakukan pekerjaan domestik bersama
teman-teman barunya di Manhattan—kecoak, tikus, merpati, kelinci—dengan senang
hati, tanpa paksaan atau pun keharusan dari siapa pun, hanya karena dia mau,
karena dia melihat tempat itu berantakan. Artinya dalam diri Giselle, mitos
bahwa perempuan lah yang berkewajiban membereskan rumah dan menangani urusan domestik
sudah menghegemoni dirinya, mitos tersebut menjadi wacana yang mapan sehingga
menarik pelaku-pelakunya dengan mudah dan menormalisasinya—menjadi sebuah common sense.
The animal worked their
hardest—the rats linked the dirty dishes clean, and the pigeons flapped the
dust bunnist out the windows. The cockroaches worked as a team to carry out the
garbage bags; then everyone headed to the bathroom. As they worked, Giselle
continued to sing a happy tune. Even as she scrubbed the floor, she hummed and
smiled.
(Jones,2007:48).
Tiga kali usaha
sang ratu untuk mencelakakan Snow white selalu berhasil karena Snow White
selalu tertipu dengan penyamaran sang ratu. Akhirnya dia diracuni dengan apel
hingga tidak bisa ditolong oleh para kurcaci. Snow White pun dikira mati dan
dimasukkan dalam peti kaca. Suatu hari, peti kaca berisi jasad Snow White itu
diminta pangeran untuk di bawa ke kerajaannya dan akan dicarikan dokter terbaik
di sana guna menyembuhkan Snow White yang begitu cantik sehingga pangeran itu
tidak tega melihatnya terbujur mati. Kecantikan Snow White tidak bisa menahan
pangeran tersebut untuk tidak menciumnya. Keajaiban pun terjadi, gadis itu
membuka matanya dan hidup kembali. Kemudian mereka menikah dan hidup bahagia
dengan sang pangeran selamanya.
Giselle,
dalam Enchanted, juga coba diracuni
Nathaniel, punggawa istana yang jatuh cinta pada Narissa. Nathaniel
diperintahkan oleh Narissa untuk mencelakakan Giselle agar terpisah dari
Edward, Nathaniel mau melakukan semua dengan iming-iming hidup yang bahagia
selamanya bersama Narissa. Tiga apel yang dikirim Narissa dengan kekuatan
saktinya dari Andalasia ke New York di mana Nathaniel sedang berada mendampingi
Edward, diusahakan termakan oleh Giselle melalui berbagai penyamaran. Akan tetapi
usaha Nathaniel tidak berhasil sehingga Narissa datang sendiri ke New York mengingat
apel beracun itu tinggal sebuah dari tiga yang diberikan pada Nathaniel.
Narissa menjelma menjadi nenek tua yang menghampiri Giselle yang sedang sedih
melihat Nancy dan Robert berdansa. Giselle jatuh cinta pada Robert namun ia
sadar bahwa itu tidak mungkin karena masing-masing dari mereka telah memiliki
pasangan yang akan segera menikah.
Looking down, Gisselle watched as Nancy leaned in to kiss
Robert. Giselle felt as if her heart had been torn in two.
...
“I’m so glad to see you,
child,” said the hag. I’ve been so very worried! Such a terrible accident, your
coming to this place.” Her eyes glittered like hard stone as she peered at the
dancers below. With so much sadness. So much pain. Oh yes. To never be with the
one you love, doomed to be with another...
...
one bite, my love, and all this
will go away. Your time here, the people you’ve met. You won’t remember
anything. Ujst sweet dreams and happy endings. But you must hurry! The magic
won’t work unless you take a bite before the clock strikes twelve”
Giselle cast another glance at
Robert. He was still dancing with Nancy, holding her close. The she looked at
the apple. Don’t I want to forget? Giselles thought. Isn’t it easier for
everyone that way? She lifted the apple to her lips.
(Jones,2007:134-5)
Nenek tua jelmaan Narissa menawarinya apel yang akan membuatnya melupakan
semua perasaannya saat itu, dan Giselle menerima itu. Bila Snow White tidak
sadar dengan apel yang dimakannya beracun, Giselle sebaliknya. Dia sengaja
menerima tawaran apel itu untuk melupakan kesedihannya, dia tidak tertipu.
Menjadi terpengaruh mantra Narissa merupakan pilihanya, hal ini
merepresentasikan bahwa Giselle tidak mudah ditipu, dia ada di posisi tawar dan
menyadari posisi tersebut. Melupakan kesedihannya dengan cara yang ditawarkan
jelmaan Narissa merupakan keputusannya, bukan karena tertipu.
Snow
White memiliki kecantikan fisik yang membawa petaka. Dia harus dikejar-kejar
oleh ibunya yang iri terhadap kecantikannya. Dongeng ini merepresentasikan
perkara kecantikan sebagai urusan penting bagi perempuan, bahkan itu sampai
menyangkut urusan hidup dan mati. Karena kecantikan juga lah yang akan membuat
perempuan diperhatikan, dicintai, dan untuk disayang oleh laki-laki—pangeran.
Kecemburuan sang ratu menguatkan wacana perempuan sebagai makhluk emosional
yang ujung-ujungnya laki-laki lah yang datang sebagai penyelamat.
Penjahat negeri dongeng dari tiga cerita ini adalah tokoh perempuan yang hadir
dengan penuh rasa iri, ketakutan akan kegagalan, emosional, enggan bersaing
secara sehat yang artinya perempuan-perempuan itu tidak punya kemampuan yang
‘menjual’ maka ia akan melalakukan usaha-usaha yang ‘kotor’. Stereotip bahwa
perempuan adalah emosional dan tidak cerdas pun menguat dalam cerita-cerita
tersebut.
Josephin Donovan, seorang
feminis yang konsen pada masalah citra perempuan dalam artikelnya yang berjudul Beyond the Net: Feminist Criticism as a Moral Criticism[9] mengatakan bahwa tokoh perempuan selalu sebagai pelengkap laki-laki, perempuan
dipasang dalam penokohan yang biner, ada perempuan yang jahat dan baik sekali,
yang baik adalah yang mendukung pria sementara yang jahat adalah yang punya
strategi, punya ambisi seperti laki-laki. Apa yang diatakan Donovan ini saya
lihat dalam Cinderella, Snow White
dan Enchanted. Ibu Cinderella menguasai ayah Cinderella, dia
juga digambarkan sebagai perempuan yang jahat sekali dengan memperlakukan Cinderella
seperti pembantu, dan tidur di tempat yang tidak nyaman.
She could not bear the good
qualities of this pretty girl, and the less because they made her own daughters
appear the more odious. She employed her in the meanest work of the house. She
scoured the dishes, tables, etc., and cleaned madam's chamber, and those of
misses, her daughters. She slept in a sorry garret, on a wretched straw bed,
while her sisters slept in fine rooms, with floors all in laid, on beds of the
very newest fashion, and where they had looking glasses so large that they
could see themselves at their full length from head to foot.
Narissa juga demikian, karena kehendak berkuasanya dia juga dibuat sangat jahat.
Orang jahat ujung-ujungnya dibenarkan untuk dihukum dengan keji pula dan
ditunjukkan dengan tegas bahwa orang jahat adalah the other, inferior. Narissa kalah, demikian juga ratu ibu Snow White
di akhir cerita mati. Akan tetapi persaingan Giselle dan Nancy belaku berbeda,
keduanya menjadi pemenang yang akan dijelaskan dalam uraian subbab berikutnya.
Gambaran perempuan yang
biner dan memposisikan perempuan sebagai pelengkap atas kekuasaan
laki-laki—pernikahan Cinderella dan Snow White dengan pangeran-pangeran penyelamatnya
menunjukkan bahwa para pengeran itu lebih kuat dan berkuasa, perempuan adalah
bagian dari simbol kekuasaannya—menurut Donovan adalah tidak manusiawi, tidak
bermoral. Karena perempuan di situ tidak ditempatkan sebagai manusia, tapi
sekedar pelengkap. Dalam Snow White bahkan sang ratu dihukum samapai mati oleh
sang pangeran di atas sepatu besi panas. Artinya sang pangeran adalah orang
yang sangat berkuasa sehingga bisa menghukum sang ratu. Dari sisi ini
kesimpulan Donovan ada benarnya, penokohan perempuan masih kerab kali tidak
bermoral dengan menjadikan perempuan dalam kotak-kotak dikotomis. Penampilan
ibu tiri yang jahat misalnya yang juga muncul berulang-ulang dalam banyak
cerita dipermasakahkan Donovan karena itu akan menciptkan stereotipe yang lekat
dan nantinya menjadi wacana yang dibenarkan dalam common sense.
3. “Enchanted”;Representasi
Perempuan dalam Dongeng Millenium
3.1 Kolaborasi dan
Transformasi Narissa untuk Kekuasaan; domestik dan Publik
Uraian-uraian di atas
menunjukkan bahwa Enchanted, sosok-sosok perempuan dari negeri-negeri
dongeng ditransformasikan dalam karakter-karakter dengan gaya kekinian dimana
hal ini menggugah stereotipe perempuan di dalamnya.
Narissa—ratu Andalasia yang memimpin sementara sampai dengan Edward menikah—tampil
sebagai karakter antagonis. Dia menjadi biang kekacauan sepanjang plot.
Sosoknya mentransmisi takoh-tokoh jahat dari Ibu tiri Cinderella dan ratu yang
juga ibu tiri Snow White. Narissa adalah bagian dari dongeng[10] baru yang diciptakan Disney sebagai
kelanjutan dari tokoh-tokoh jahat tersebut. Dia memiliki kekuatan magis yang
digunakan untuk memenuhi atau memuaskan kehendaknya.
Persamaan ketiga tokoh
perempuan sebagai ibu—yang jahat—tersebut
sama-sama memiliki peran sebagai ibu yang punya kendali atas
anak-anaknya sehingga dia lebih mudah untuk melakukan kejahatan. Sebagai ibu
mereka digambarkan sebagai pemilik kekuasaan atas anak.
Dibandingkan
dengan tokoh Ibu Cinderella, Narissa memang memiliki perbedaan yang cukup
signifikan dari sisi kekuatan magis yang dimilikinya dan lingkup kekuasannya.
Sedangkan Ratu dengan kaca ajaib dari dongeng Snow White, Narissa memiliki
kesamaan yang lebih dekat. Mereka sama-sama punya kekuasaan lebih dari sekedar
lingkup domestik. Ibu tiri Cinderella menguasai sang ayah, tapi tidak punya
kekuatan publik yang akhirnya memposisikannya sebagai pihak yang kalah karena
pangeran tak dapat ditaklukkannya. Kekuasaan pangeran jauh lebih besar dari
kekuasaan ibu tiri Cinderella. Ambisi sang ibu terhadap kekuasaan pun kandas.
Sementara Ibu Snow White sebagai isteri raja, dia punya kekuasaan lebih untuk
dipatuhi orang lain selain anggota keluarganya, di luar lingkup domestik. Dia
punya modal untuk membayar pemburu agar hasratnya terpenuhi. Sementara Narissa
punya kekuasaan yang lebih besar lagi dari ratu ibu Snow White, tetapi ia tak
mengunakan modal berupa materi untuk menjalankan misi kejahatannya pada
Gisellle. Dia tampil lebih cerdas dari pada ibu-ibu pendahulunya. Narissa
menggunakan strategi untuk itu, dia memanfaatkan Nathaniel yang memperlihatkan
perasaan suka-nya pada Narissa, janda sang raja. Mulanya memang kekuasaan
Narissa sebagai pemimpin negeri itu lah yang membuat Nathaniel mematuhi
perintahnya untuk mengawasi Edward, tetapi kemudian ketika Narissa menangkap
peluang untuk bisa memafaatkan perasaan Nathaniel tanpa harus rugi sedikit pun
dia pun memanfaatkan itu. dia kirim Nathaniel ke New York untuk mengawasi
Edward dan sekaligus mencelakakan Giselle agar dia tidak kembali ke Andalasia
sehingga Narissa harus kehilangan tahtanya.
Pada kasus Narissa dan
Nathaniel, ada pembalikan peran. Nathaniel sebagai laki-laki dibuat sebagai
yang diperintah, yang patuh terhadap perempuan yaitu Narissa. Nathaniel lah
yang larut dalam perasaan dan terlena oleh janji gombal Narissa untuk hidup
bahagia selamanya. Ideologi yang bisa ditarik dari bagian ini adalah bahwa
kekuasaanlah pengendali kebenaran[11], bukan masalah gender, persoalan gender
pun hanyalah bentukan diskursif. Tidak perduli laki-laki atau perempuan sang penguasa,
kekuasaan membuat penguasa mengatur kebenaran untuk kepentingan dirinya.
Nathaniel merasa yang dia lakukan benar karena mematuhi perintah penguasanya. Dari
segi penokohan, perempuan-perempuan yang berambisi terhadap kekuasaan, dan yang
memiliki kekuasaan lebih terhadap laki-laki di sini menjadi tokoh jahat.
Tokoh-tokoh ini tidak mampu bersaing dengan sehat, emosional yang menjadi titik
lemahnya. Tokoh Narissa meneruskan stereotipe tersebut dalam dongeng baru ini
tetapi perlu dicatat di sini sebagai catatan sentuhan pemikiran baru dari yang
sudah-sudah adalah kecerdasan Narissa memanfaatkan peluang dan berstrategi
menggunakan tubuh dan atribut dirinya untuk membuat orang lain melakukan
sesuatu untuknya, bukan dengan materi.
3.2 Giselle dan Nancy: Nilai Tawar
Transformatif dan Kolaboratif dalam Lingkup Domestik dan Publik dari Negeri
Dongeng
Ciderella dihukum ibu dan
saudara-saudara tirinya dengan pekerjaan rumah yang tiada hentinya. Snow White juga
seorang gadis lugu yang mudah ditipu oleh ratu jahat yang juga ibunya.
Penyamaran-penyamaran yang dilakukan oleh sang ratu untuk mencelakakan Snow
White bisa dikatakan semuanya berhasil. Dua kali dia diselamatkan teman-teman
kurcacinya. Ini menunjukkan bahwa seorang Snow White yang perempuan ternyata
mudah ditipu. Stereotip yang muncul dari cerita ini adalah bahwa perempuan
lemah dan bodoh, dia mudah ditipu. Penyelamat mereka adalah laki-laki yang
dalam dongeng selalu dihadirkan sebagai putera raja berkuasa. Snow White
diselamatkan pangeran, begitu juga Cinderella. Pernikahan pada akhir cerita
menyelesaikan masalah yang dihadapi para gadis tersebut dan hidup bahagia
selamanya.
Sementara dalam Enchanted ini, Giselle bersahabat dengan
hewan-hewan di hutan tempat dia tinggal. Suaranya yang merdu juga mengundang
binatang-binatang kumuh Manhattan datang. Seperti Cinderella dan Snow White
yang ceria, dia pun punya kemampuan menghibur laki-laki—pangeran dalam
Cinderella, kurcaci dalam Snow White dan
Edward dan Robert dalam Enchanted. Giselle
punya suara merdu, kemampuan memasak dan menata rumah Snow White, serta Cinderella
dengan kemampuannya berdansa. Gisselle juga melakukan pekerjaan rumah tangga
seperti Cinderella dan Snow White tanpa paksaan dari siapa pun, dia melakukan
semua dengan kemauannya sendiri dan dengan senang hati. Di sisi lain ini juga
bisa kita baca bahwa perempuan memang direpresentasikan dalam ranah domestik.
Suara merdu Giselle yang
menjadi kemampuan lebihnya untuk menghibur tampaknya tidak hanya terperangkap
dalam lingkup domestik. Dia membawanya ke ranah publik ketika dia bernyanyi di
taman dan membuat orang-orang New York itu turut menyanyi, bergembira menikmati
lagu tersebut. Tokoh perempuan dengan atribut negeri dongengnya tersebut mampu
mempengaruhi publik New York dan larut dalam iramanya. Kekuatannya untuk
mempengaruhi orang lain atau mengubah publik, bisa kita lihat pada kutipan
berikut.
New Yorkers did not do cheery
sing-alongs in public!
(Jones,2007:88)
...
But Giselle was already off,
dancing and singing with a group of in-line skatters.
When the song finally came to an end, Robert looked up to
find himself surrounded by a park full of new friends: kids, businesspeople,
joggers, Polish dancers, steel drummers, cyclist—even a few guests from a
Japanese wedding. All these people had joined in Giselles’s song. In spite of himself, Robert
found the whole scene...enchanting.
(Jones,2007:89)
Gisele, tokoh negeri
dongeng yang bertransformasi menjadi perempuan New York di era 2007 ini pun
berpikir. Berpikir sendiri sebenarnya bukan hal yang lazim di negeri dongeng. (Giselle
noticed his confused look and held out her hands apologetically. “I’m sorry. I was just thinking.” “Thinking?”
Edward was surprised. Thingking was somthing he did very littl of in andalasia.
(Jones,2007:114)). Dia belajar dari pengalaman-pengalaman yang didapatnya di
New York bersama Robert, Morgan dan orang-orang yang telah dijumpainya.
Keputusan-keputusannya kemudian melalui proses berpikir, bukan lagi diambil
karena memang biasanya begitu. Dia belajar bertahan hidup di New York. Hal ini
bisa dibandingkan dengan pengalaman Cinderella dan Snow White. Tokoh-tokoh
tersebut juga mengalami perubahan drastis dalam keseharian hidupnya. Cinderella
harus menjadi pelayan di rumahnya sendiri, Snow White juga menjadi penjaga
rumah dan sekaligus pelayan di rumah kurcaci. Mereka semua belajar bertahan
dalam situasi itu, hanya saja dalam dongeng-dongeng lama tersebut tidak
direpresentasikan kemampuan mereka berpikir. Tokoh-tokoh itu sekedar menjalani
dan melakukan semua dan ada keajaiban-keajaiban yang mengubah nasib mereka.
Sementara Giselle belajar berpikir dan dia pun kemasukan ideologi rasionalitas
yang dibawa tokoh Robert. Bukan berarti pula bahwa Giselle adalah makhluk pasif
yang hanya menjadi ‘yang dipengaruhi’, tidak berarti pula mimpi kalah oleh
rasionalitas yang menjadi jiwa modernisme. Robert yang realistis pun mengadopsi
apa yang ditawarkan Giselle, mimpi negeri dongeng.
“You forgot about ‘happily ever
after,” Giselle prompted.
“Forget about ‘happily
everafter’!” Robert cried.
“It doesn’t exist!”
(Jones,2007:86.)
Kutipan tersebut menunjukkan peran rasionalitas Robert, namun ketika Giselle
pingsan, dia ingat apa yang dikatakan Giselle sebelumnya kalau kekuatan paling
hebat di dunia adalah “ciuman cinta sejati”. Dia yang berinisiatif agar Giselle
dicium Edward yang dikiranya sebagai cinta sejati Giselle.
Looking down at Giselle’s
beautiful face, Robert felt his heart break. Another chime sounded. This
couldn’t be the end. It just could’t. Suddenly, he remembered Giselle’s words.
“True love kiss,” he said slowly. “It’s the most powerful thing in the
world...”
(Jones,2007:141)
Ketika ciuman Edward pada Giselle tidak berhasil, Edward dan Nancy pun
melirik Robert. Mereka berharap Robert bisa menyelamatkan Giselle. Awalnya itu
merisaukan dan tidak masuk akal bagi Robert tapi kemudian dia larut dalam
perasaannya dan kemudian dia mencium Giselle juga dengan sepenuh hati.
“Please don’t leave me,” he
whispered desperately. Then he pressed his lips against Giselle’s and kissed
her softly. It was a kiss full of hope and love. He leaned back and waited
anxiously.
(Jones,2007:143)
Pada saat Robert mencium Giselle dan berharap Giselle membuka matanya
sebenarnya Robert telah masuk dalam wacana yang dibawa Giselle. Dia melepaskan
rasionalitasnya, dia mengharapkan sesuatu yang berada di luar rasionalitas yang
diyakininya selama ini. Secara perlahan tampaknya Giselle juga membawa sebagian
diri Robert ke dunianya. Giselle juga mempengaruhi Robert seperti dalam kutipan
berikut, “What about happily ever after?
She thought desperately” (Jones,2007:146). Giselle yang tadinya meyakini
kehidupan yang bahagia selamanya kemudian mempertanyakan kembali keyakinannya
sebagaimana sebelumnya ditegaskan Robert bahwa kehidupan demikian tidak ada. Inilah
sisi kolaboratif Cinderella dan Snow White yang mewakili mimpi di dalam Enchanted sebagai wakil rasionalitas.
Ada pengaruh yang resiprokal antara wacana Giselle dan wacana Robert namun
keduanya tidak ada yang dimenangkan, melainkan dikolaborasikan. Keduanya
sama-sama direpresentasikan sejajar dan saling melengkapi, antara laki-laki-perempuan,
rasionalitas dan mimpi semuanya ditampilkan bersama dan saling mempengaruhi
namun wacana perempuan tetap dalam lingkup domestik.
Tokoh utama perempuan lainnya
yang ada dalam Enchanted adalah
Nancy. Dia tokoh yang berbeda dari perempuan yang ada di negeri dongeng
sebelumnya. Kehadirannya dalam Enchanted
ini mewakili rasionalitas dan kehidupan Megapolitan. Ukuran cantik di kota
sebesar New York saat ini adalah seperti yang dimiliki Nancy, yaitu perempuan
cerdas, rasional, mapan, mandiri, sukses dalam karirnya dan modis.
That was Nancy.”
“Uh-huh.” Morgan turned back to
the window.
“She’s really busy at work,”
Robert said. “She’s got a lot going on. Having her own design studio. All that
fashion stuff. She’s like the women in this book. Someone to look up to.
Someone you could look up to.”
(Jones,2007:31)
Hidup seperti yang dimiliki Nancy ditunjuk Robert sebagai rujukan ukuran
sukses, cerdas dan cantik bagi putrinya. Artinya Nancy memiliki nilai lebih
sehingga dianggap bisa jadi panutan, memberikan mimpi rasional bagi Morgan agar
kelak menjadi perempuan yang mandiri dan percaya diri. Adapun buku yang
diberikan pada Morgan sebagai hadiah ulang tahun malam itu adalah buku berjudul
The Important Women of Our Time. Buku tersebut merupakan kumpulan kisah sukses perempuan dunia. Saya
membaca kehadiran buku ini sebagai pendukung wacana perempuan yang
dipresentasikan tokoh Nancy—perempuan sebagai sosok yang cerdas, sukses
dan melakukan hal-hal besar di dunia yang berguna untuk kepentingan umat
manusia seperti yang telah dilakukan Merrie Curie dan Rosa Parks, dua tokoh
yang ada dalam buku tersebut.
Enchanted juga menunjukkan persaingan perempuan yang sehat yang
ditunjukan oleh Nancy dan Giselle. Ketika Giselle sekarat dan tampaknya Robert
lah yang bisa menyelamatkan Giselle, Nancy meminta Robert untuk menolong gadis
itu. Padahal saat itu Robert ragu, takut jika ia mencium Giselle justru
menyakiti Nancy—perempuan yang telah dipacarinya selama lima tahun. Akan tetapi
Nancy cukup fair untuk memberikan
kesempatan pada Robert untuk jujur dengan perasaannya pada Giselle meski itu
berarti dia harus kehilangan Robert.
“It’s not possible!” he
insisted. “it couldn’t be me!”
“Don’t you see?” Edward said
gently.
Confusion flooded Robert’s
heart. “I barely know her. I’ve only known her for a few days...”
Dong!
“Kiss her, Robert!” Nancy
cried.
Robert turned to her, surprised
that she would echo Edward’s thoughts.
You deserve true love,” she
said urgently. “We all do.”
Dong! The elevent stroke...
(Jones,2007:143)
Sisi ‘dongeng’ yang dibawa
Nancy sebagai warisan dari tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam dongeng-dongeng
lama adalah bahwa kesuksesan Nancy masih ditempatkan di ranah ’biasanya
perempuan’. Dia seorang perancang mode, dengan banyak pegawai di New York.
Bidang yang digelutinya adalah bidang yang selama ini memang diidentikkan
dengan pekerjaan perempuan. Pekerjaan Nancy tidak jauh dengan hal
jahit-menjahit, hanya saja dalam kemasan modern. Sisi ini menunjukkan bahwa
seberapa pun usaha perempuan berusaha keluar dari lingkup domestik ternyata
secara diskursif sangat sulit ditembus. Demikian pula tokoh yang disebutkan
Robert dalam The important Women of Our Time yaitu Marie Curie dan Rosa Parks[12] yang pada
akhirnya juga memunculkan peran keluarganya dalam kesuksesan mereka.
Enchanted telah mengkolaborasikan dan juga mentransformasikan tokoh-tokoh perempuan
dari negeri dongeng seperti yang ada dalam Cinderella
dan Snow White ke dalam bentuk yang berbeda tetapi memiliki kesamaan. Perempuan
dari negeri dogeng yang selalu identik dengan makhkuk lemah, dan hanya dituntut
cantik—dalam ideologi: biar pun lemah
kalau cantik nanti dicintai pangeran dan ditolong pangeran—tidak lagi
menjadi fokus utama dalam Enchanted.
Gisselle sang tokoh perempuan utama dalam Enchanted
juga menunjukkan sisi lemah dirinya yaitu ketika untuk menyelamatkan
jiwanya—walau pun Giselle tidak memaksakan karena keputusannya adalah pilihan,
dia sendiri tidak yakin akan mendapatkan ciuman cinta sejati itu—dia butuh
laki-laki. Laki-laki di sini juga tampil sebagai penyelamat sekali lagi. Akan
tetapi Giselle tidak hanya diiselamatkan, dia juga menyelamatkan Robert, cinta
sejatinya. Artinya meskipun tidak dipungkiri bahwa Giselle diselamatkan Robert
dengan ’true love kiss’ sebelum jam
12 malam, dia juga kuat. Dia juga menjadi subjek dalam penyelamatan Robert. Edward,
pangeran yang biasa jadi pahlawan di negeri dongeng justru menjadi penonton
saat Gisselle melawan monster jelmaan Narissa.
Turning around, the Narissa
beast’s eyes grew wide. Giselle had just struck her tail with the sword!
“Well?” the beast said, her
eyes glittering. “Our brave little princess comes to rescue?” She turned to
Robert with a sneer. I guess that makes you the damsel in distress.”
Turning from Robert, Narissa
looked at Giselle. “ Keep up with me, dear! It’s time we take this tale to new
heights.” The beast let out a cruel laugh, then with a mighty leap, she jumped
to the top of the building. Giselle climed after them.
...
“I’m not going to let you take
him away!” Giselle cried as she tried to pull herself up onto the thin spire.
(Jones,2007:147-8)
Bagian kepahlawanan Giselle ini membawa nuansa dekonstruktif terhadap
stereotipe perempuan yang termuat di dalam dongeng-dongeng lama. Ini merupakan
tawaran baru dari sebuah ‘dongeng’ milenium. Tidak selalu perempuan sebagai
sosok yang lemah dan perlu pertolongan dari laki-laki tetapi Giselle, tokoh
perempuan dalam cerita ini juga memiliki sisi yang berkarakter, dia juga bisa
menjadi jagoan atau pahlawan bagi Robert yang hendak dicelakakan monster
jelmaan Narissa.
4. Ideologi dan Masyarakat
yang melahirkan Dongeng
Damono (2005: 56) mengungkapkan
bahwa “setiap zaman memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan dan menafsirkan
masalah yang sangat hakiki dalam hidup manusia”. Demikian pula dongeng Cinderella, Snow White, dan kisah Enchanted. Cerita-cerita itu berasal
dari masyarakat dan masa yang berbeda.
Bentuk kesusastraan awal
selalau menampilkan totalitas di dalamnya. George Lucaks[13] mengatakan bahwa epik merupakan relasi
individu dengan lingkungannya, manusia menyatu dengan manusia di sekitarnya.
Dongeng mencirikan totalitas relasi manusia dengan lingkungannya dan juga
manusia dan manusia. Pada awal kelahirannya, seperti dongeng-dongeng yang lain,
dongeng Cinderella dan Snow White
berasal dari oral tradition, cerita rakyat. Sebagai cerita rakyat, masyarakat yang
melahirkan dongeng-dongeng tersebut adalah masyarakat feodal dan masih dekat
dengan kekuatan-kekuatan mistik dimana hubungan antara supernatural dan natural
masih bersifat langsung. Dalam dongeng Cinderella
dan Snow White, tokoh utama saat kesusahan selalu dibantu dewa-dewa dengan
kekuatan lebih yang membantunya, artinya kekuatan di luar manusia ini—hubungan
antara dunia supernatural dan natural—masih dekat. Dalam hal ini, dongeng
merupakan prasarana memelihara proses produksi yang ideologis. Melalui dongeng
masyarakat mereproduksi ideologi-ideologi yang ada di dalamnya dan
menurunkannya secara lisan, demikian ideologi-ideologi itu berlanjut ke
generasi berikutnya. Akan tetapi reproduksi ideologi dengan dongeng sebagai
produk kesusastraan lisan tentu mengalami perubahan dalam penurunannya.
Versi paling populer yang
menampilkan Cinderella dengan sepatu kaca adalah ditulis oleh penulis Perancis Charles Perrault pada tahun 1697 berdasarkan cerita rakyat yang ditulis oleh Giambattista
Basile sebagai La
Gatta Cennerentola pada 1634, namun film animasi dari Walt Disney
Production yang disusul
dengan produksi masal buku-buku berdasarkan film yang dibuatnya menjadi standar
versi kontemporer[14]. Sedangkan versi Cinderella paling awal yang tercatat dalam
sejarah sampai saat ini, adalah berawal dari China pada 860, pada Dinasti Tang yang dicatat oleh Ch'ing-Shih dalam The
Miscellaneous Record of Yu Yang. Ini membuktikan bahwa cerita Cinderella ada sebelum itu. Apa yang
dilakukan Ch’ing-Shih hanyalah merekam dongeng—oral tradition—tersebut dalam tulisan. Di era tersebut
masyarakatnya adalah feodal, dan cerita-cerita yang berkembang masih dalam satu
canopy. Masyarakat yang dilukiskan dalam cerita rakyat ini masih terbagi dalam
dua kelas yaitu kelas atas dan kelas bawah, golongan ningrat dan jelata.
Cinderella pun pada akhirnya dinaikkan status sosialnya dari yang men-jelata—karena diperlakukan sebagai
pembantu di rumahnya oleh sang ibu tiri padahal ayahnya adalah bangsawan
kecil—menjadi seorang permaisuri, di sinilah harapan dan ideologi yang diumbar
dongeng ini. Mimpi itu meneguhkan posisi penguasa, bangsawan sebagai orang yang
lebih terhormat dari orang jelata. Bahwa yang bangsawan adalah maha kuasa dan
punya banyak hak khusus, seperti dengan mudah menghukum orang yang bersalah
pada kita yang dengan hanya menjadi orang jelata tidak mudah dilakukan.
Cinderella dan Snow White tanpa ‘nempel’ pada kekuasaan tidak bisa melawan
orang-orang yang lebih berkuasa dari diriya. Ratu dalam Snow white dihukum oleh
pangeran hingga mati. Ibu Cinderella dan saudara-saudara tirinya juga menyerah
kalah, berlutut dihadapan ‘kekuasaan’ tersebut.
And now her two sisters
found her to be that fine, beautiful lady whom they had seen at the ball. They
threw themselves at her feet to beg pardon for all the ill treatment they had
made her undergo. Cinderella took them up, and, as she embraced them, said that
she forgave them with all her heart, and wanted them always to love her.
She was taken to the young
prince, dressed as she was. He thought she was more charming than before, and,
a few days after, married her. Cinderella, who was no less good than beautiful,
gave her two sisters lodgings in the palace, and that very same day matched
them with two great lords of the court.
Their wedding was set for
the next day, and Snow-White's godless mother was invited as well.
…
Still, her jealousy drove her to go to the wedding and see the young
queen. When she arrived she saw that it was Snow-White. Then they put a pair of
iron shoes into the fire until they glowed, and she had to put them on and
dance in them. Her feet were terribly burned, and she could not stop until she
had danced herself to death.
Masyarakat feodal masih
memposisikan perempuan sebagai “the angel
in the house[15]”,
pergerakannya sangat terbatas pada ranah domestik. Demikian pula yang terjadi
pada Cinderella dan perempuan-perempuan yang ada dalam cerita. Cinderella
menikah dengan pangeran, artinya perempuan terbebaskan dari deritanya dengan
menumpang kuasa pada para calon penguasa (calon raja), dia akan menjadi ratu
dan kekuasaan ratu adalah di bawah raja. Dari sekedar menjadi ibu rumah tangga
biasa tentu saja kekuasaan ratu jauh lebih besar. Ratu bisa mempengaruhi seisi
negerinya tapi tentu saja masih setelah kekuasaan raja. Untuk menjadi ratu pun
membutuhkan kriteria ke-perempuan-an yang pelik, seperti yang disebutkan Woolf
tersebut. Begitu pula Cinderella dan Snow White. Dia tidak serta merta jadi
calon ratu. Perempuan harus cantik, baik hati—kriteria baik pun ditentukan
secara diskursif, padahal dalam masyarakat patriarti laki-laki lah yang
berkuasa menentukan standar, jadi ukuran tersebut ditentukan oleh
laki-laki—mewah dan elegan.
Her godmother then touched her with her wand, and, at the same instant,
her clothes turned into cloth of gold and silver, all beset with jewels. …
The king's
son, who was told that a great princess, whom nobody knew, had arrived, ran out
to receive her.
Then one
evening, they discovered a strange young man admiring Snow White's
lovely face
through the glass. After listening to the story, the Prince (for
he was a
prince!) made a suggestion.
"If you allow me to take her to the
Castle, I'll call in famous doctors to
waken her
from this peculiar sleep. She's so lovely . . . I'd love to kiss
her. . .
!" He did, and as though by magic, the Prince's kiss broke the spell.
To everyone's
astonishment, Snow White opened her eyes. She had amazingly come
back to life!
Now in love, the Prince asked Snow White to marry him, and the
dwarfs
reluctantly had to say good bye to Snow White.
From that day on, Snow White lived happily
in a great castle. But from time
to time, she
was drawn back to visit the little cottage down in the forest.
(versi Disney ftp://ftp.funet.fi/pub/doc/literary/etext/fairy-tale/)
One day a young prince came to the dwarfs' house and
wanted shelter for the night. When he came into their parlor and saw Snow-White
lying there in a glass coffin, illuminated so beautifully by seven little
candles, he could not get enough of her beauty. He read the golden inscription
and saw that she was the daughter of a king. He asked the dwarfs to sell him
the coffin with the dead Snow-White, but they would not do this for any amount
of gold. Then he asked them to give her to him, for he could not live without
being able to see her, and he would keep her, and honor her as his most
cherished thing on earth. Then the dwarfs took pity on him and gave him the
coffin.
(Versi Grimms http://www.pitt.edu/~dash/type0709.html#snowwhite)
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa
perempuan-perempuan tersebut disambut dan diapresiasi oleh pangeran karena
kecantikan dan kemewahannya. Ini merupakan bukti bahwa pergerakan status pada
masyarakat feodal tidaklah mudah, mimpi dalam dongeng itu juga sebenarnya juga
mengandung borderlines yang tegas.
Bagian-bagian cerita seperti yang dikutip di atas bisa juga dibaca sebagai
berikut; Jika kamu tidak cantik dan bukan
keturunan bangsawan, jangan berharap menjadi ratu, jangan harap bisa menjadi
penguasa.
Perrault sebagai penulis
yang telah mempopulerkan salah satu versi Cinderella tentu saja dalam
penyalinannya memasukkan unsur-unsur yang ada di zaman dia menyalin dongeng
tersebut. Maka dari itu, Cinderella yang saya bahas dalam tulisan ini
menggunakan tahun 1697 sebagai acuan masyarakat penciptanya tahun penyalinan
Perrault. Yang saya anggap masyarakat kelahiran Cinderella di sini merupakan
paduan antara zaman feodal dengan masyrakat pada zaman Perrault menyalinnya.
Jadi ada perpaduan antara masyarakat feodal dan masyarakat classic. Perrault hidup di masa kejayaan khatolik sehingga dalam
Cinderella versinya juga terdapat ideologi khatolik, misalnya kehadiran tokoh fairy godmother tetapi unsur-unsur
feodal yang formulaik dalam cerita juga masih ada. Ada pun formula Cinderella
dalam teori Propp mengenai 31 fungsi cerita rakyat adalah memenuhi fungsi-fungsi
berikut; absention, villainy, lack,
Receipt of a magical agent, liquidation, unrecognized arrival, recognition, and
wedding (http:// social. chass. ncsu. edu/ wyrick/ DEBCLASS/ propp.htm).
Demikian pula masyarakat
yang melahirkan Snow White. Kisah ini
disalin oleh Grimms bersaudara pada tahun 1857. Dalam versi cerita rakyat, Snow White
diciptakan saat masih masyarakatnya juga feodal. Namun tahun 1800an ketika
Grimss menyalinnya telah terjadi peristiwa sejarah dunia yang sangat signifikan
yaitu revolusi industri. Tidak heran bila Snow
White versi Grimms mulai berbau
kapitalis awal. Pada saat penyalinannya dia juga memasukkan ideologi yang
berkembang di dunianya saat itu. Dia menggambarkan adanya pergerakan ke nilai
kerja yang lebih signifikan. Dalam kutipan sebelumnya sang pangeran bahkan
ingin membeli peti yang berisi Snow White tersebut agar ia bisa memilikinya,
jelas ini berorientasi pada nilai tukar berupa modal/kapital. Namun posisi
perempuan di sini tetep saja domestik,
di masa Grimms perempuan masih belum mengalami pergerakan yang berarti maka
posisi sebagai ‘orang rumahan’ masih bertahan dalam versinya. Formula dari Snow
White sendiri adalah lebih kompleks dari Cinderella. Dari 31 fungsi yang
diteorikan Propp, Snow White memiliki
16 fungsi yang semuanya masih dipertahankan Grimms. 16 fungsi tersebut adalah absention, delivery, trickery, complicity,
villainy, lack, departure, receipt of a magical agent, struggle, victory,
liquid, pursuit, unrecognized arrival, recognition, punishment dan wedding.
Sementara versi Disney yang diproduksi pada tahun 1930an menghadirkan yang
berbeda pula, punishment terhadap ibu
Snow White tidak lagi dihadirkan .
"If
you allow me to take her to the Castle, I'll call in famous doctors to
waken
her from this peculiar sleep. She's so lovely . . . I'd love to kiss
her. . . !" He did, and as though by
magic, the Prince's kiss broke the spell.
(versi Disney ftp://ftp.funet.fi/pub/doc/literary/etext/fairy-tale/)
Versi Disney yang berdasarkan tulisan Grimms ini memberikan ending cerita yang berbeda dari versi
Grimm. Ideologi modernisme mulai menguat, pangeran tidak hendak membeli peti
tersebut tetapi mencarikan dokter untuk mengobati gadis mati dakam peti.
Perkembangan keilmuan dimunculkan dalam versi ini tetapi dibenturkan lagi
dengan sisi irasional sebuah dongeng, yaitu gadis dalam peti sebenarnya
diyakini mati tetapi masih akan dicarikan dokter. Ini sebuah gambaran pendewaan
pengetahuan, bahwa dokter sebagai wakil ‘yang menguasai’ ilmu pengetahuan yang
dapat dinalar mampu menyembuhkan penyakit apa pun, termasuk ‘kematian’ Snow
White. Selain pendewaan pengetahuan,
jiwa kapitalis juga dibawakan sang pangeran, dia meminta peti tersebut dengan
alasan dia yang akan mencarikan dokter terbaik bagi Snow White. Artinya dia
sebagai seorang pangeran, calon penguasa memiliki ‘penukar’ yang lebih dari
yang dimiliki para kurcaci. Dengan kekuasaan dan 'uang’ tersebut dia bisa lebih
leluasa mencarikan penawar sakit Snow White. Liberalisme kapital mulai mewarnai
pemikiran Snow White versi Disney yang notabene lahir tahun 1930 dalam
keguncangan ekonomi dunia setelah perang dunia pertama.
Masyarakat di zaman Cinderella, dan Snow White, menafsirkan
masalah domestifikasi perempuan sebagai hal yang wajar, perempuan adalah lemah
dan perlu perlindungan dari pria. Tokoh-tokoh dalam dongeng ini merupakan
penegasan mengenai konvensi masyarakat tentang menjadi perempuan yang harus
patuh, terikat pada kegiatan domestik, dan pemimpi dimana percaya pada
kekuatan-kekuatan magis yang membantunya saat kesusahan serta kehadiran
pangeran sebagai survivor. Kriteria tersebut merupakan perpanjagan apa
yang telah diwacanakan masyarakat penciptanya dimana perempuan dianggap tidak
rasional dan tidak punya kemampuan untuk mengusahakan sesuatu yang rasional.
Sementara di dalam Enchanted justru menunjukkan kolaborasi
dan transformasi keduanya; perempuan juga bisa sangat mandiri jika tahu
bagaimana menempatkan kemampuannya. Bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
posisi yang sama, keduanya bisa saling membantu dalam berbagi masalah. Di saat
Robert bermasalah dengan Nancy, Giselle membantu selesaikan masalah mereka dan
itu berhasil untuk hubungan Robert dan Nancy. Giselle juga menjadi pahlawan
Robert menggantikan peran pangeran di negeri dongeng yang selalu menjadi penyelamat.
Jadi perempuan tidak lagi diposisikan lemah.
Masyarakat Enchanted yang kapitalis (masa
perkembangan kapitalis lanjut) dan berorientasi pada Nilai tukar
menimbulkan alienasi manusia dengan lingkungannya. Karya sastra yang
tumbuh pada lingkungan seperti ini biasanya lebih banyak bicara dengan
kesendirian dan individualitas. Ini juga disinggung oleh Lukacs dalam Approximation to life in the Novel and the Play mengenai
cirri-ciri novel sebagai bentuk kesusastraan yang lahir dari masyarakat kelas
menengah. Salah satu ciri novel adalah bicara mengenai individualitas dan
keterasingan. Kelas menegah yang lahir dari dampak pemikiran modernisme
Descartes pada munculnya revolusi industri ini tidak mempercayai kharisma raja
dan meragukan dewa-dewa. Mereka mengutamakan rasionalitas, pragmatis dan
faktual. Maka yang muncul dalam seni mereka pun demikian. Enchanted juga menunjukkan sisi-sisi keterasingan manusia di antara
hasil peradabannya.
“I just love them so much!” she
gushed, looking over at the flower arrangement. The doves were nestled among
the flowers, cooing.
“Really?” Robert was delighted.
“Yeah, usually you send those
e-mail cards with the digital flower. These are exquisite. Where do you find
live doves in New York City?” Nancy cried.
“And these?” she added. Holding
up a pair of golden tickets. “we’re going to a ball?”
(Jones,2007:90)
Nancy ternyata lebih menyukai sesuatu yang konvensional di balik keglamoran
modernitas dunianya. Dia lebih menyukai merpati yang membawakanya surat dan
bunga dari pada email dan bunga-bunga digital dimana semua itu adalah hasil
peradaban manusia yang paling mutakhir. Hanya saja ternyata itu mengalienansi
dirinya, hubungan digital hanyalah maya, semu dan membuat Nancy merasa hambar,
dia terasing di antara produk cyber tersebut.
Enchanted lahir dari masyarakat yang kompetitif,
mengutamakan rasionalitas, dan struktur sosial yang sangat terbuka. Kapitalisme
memungkinkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk berpindah status
sosialnya, kompetisi ketat pun harus dilalui untuk itu. Oleh karena itu, Robert
mendidik anak perempuannya untuk mempercayai hal-hal yang rasional agar bisa
menghadapi realitas hidup yang kompetitif dan jauh berbeda dengan kisah-kisah
dongeng. Dia tidak percaya dengan mimpi-mimpi yang menjadi kenyataan seperti
yang diumbar dalam dongeng. Baginya, dongeng adalah irasional dan hanya akan
melemahkan daya juang anak, dongeng hanya menawarkan mimpi yang muluk-muluk. Dongeng
mengkondisikan anak bermimpi sehingga mempunyai daya juang lemah dalam hidup.
Giselle yang meyakini adanya mimpi yang menjadi nyata (dream come true), oleh Robert dibedakan sebagai ‘yang lain’, bukan
perempuan ideal yang realistis menurut standardnya.
...
Robert nodded toward Morgan.
“it’s her I worry about. She’s really shy, she doesn’t has many friends, and I
just, I want her to be strong, you know? To be able to face life for what it
is. That’s why i try not to encourage all this fairy-tale stuff, setting her up
to believe all this unrealistic ‘dream come true’ nonsense.”
“ But dreams come true!”
Giselle insisted.
“Maybe someting wonderful could
happen.”
Robert looked at Giselle’s
face—beautiful and bright with hope. “ I forgot who I was talking to.”
(Jones,2007:98)
Seperti yang ditesiskan Weber dalam Spirit
of Capitalism mengenai disenchanted
world dimana rasionalitas dan intelektualitas mengasingkan manusia dari
pesona dunia[16] tercermin dalam representasi tokoh Robert.
Dunia tidak lagi mempesona seperti yang dikagumi Giselle yang bersal dari
negeri dongeng, dari masyarakat feodal. Robert sebagai produk masyarakat
kapitalis merasionalkan semua hal yang terjadi disekitarnya sehingga pesona
dunia lenyap tergantikan intelektualitas dan rasionalitas. Cerita Enchanted mengusung kosep pesona dunia atau enchanted
world bersama disenchanted world
dan mengkonfrontasikannya namun tidak membiarkan salah satu menang, tetapi
berkolaborasi. Dengan demikian, pesona dunia yang di hadirkan kembali dalam Enchanted bukan lah pesona dunia yang
lama, tetapi sebentuk re-enchanted world
(kembalinya pesona dunia) dalam bentuk baru; kolaborasi enchanted dan disenchanted
world.
Pernikahan yang akhirnya
terjadi antara Giselle dan Robert disadari bukanlah pilihan hidup yang “happily ever after”. Artinya mereka
sadar keputusan itu bukanlah penyelesaian untuk semua masalah seperti yang
digambarkan dalam dongeng Cinderella dan Snow White, tetapi lebih merupakan
sebuah pilihan yang berkomitmen.
Giselle stared at the ballroom.
What about happily ever after? She thought desperately. But it was clear that
she hadn’t reached that part yet. She had no choice—she had to do something, or
her chance at happiness would be gone forever. She hurried down the stairs,
nearly tripping over Edward’s sword.
(Jones,2007:146)
Karena semua orang pada akhir cerita memilih hidup sesuai dengan yang
diinginkan maka dalam novel tersebut disebutkan mereka pun ‘hidup bahagia
selamanya’. Tanda kutip pada frase “happily
ever after” adalah untuk menunjukkan bahwa ‘happily ever after’ di sini tidak berarti selamanya seperti yang di
dalam dongeng lama tetapi dalam konteks karena mereka memilih kehidupan yang
sesuai dengan hasrat mereka.
And as for Gisele and Robert?
Their life was just as enchanting. They were married and stayed in New York
City. Giselle took over Nancy’s old studio, renaming it Andalasia Fashions,
where she made princess dresses for children. Morgan, meanwhile, was a flower
girl in the wedding. And even better? She now got to shopping with her new
mother whenever she wanted.
So, in the end, everyone got their true heart’s desire.
And, of course, they all lived “happily ever after.”
(Jones,2007:155)
Pemikiran masyarakat penghasil dongeng-dongeng tersebut, bila dikaitkan
dengan perkembangnan ekonomi dunia yang berpengaruh pada pemikiran mereka seperti
telah dipaparkan tersebut di atas, dapat dilihat pada bagan[17] berikut ini;
|
|
|
5. Akhiran
Representasi perempuan
dalam karya sastra dari waktu ke waktu menunjukkan benang merah akan stereotip
perempuan yang selalu identik dengan lingkup domestik, lemah, emosional,
bersaing tidak sehat karena tidak punya kapabilitas yang cukup untuk bersaing
sehat, licik, dan harus cantik. Walaupun ada transformasi dari representasi
tersebut, stereotip yang sudah menempel sebelumnya tetap muncul sebagai pijakan
membangun counter wacana. Meskipun
berfungsi sebagai pijakan bagi counter wacana,
representasi transformatif perempuan menjadikan stereotip lama masih hidup dan akan terus muncul sehingga
stereotip tersebut terus “merambat pada seutas benang merah”. Bagaimanapun juga
usaha seperti yang telah dilakukan Enchanted
tetap perlu dilakukan terus-menerus, dipertegas, dan diperbanyak agar efektif
merubah stereotip lama.
Perempuan bisa juga
menjadi jagoan, menjadi rasional dengan berpikir dan belajar. Dengan berusaha,
menggunakan pengetahuannya dan memanfaatkan talentanya perempuan bisa sukses,
bisa mandiri seperti yang telah ditampilkan Enchanted.
Representasi perempuan yang ditawarkan Enchanted
ini membangkitkan kesadaran anak-anak—sebagai target pembaca novel yang dikategorikan
sebagai novel remaja ini—agar lebih realistis dan tidak menganggap dirinya lemah
karena hidup di jaman ini tidak hanya bisa bermodalkan mimpi, tetapi juga harus
rasional untuk survive. Hidup
mengandalkan rasio saja juga akan menafikan satu sisi manusiawi dan justru membuat
kita teralienansi dengan produk-produk rasional kita. Enchanted hadir sebagai paduan dunia supernatural dan natural
dengan bidikan masyarakat saat ini sebagai konsumen cerita yang bisa menggugah
kesadaran mereka bahwa mereka hidup di dunia natural. Tanpa menafikan yang
supernatural, Enchanted mengajak
untuk realistis dan mampu mengenali peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar,
kemudian menyikapinya dengan proporsi antara mimpi dan rasio yang sesuai,
dengan kapasitas sebagai manusia tanpa membedakan gender, meskipun dalam
beberapa hal partikular perempuan tetap direpresentasikan dalam ranah domestik.
Daftar Pustaka
Culler,
Jonathan.1981.The Pursuit of Signs;
Semiotics, Literature, Deconstruction.London:Routledge and Keagan Paul
Damono, Sapardi
Djoko.2005. Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pedidikan Nasional.
Danandjaja,
James.1997. Folklor Indonesia; Ilmu
Gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti
Lukacs, George.Approximation
to life in the Novel and the Play dari The
Historical Novel dalam Elizabeth dan Tom Burns. 1973.Sociology of Literature
and Drama. Midlesex: Penguin Books Ltd.
Finnegar, Ruth. 1992. Oral Traditions and the Verbal Arts. London & New York: Routhledge.
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester.
H.T, Faruk.
2001.Beyond Imajination: Sastra Mutakhir dan Ideologi.Yogjakarta:
Gama Media.
2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Jogjakarta:
Pustaka Pelajar Offset
Jones, Jasmine. 2007. Enchanted (Based on the new movie from Walt Disney pictures).New York: Disney Press.
Jost, Francoist. 1974. Introduction to Comparative Literature. Indianapolis and New York: Pegasus: A Division of The
Bobbs-Merril Company, Inc., halaman
33-40
Malpas, Simon. 2005.The
Posmodern.London and New York:Routledge
Taylor & Francais Group
Pujiati, Hat.
2009. Novel Enchanted dalam Kajian Posmodern Brian McHale. Tesis
prasyarat kelulusan S-2 program Studi Sastra Universitas Gadjah Mada.
Roland Barthes
dalam The Theory of The Text dalam
Young, Robert. Untying Text; A
Post-Structuralist Reader.1981. Boston:
Routledge & Kegan Paul Ltd.
McHale,
Brian.1989.Postmodernist Fiction.London and New York : Routhledge.
Newton,
K.M.1990.Twentieth-Century Literary
Theory.London: Macmillan Education Ltd.
Selden, Raman. 1985. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Liverpool:
The Harvester Press.
Website yang diakses:
diunduh pada 16 Juli 2008 pukul 13.44
WIB
diunduh pada 16 Juli 2008 pukul 13.45 WIB
- Diunduh dari ftp://ftp.funet.fi/pub/doc/literary/etext/fairy-tale/ pada tanggal 7 Juli 2008 pukul 15.23 WIB (Versi Disney)
- http://www.pitt.edu/~dash/type0709.html#snowwhite (Versi Grimms )
diunduh tanggal 10 Juli 2008 pukul 18.02 WIB
- Diunduh dari http://www.pitt.edu/~dash/perrault06.html pada tanggal 13 Juli 2008, pukul 14.30 WIB
- http://www.rileks.com/movie/index.php?act=detail&artid=31102006115755
29 Juni 2008, pukul 13.03 WIB
diunduh pada tanggal 29 juni 2008 pukul 13.32 WIB
diunduh pada tanggal 13 Juli 2008 pukul 16.27 WIB
diunduh tanggal 18 July 2008 pukul 16.58 WIB
diunduh pada tanggal 10 Juli 2008 pukul 18.05 WIB
diunduh pada tanggal 14 Juli 2008 pukul 17.39 WIB
diunduh tanggal 2 November 2007 pukul 14:15 wib.
- (http://www-personal.umich.edu/~mmanty/teaching/example4.html diunduh pada 24 juli 2008 pukul 13.12 WIB
[1] Staf pengajar Sastra Inggris
Fakultas Sastra Universitas Jember
[2] Enchanted
selain memiliki kesamaan bagian cerita dengan Cinderella dan Snow White
juga mempunyai interteks dengan Rapunzel,
Sleeping Beauty dan The Blair Rose(Pujiati: 2009; 4). Hanya saja dalam tulisan
di ruang terbatas ini difokuskan pada dua dongeng pertama dengan pertimbangan
porsi kehadirannya dalam cerita.
[3] Dongeng menurut Danandjaja, James.1997. Folklor Indonesia; Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Grafiti.halm.83 adalah cerita yang bersifat
kolektif karena dimiliki secara sosial
oleh kelompok masyarakat tertentu, dongeng ini berupa kesusastraan lisan pada
awalnya dan unsur-unsur ceritanya memiliki kesamaan dengan cerita-ceirta rakyat
di daerah lain. Pada perkembangan selanjutnya dongeng menjadi tertulis setelah
budaya tulis berkembang dan menjadi secondary
oral forms, kelisanan kedua. Sementara Enchanted
dalam tulisan ini adalah yang berupa reproduksi film Disney dalam bentuk buku
(dari teks diubah jadi kelisanan kedua-film-kemudian diubah jadi teks lagi
dalam bentuk novel). Istilah dongeng baru
di sini saya pakai karena cerita ini memadukan kisah-kisah dongeng dan
formulanya (seperti kehadiran ibu tiri yang jahat serta hidup bahagia
selamanya) dengan realitas era milenium di megapolitan sekelas New York yang
juga merupakan produk dari kelisanan kedua—film yang direkam kembali ke dalam
bentuk tertulis; novel.
[4] Menurut Jeremy Philips dalam Understanding Children’s Literature, kategori
remaja dalam sastra anak adalah mereka yang berusia 12 tahun hingga 18 tahun. Cerita konsumsi anak-anak ini sudah cukup kompleks pada plot, sub-plot, dan
tokoh-tokoh yang lebih banyak.
[5] Kesadaran Morgan mengalami keterpecahan dan ini mencirikan salah satu ciri
tokoh novel posmodernis, di dalam McHale, Brian.1989.Postmodernist Fiction.London
and New York : Routhledge. halaman 10, ciri fiksi posmodenis adalah
berbeda dari fiksi-fiksi modernis yang epistemologis, posmodernis lebih
menyiratkan pertanyaan-pertanyaan ontologism di dalamya, yang oleh Dick Higgins
disebut pertanyaan post-cognitive. Pertanyaan-pertanyaan itu
adalah dunia yang manakah ini, apa yang harus dikerjakan di dalamnya, apa yang
harus aku kerjakan di dalam dunia itu,ada dunia macam apa saja dan bagaimana
mereka berbeda-beda? Kesadaran akan diri juga dipertanyakan seperti
diriku yang manakah ini? Diriku yang mana yang harus melakukan sesuatu di dunia
itu.
[6] Hasil penelitian
Pujiati dalam Novel Enchanted
dalam Kajian Posmodernisme Brian McHale menunjukkan Enchanted sebagai karya posmodern yang lebih mengutamakan dominan
ontologis daripada dominan epistemologisnya. Pengembalian aspek re-enchantment di dalamnya merupakan
pengukuhan peta keberadaannya dalam paradigma posmodern (Pujiati: 2009; 147).
[7] Versi Cinderella yang dipakai sebagai acuan dalam tulisan ini adalah
diunduh dari http://www.pitt.edu/~dash/perrault06.html pada tanggal 13 Juli 2008 pukul 14.30 WIB. Versi ini bersumber dari Andrew Lang, The
Blue Fairy Book (London: Longmans, Green, and Co., ca. 1889), halaman
64-71. Lang sendiri mendasarkan versinya pada: Charles Perrault,
"Cendrillon, ou la petite pantoufle de verre," Histoires ou contes
du temps passé, avec des moralités: Contes de ma mère l'Oye (Paris, 1697).
[8] Ada dua versi yang dipakai dalam cerita ini ftp://ftp.funet.fi/pub/doc/literary/etext/fairy-tale/ diunduh pada 7 July 2008 15.23 WIB dan versi terjemahan bahasa Inggris
dari edisi definitive karya the
Grimm's Kinder- und Hausmärchen (Berlin 1857), dongeng nomor 53, yang
dialihkan ke bahasa Inggris oleh D. L. Ashliman diunduh dari http://www.pitt.edu/~dash/type0709.html#snowwhite tanggal 29 Juni 2008 pukul 13.50
WIB. Versi
pertama adalah versi Disney (yang difilmkan pada tahun 1930 dan dibukukan)
dimana akhir cerita Snow White diselamatkan dengan true love kiss. Sedangkan versi Grimms Snow White bangun dari mati
surinya ketika tanpa sengaja punggungnya ditepuk oleh pembantu istana karena
jengkel harus selalu menggotong mayat itu ke depan pangeran yang sedang makan
sehingga potongan apel beracunnya keluar dari tenggorokannya. Akhir Enchanted, mantra Narissa digagalkan dengan
ciuman cinta sejati seperti versi Disney, tetapi tiga kali usaha Narissa
mencoba mencelakakan Giselle lebih mirip dengan versi Grimms maka itu kedua
versi ini dipakai sebagai acuan cerita Snow White yang dibandingkan didalam
tulisan ini.
[9] Dalam Newton, K.M.1990.Twentieth-Century Literary Theory.London:
Macmillan Education LTD
[10] apa yang dihasilkan Disney tersebut memuat unsur-unsur
dongeng. Sementara Enchanted yang
berupa novel lebih tepat disebut novel yang mendongeng atau dongeng yang
menovel karena dia memiliki kedua unsur tersebut di dalamnya (Pujiati: 2009;
145-6).
[11] Seperti yang dikatakan
Foucault dalam The Power/Knowledge
halaman 131 dimana ia menyampaikan bahwa “truth
isn’t the reward of free spirit, the child of protected solitude, nor privilege
of those who have succeeded liberating themselves. Truth is a thing of this
world: it is produced only by virtue of multiple forms of constraint. And it
induces regular effects of power.” Kebenaran diwacanakan dan pada titik
tertentu ia akan mendapatkan konsensus dalam masyarakat dan mencapai regime of truth, tetapi itu akan berubah
sesuai dengan “the power concensus of the
institutions and official organs of science” (parafrase Raman Selden dalam A Reader’s Guide to Contemporary Literary
Theory, halm.98).
[12] Rosa Parks seorang aktivis
kemanusiaan Amerika yang hidup pada tahun 1913-2005, dia memperjuangkan hak
perempuan sipil di Amerika dan Marie Curie (1867-1934) profesor Perancis
perempuan pertama di bidang eksakta. Dia adalah penemu
radioaktif.
[13] Tulisan Lukacs berjudul Approximation
to life in the Novel and the Play dalam Sociology
of Literature and Drama oleh Elizabeth dan Tom Burns menjelaskan bahwa pada
masyarakat feoldal karya sastra masih dibedakan menjadi tiga yaitu epik, lirik
dan drama. Dongeng yang berupa prosa digolongkan ke dalam epik, maka itu apa yang dikemukakan Lukacs mengenai Epik
tersebut bisa diterapkan pada dongeng (1973; 280-295.).
[15] Istilah yang dipakai
Virginia Woolf dalam Professions for
Women. Istilah tersebut sebenarnya ditujukan pada penulis perempuan di abad
19 yang masih terkungkung oleh ideologi ‘womanhood’ dimana perempuan ideal
masih dituntut simpatik, idak egois, dan baik hati, dan itu juga dituntut ada
dalam tiap tulisan perempuan. (Raman Selden, 1985; halm.137)
[16] disenchanted world adalah istilah yang dikenalkan Weber untuk
merujuk pada kekuatan rasionalitas dan intelektualitas dalam menjelaskan
fenomena dunia sehingga pesona dunia (enchanted
wold) pun memudar(seperti misalnya gelegar halilintar, cahaya rembulan
tidak lagi tampak mengagumkan). Dampak dari disenchanted world adalah lunturnya
spiritualitas, kebingungan atau lunturnya nilai-nilai. (http://www-personal.umich.edu/~mmanty/teaching/example4.html diunduh pada 24 juli
2008 pukul 13.12 WIB)
[17] Bagan PERKEMBANGAN TEORI
EKONOMI ini diperoleh dari keterangan Dr. F. Wanono dalam pelatihan History of Thought di LSM Satunama-Sleman Jogja pada tanggal 11-16
Februari 2008. Bagan ini digunakan dalam tulisan ini untuk menunjukkan posisi
kelahiran dongeng dalam perkembangan ekonomi yang saya anggap berpengaruh dalam
pola pikir masyarakat.
No comments:
Post a Comment