Oleh Hat Pujiati
*tulisan ini telah dipublikasikan dalam Prosodi/Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra Program Studi Sastra Inggris Universitas Trunojoyo, Volume 3, Juli 2009 (ISSN: 1907-6665)
Abstract
Women
bodies as the source of judgments upon women represented by writers
from time to time as extension of social discourses or even as counter
discourses. Literary works record the movements of the changing
discourses of women bodies which have differences in certain period.
Beauty, as part of women’s bodies is an endless myth and undeniable by
women in the world, is used as a political strategy to get power and to
control their bodies. Ideologies embodied in a discourse with their
interpellation call and control their subjects for maintaining social
relation and domination. Through Foucauldian’s concept of discourse,
this text analyzes a discourse of women’s bodies recorded in three
Indonesian short stories in certain period: 2000s.
Key words: discourse, counter discourse, beauty, ideology, political strategy.
selengkapnya silahkan klik di sini
Pendahuluan
Mitos Cantik dan Kendali Wacana pada Tubuh Perempuan
Cantik seolah menjadi mitos[1]
abadi bagi perempuan yang terus berkembang dan menghantui perempuan.
Perempuan pun diburu mitos tersebut dari masa ke masa. Ukuran cantik
juga memiliki standar yang terkonstruk oleh kekuatan yang lebih dominan
dari perempuan dalam masyarakat, yaitu budaya patriarki. Wacana cantik
meluas, tersebar, dan berubah pada tiap periodennya sebagai kondisi
partikular. Wacana tidak pernah berhenti pada satu titik tapi akan
selalu ada perlawanan terhadap wacana yang telah mapan dan akhirnya pada
titik tertentu memunculkan wacana baru yang otonom.
Berbicara tentang konsep cantik yang identik dengan wacana perempuan
mengingatkan saya pada konsep cantik yang menjadi ikon perempuan dunia
sejak kemunculannya di tahun 1950an, boneka produk Mattel yang disebut
Barbie. Barbie bertubuh proporsional, kaki jenjang, dada besar, pantat
besar, tubuh tinggi dan sintal. Perempuan dunia pun setuju dengan konsep
cantik yang ditawarkan Mattel ini. Melalui media massa seperti
televisi, poster dan baliho di jalan-jalan utama wacana cantik ala
Barbie ini mewujud dalam berbagai bentuk representasi dan menyebar luas.
Banyak perempuan pun bergaya ala Barbie, bahkan ideologi cantik seperti
Barbie mampu membunuh perempuan dengan Bulimia dan annorexia melalui
program diet berlebihan karena obsesi menjadi selangsing Barbie.
Wacana kecantikan Barbie membentuk subjek-subjek wacana tersebut,
ideologi cantik yang ada di dalamnya mengendalikan mereka sebagai pelaku
wacana. Secantik apa pun perempuan itu, seberapa kerasnya dia berusaha
menjadi cantik seperti Barbie, sebenarnya dia tidak akan pernah menjadi
pengendali wacana cantik itu karena wacana tidak pernah bisa
dikendalikan subjeknya melainkan wacana lah yang mengendalikan subjek.
Perempuan-perempuan pelaku wacana cantik tersebut berlomba untuk
membentuk tubuhnya ala Barbie yang notabene konstruksi masyarakat
patriarki. Perempuan yang diinginkan pria adalah yang seperti Barbie,
perempuan suka menjadi disukai pria adalah ideologi yang
didistorsi mitos cantik tersebut dalam wacana besar perempuan sehingga
menjadi suka disukai pria dinetralkan sebagai sesuatu yang wajar. Karya
sastra merekam ragam pergerakan wacana yang ada di dalam kehidupan
nyata. Tulisan ini akan mengajak kita menengok bagaimana wacana tubuh
perempuan direpresentasikan dalam karya sastra pada periode partikular
yaitu tahun 2000an dan apakah arti tubuh (fisik) cantik bagi perempuan?
Sekilas Mengenai Wacana dari perspektif Foucaultian Reproduksi Wacana Ideologis dalam Karya Sastra
Menurut Foucault, wacana bukanlah bahasa atau teks tetapi struktur
spesifik dari pernyataan-pernyataan, terma-terma, kategori-kategori dan
keyakinan-keyakinan yang dikonstruksi secara historis, sosial dan
institusional (Foucault,1980:194-196). Jadi wacana merupakan
pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan topik tertentu dan ada dalam
momen dan kondisi historis tertentu, serta mensyaratkan adanya formasi
dan praktik diskursif. Wacana tentang perempuan tidak dapat berdiri
sendiri sebagai terma yang kuat di dalam suatu lingkungan sosial tanpa
adanya terma serupa perempuan lemah, laki-laki kuat, perempuan
mengasuh anak, perempuan melayani suami, suami dilayani perempuan,
laki-laki bekerja menghasilkan uang, perempuan menumpang hidup pada
laki-laki. Pernyataan-pernyataan tersebut saling berhubungan, kapan
pun akan mengacu pada objek dan gaya yang sama (episteme), mendukung
strategi tertentu baik itu politis, institusional mau pun administrasi
umum yang disebut sebagai formasi diskursif oleh Foucault.
Ideologi[2]
tersisip dalam wacana dan memanggil subjek hingga membuat wacana terus
menerus dibicarakan, memateri dan menegaskan eksistensi ideologi
tersebut. Kolaborasi wacana dan ideologi ini yang tidak lagi sekedar
imajiner berkekuatan untuk menghegemoni dengan tujuan pemahaman bersama (common sense), yaitu ketika ideologi itu diterima apa adanya oleh masyarakat dan dianggap sebuah kenormalan.
Pada level produksi karya sastra, wacana ideologis yang sampai pada titik common sense
yang sedang berkembang diartikulasikan di dalam karya, artinya ini
mereproduksi dan memapankan konsensus tersebut di masyarakat. Seperti
yang dikatakan Swingwood dengan berkiblat pada Macherey, karya sastra
yang perlu menggunakan dan mengekslporasi ideologi hanya lah memproduksi
sebagian elemen dari keseluruhan realitas (Swingwood, 1986: 95).
Menurut Macherey (dalam Swingwood, 1986: 95 ) sebuah karya tidaklah
diciptakan atas kesengajaan tetapi karya tersebut diproduksi di bawah
kondisi-kondisi tertentu, partikular. Karya tidak diciptakan semata-mata
untuk ideologi, tetapi material ideologi, di luar kesadaran produsen
karya sebagai anggota masyarakat, terbawa dalam wacana sastra yang
tidak bisa berdamai dengan kontradiksi-kontradiksi yang diwariskan
ideologi, posisi tawar oleh teks pun meramaikan ideologi wacana.
Ideologi yang ‘diam’ berbicara, sebagai efek dari reproduksi ideologi
dominan dalam wacana karya sastra, negosiasi ideologi-ideologi dalam
wacana menghidupkan cerita dan bisa melahirkan wacana baru.
Masyarakat cenderung menerima apa-apa yang direpresentasikan karya
karena mereka menemukan referensi-referensi dari wacana ideologis
konsensual[3]
yang sebelumnya sudah ada di masyarakat. Akan tetapi, representasi
karya sastra yang menggunakan referensi-referensi yang ada di masyarakat
ini ambivalen, ia juga bisa menjadi strategi ideologis untuk memberikan
tawaran-tawaran ideologi baru. Wacana mapan digerogoti dengan sesuatu
yang familiar pada masyarakat sehingga mudah dicerna dan diterima namun di situlah posisi tawar dilemparkan karya.
Pembahasan
Wacana Perempuan dalam Karya Sastra: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra
Wacana perempuan di dalam karya sastra Indonesia bukan hal baru. Sejak tahun 1920an, Sitti Nurbaya sudah melontarkan wacana perempuan walau pun masih sederhana dan direspon oleh Layar Terkembang beberapa dekade kemudian dan ini direspon kembali oleh Belenggu
tak jauh berselang. Ketidaksetujuan Sitti Nurbaya pada kawin paksa
hanya muncul sebagai digresi dalam keseluruhan cerita. Sementara Tuti
dalam Layar Terkembang dengan rasionalitasnya dan
teriakan-teriakannya pada perempuan adalah pada taraf meyakinkan
perempuan bahwa mereka punya peran penting, bahwa perempuan berguna bagi
masyarakat atau bangsa, bukan sekedar ‘kanca wingking’. Sedangkan Belenggu
di masanya sudah cukup mengegerkan bahkan dicap tidak intelek dengan
menghadirkan cerita dengan perspektif perempuan seperti tokoh Yah yang
tidak berpendidikan tinggi dan melacur tapi mengalahkan perdebatan
dengan Tini yang terpelajar bahkan memenangkan hati Tono yang ada di
kelas atas sebagai dokter.
Wacana perempuan dalam karya sastra saat ini berbeda dari apa yang
diwacanakan karya-karya tersebut. Tulisan ini akan menyoroti wacana
tubuh perempuan dalam karya sastra, yaitu dalam tiga cerpen berikut: Ha...ha...ha... (oleh Djenar Maesa Ayu), Mutilasi (oleh Nova Riyanti Yusuf), dan Akar Pule (oleh
Oka Rusmini). Bagaimanakah rekaman wacana tubuh perempuan sebagai
wacana diskursif yang ada di dalam masyarakat pada periode parikular,
yaitu awal tahun 2000an, diartikulasikan dalam karya-karya tersebut?
“Ha..ha...ha...” dan Mitos Cantik: Sebuah Wacana Tubuh Perempuan
Ha...ha...ha...
oleh Djenar Maesa Ayu menyentil konstruksi wacana perempuan Barbie yang
telah saya ungkapkan pada pendahuluan tulisan ini. Melalui narator,
cerpen ini menunjukkan bahwa perempuan dengan tubuh ‘montok’ tidaklah
nyaman, susah melakukan gerakan-gerakan tertentu seperti gerakan yoga.
Yoga mengajarkan gerakan-gerakan yang membantu membentuk tubuh lebih
ramping dan jiwa pelaksananya lebih tenang dengan meditasi. Dengan kata
lain bila susah beryoga, salah satu peluang menjadi tenang hilang, ini
bisa kita lihat dalam kutipan berikut:
Begitu
jengah saya melihatnya dalam posisi seperti itu. Pernah satu kali saya
mencoba mengikutin gerakan yoga yang sedang ditayangkan dalam program
salah satu stasiun televisi. Namun keesokan harinya lutut saya memar.
Biru keunguan. Saya malah jadi gusar. Padahal tadinya saya mencari
ketenangan.
Jadi saya tidak bisa mengerti kenapa ia bisa bertahan begitu lama
dengan posisi semacam itu. Saya iri dengan tulangnya yang sekeras batu.
Saya iri dengan kulitnya yang tak seputih salju. Saya iri dengan
payudaranya yang kecil sehingga tidak membuat tulang punggungnya linu.
Saya cemburu. Fisik saya yang berbeda dengannya ini membuat saya tak
bisa yoga. Apalagi berdoa?!
Sera namanya. Setan, saya memanggilnya. Tapi hanya berani di dalam
hati, tentunya. Karena, siapa yang berani mengutuk orang yang mahir
berdoa? Dosa. Sudah tak pernah berdoa, sirik, dan mengutuk pula. Pasti
saya berakhir di neraka. Padahal, melihatnya berdoa di depan hidung saya
saya sudah cukup membuat seolah saya hidup di tengah api membara. Tidak
percaya? Tak apa. Saya pun tidak percaya mitos surga neraka. Apalagi
mitos surga di telapak kaki ibu.
(Ayu, 2006; 41-2)
Ia
tidak berkulit terang. Kulitnya keras seperti kerang. Payudaranya cuma
sebesar kentang. Di luar rumah ia luput dari pelecehan.
(Ayu, 2006;44)
Representasi wacana mengenai tubuh perempuan dalam kutipan-kutipan tersebut di atas bisa kita baca sebagai tubuh perempuan adalah sumber masalah dan ruang justifikasi perempuan dalam memposisikan diri di dalam lingkungan masyarakatnya.
Berbicara mengenai tubuh Sera yang kerempeng dikagumi oleh narator yang
memiliki tubuh sebaliknya sebenarnya juga bicara tentang konsep tubuh
cantik, menarik, dan diinginkan pria di dalam masyarakat. Tubuh yang
menarik adalah yang berkebalikan dengan tubuh Sera, yaitu payudara yang
besar, tidak kurus kerempeng tapi sintal, ‘berisi’ seperti wacana
perempuan cantik yang tersebar dalam masyarakat saat ini sebagai
referensi wacana dalam karya sastra dengan realitas. Yang cantik adalah
yang berkulit putih seperti yang diwacanakan iklan di media cetak mau
pun elektronik terus-menerus sehingga mempengaruhi pandangan dan
perilaku masyarakat untuk menjadi objek ideologi ‘cantik-putih’
tersebut. Demikian pula dari apa yang ditampilkan wacana tubuh Sera.
Sera tidak memiliki kriteria pelaku wacana ‘cantik-putih’ tersebut, dia
tereksklusi dari wacana ‘cantik itu putih’. Sera ada sebagai ‘the other’
dan wacana yang menginklusisnya adalah lemah. Seperti Foucault katakan
bahwa wacana tidaklah membentuk kelas antara yang dominan dan marginal
tapi setiap wacana bermain secara strategis berdasarkan kepentingan
tertentu dan membawa beragam ideologis.
Ideologi cantik yang direpresentasikan melalui cerita narator mengenai
Sera yang tereksklusi sebenarnya mengandung ideologi rasisme. Kulit
gelap seperti Sera adalah tidak cantik, tidak normal karena selayaknya
perempuan adalah berkulit terang. Ideologi Barat pun menjadi acuan, ras
Kaukasoid adalah yang cantik, yang normal dibandingkan yang lain, bahwa
Timur adalah ‘the other’. Iklan sebagai distributor wacana, sebagaimana diungkapkan cerpen Ha...ha..ha...
ini, berguna untuk membentuk opini masyarakat, sebuah strategi yang
disembunyikan adalah kepentingan kapitalisme, untuk uang, juga
mengindikasikan kepentingan kekuasaan Barat atas Timur.
Wacana tandingan pun muncul dari eksklusi proses normalisasi sebuah wacana, representasi perempuan ditawarkan dalam Ha...ha...ha... menjadi ‘the other’
dalam konsep cantik yang diamini publik bukanlah hal yang merugikan
seperti yang digaungkan selama ini. Menjadi kerempeng, berkulit gelap
sehingga tidak diinginkan pria kebanyakan ternyata memiliki keuntungan
yaitu tidak dilecehkan di tempat umum. Sedangkan berdada besar dan tubuh
seksi seperti narator ternyata menyulitkan. Ada gerakan-gerakan yang
tak mampu dilakukan karena bentuk tubuh seksinya. Malah tidak bisa
beryoga dan berdoa untuk mendapatkan ketenangan. Tubuh seksinya yang
jadi icon perempuan, yang menjadi wacana tubuh yang diinginkan
pria, imaji tubuh ideal yang terbangun secara diskursif itu justru
merugikan dia sebagai perempuan. Dia tidak mendapatkan ketenangan bahkan
kondisi fisiknya menjauhkan dia dari Tuhan, yang dianggap sebagai
tempat rekonsiliasi dengan kegundahan.
Di tempat umum, narator mendapatkan pelecehan seksual karena bentuk
fisiknya. Sebaliknya Sera dengan kondisi tubuh kerempeng, dia aman dari
pelecehan seksual di luar rumah. Ia mampu melipat tubuhnya sesuai
gerakan yoga dan berlutut untuk berdoa yang merupakan jalan menuju
ketenangan. Artinya, cantik seperti yang telah dikonstruksi masyarakat
bukanlah kebenaran mutlak, itu sekedar opini. Tidak terinklusi pada
wacana cantik yang dominan itu sebenarnya bukanlah masalah negatif, ada
hal-hal lain yang bisa diperhatikan sebagai nilai lebih pada perempuan
yang tidak sekedar mengagungkan tubuh yang kasat mata. Intelektualitas
Sera yang dikagumi narator adalah salah satunya.
Laki-laki
tidak tertarik dengan perempuan macam Sera yang tidak tampak seperti
perempuan pujaan dalam sejumlah majalah maupun iklan. Satu-satunya
pelecehan dan penganiayaan ada dan terjadi di rumah ini. Kenapa ia tidak
pergi? Kenapa masih butuh minta Tuhan melindungi? Otaknya cemerlang. Ia pandai mencari uang.
Kenapa masih memohon Tuhan karunia? Kenapa ia tak sadar kalau punya
kelebihan dan karena itulah Bapak selalu pulang? Ataukah ia sedang
memohon pengampunan untuk kebodohannya selama ini?
(Ayu, 2006;45)
Bagian
tubuh yang tidak tampak dengan mata telanjang, otak, juga bisa
dijadikan aset perempuan untuk menghadapi hidup. Sera yang pandai
mencari uang sebenaranya memiliki potensi untuk menggunakan
kapabilitasnya tersebut untuk mengatur strategi dan mendapatkan kuasa.
Pengetahuan adalah jalan menuju kuasa[4].
Teks ini mencerminkan bahwa penampilan tubuh bukanlah satu-satunya
sumber daya tarik bagi laki-laki, tubuh bukanlah alasan perempuan
menjadi lemah. Ini terbukti bahwa suami Sera masih saja selalu pulang
padanya meski dia tidak terinklusi ke dalam wacana cantik ala Barbie
Kaukasoid yang mengakar dalam lingkungan sosial, dan juga diakui Bapak.
Perempuan sebagai Subjek dan Objek laki-laki
Jika hatinya dirundung senang, biasanya ia langsung tertidur di bawah ketiak Sera. Jika hatinya setengah senang, biasanya ia menelanjangi Sera. Jika hatinya sama sekali tidak senang, biasanya ia menelanjangi, memukuli, merampas uang baik dari dalam dompet maupun celengan Sera. Lalu ia pergi lagi, dan baru pulang keesokan pagi.
(Ayu, 2006; 43)
Jika hati bapak dirundung senang, ia akan menyodorkan ketiaknya dan membiarkan bapak di sana sampai lelap tertidur. Jika hati Bapak setengah senang, ia akan menyerahkan tubuhnya ditelanjangi dan dibolak-balik oleh Bapak seperti adonan martabak telur. Jika hati Bapak sama sekali tidak senang, ia akan merelakan dirinya ditelanjangi, dipukuli, dan membiarkan Bapak merampas semua uang baik
dari dalam dompetnya mau pun celengan lantas pergi lagi, baru pulang
keesokan harinya. Kalau Bapak pergi lagi, ia pasti akan menangis
meraung-raung di depan pintu ruang tamu, lalu...
(Ayu, 2006; 46)
Dua
kutipan di atas, oposisi Sera (Ibu) dan Bapak, memposisikan subjek dan
objek. Pada kutipan pertama Sera adalah objek Bapak namun pada kutipan
kedua, ketika membicarakan konteks yang sama bahkan sekedar pengulangan
dari yang pertama, Sera ternyata selain objek dia juga subjek, dia bukan
korban Bapak.
Dominasi subjek-objek ini dituturkan narator guna menunjukkan penundaan
pada jejak-jejak yang terbaca di awal. Ada dualitas dalam sesuatu yang
tampak tunggal, dibalik yang tampak natural, biasa, dalam common sense
ternyata ada kemungkinan-kemungkinan lain, ada pluralitas di balik
kesatuan. Teks ini mengusiknya dengan penundaan-penundaan seperti subjek
adalah yang menentukan namun perlu ditengok lagi. Subjek diayomi,
dilayani objek, subjek butuh objek, objek sekaligus subjek, seperti yang
dilakukan Sera. Dia membiarkan suaminya menjadikan tubuhnya sebagai
objek, artinya kendali juga ada pada dirinya yang diposisikan sebagai
objek. Objek menjadi subjek' tanpa menjadikan subjek (subjek
pertama/suami/bapak) sebagai objek. Kadang juga ada sintesis antara
objek-subjek atau subjek'-subjek, menghilangkan border oposisi
yang terbangun pada awalnya. Di sinilah sisi posmodernisme yang
ditawarkan dalam cerpen produk tahun 2000an ini, ada beberapa angle yang ditawarkan dalam memandang suatu fenomena yang dihadirkan sehinga ini tidak membentuk grand design yang mendominasi.
Perempuan Sebagai Ibu: Pemegang Ideologi Kekerasan
Ibu selalu digambarkan sebagai sosok yang penyayang, perhatian, arif
dan bisa menjadi panutan anak-anaknya. Namun cerpen ini justru
menghadirkan ideologi kekerasan yang direpresentasikan Sera. Sera hadir
sebagai sosok yang keras, bahkan oleh narator dikatan dia setan karena
kekerasan yang diterimanya dari Sera. Sera memukul, menjambak, dan
menginjak anaknya. Pada sisi ini, Sera direpresentasikan sangat
berlawanan dari wacana ibu selama ini. Dia melampiaskan semua
kemarahannya pada anaknya. Sera sebagai perempuan juga ditampilkan bukan
sebagai orang yang sepenuhnya arif, walau pun dia rajin berdoa, dia
memaki, menyiksa, dan melacur. Cerpen ini tidak menempatkan pelacur
sebagai pekerjaan yang hina, pelacur hanyalah profesi untuk menyambung
hidup. Artinya kehadiran doa, Tuhan, dan profesi pelacur secara
bersamaan dan dibuat sejajar dalam cerpen ini dapat kita baca bahwa
perempuan adalah manusia biasa yang punya dualitas dalam dirinya.
Sementara menjadi ibu harus bijak, penyayang, dan menjadi panutan adalah
sekedar wacana yang dikonstruksi lingkungan sosial belaka, bukan
kodrat. Representasi Sera dengan kekuatan tubuhnya juga bisa melakukan
kekerasan selain menjadi korban kekerasan yang dapat dilihat da;am
kutipan berikut.
Saya berdoa dalam hati. Tapi tidak dengan posisi seperti Sera. Saya
berdoa sambil berguling-guling di lantai sambil diinjak-injak oleh Sera.
Jadi saya tidak berani berdoa memohon kepada bapa kami yang ada di
surga. Tuhan. Saya berdoa memohon kepada bapa saya. Setan. Semoga ia
segera pulang. Dan doa saya terkabul. Kemarin Bapak pulang dengan riang
dan membawa uang. Bapak menang. Sera senang. Setan dengan setan
sama-sama girang. Saya tenang.
(Ayu, 2006;46)
Perempuan suka Belanja, Boros
Saya juga senang. Berarti besok saya bebas dari Sera. Karena ketika Bapak tidur seharian, Sera juga shopping seharian. Dan saya akan pulang sekolah dengan hati tenang. Tak ada makian anak setan.
Sera
yang bukan penyayang, Sera yang cerdas dan pandai cari uang, adalah
perempuan. Perempuan identik dengan belanja. Cerpen ini juga menunjukkan
tokoh Sera yang kuat, Sera yang kasar, Sera yang lemah, Sera yang
cerdas dan pandai mencari uang, Sera yang menghujani suaminya dengan
uang hasil jerih payahnya sekaligus juga ditampilkan sebagaimana
kebanyakan perempuan yang suka diberi uang suaminya untuk dipakai belanja. Maka yang terbaca kemudian adalah bahwa Sera adalah perempuan biasa, yang punya stigma sebagai makhluk boros
dan seolah itu merupakan bawaan lahir perempuan. Belanja sendiri juga
berurusan dengan tubuh, tubuh perempuan yang didisiplinkan –dikendalikan
sistem masyarakat— membutuhkan belanja, itu lah ideologi boros pada
perempuan. Betapa pun dia cerdas dan pandai mencari uang, mampu memegang
kuasa atas dirinya bahkan kadang atas suaminya atau dengan kata lain
Sera kerab berperan sebagai subjek atas dirinya, namun di sisi lain dia
tetap juga masuk ke dalam formasi diskursif wacana besar bahwa sebagai
perempuan pada akhirnya dia akan kembali pada ‘seharusnya’
perempuan, suka belanja dan boros. Dengan demikian, teks cerpen ini
tampak menggunakan keragaman karakter Sera yang tampil secara simultan
ini sebagai strategi untuk menawarkan wacana tandingan yang ada di
dalamnya.
Perempuan Lemah dan Alim
Mitos yang juga lekat dalam wacana perempuan adalah bahwa perempuan itu
lemah, kalau tidak lemah tidak perempuan, perempuan yang kuat namanya
lesbi, kalau lesbi dikutuk Tuhan atau bahkan dirajam. Begitu pula Sera,
dia kuat, dia tegar tapi dia lemah. Dia dipukuli Bapak hingga memar, dia
menangis sampai sesenggukan ketika Bapak meninggalkanya. Sera juga
setia menunggu Bapak kembali ke rumah dan terus berdoa walau pun doanya
di sela-sela profesinya sebagai pelacur.
Kemarinnya
lagi Bapak tidak pulang. Terhuyung-huyung dengan rambut kucai masai, ia
pergi meninggalkan Sera yang terduduk di depan pintu ruang tamu degan
air mata berlinang. Telanjang. Maka saya bisa melihat dengan jelas luka
seorang perempuan walaupun kulit hitamnya tidak terlalu menegaskan memar bekas penganiayaan.
Saya bisa melihat dengan jelas ia melipat ke dua tangannya, memejamkan
matanya, duduk tak bergerak di tempatnya, memejamkan matanya, duduk di
tempatnya tak bergerak, dan berkali-kali mengucap nama tuhan sambil sesenggukan.
Saya tahu ia akan bertahan lama dengan posisi semacam itu. Sementara
saya yang mengintip dari celah pintu sambil tiduran di ranjang saja
merasa pegal-pegal. Saya ingat doa yang selalu menjadi ritual sebelum
pulang sekolah. Di dalam doa itu, kami, para murid, memohon
perlindungan. Memohon pengampunan. Memohon karunia. Memohon penerangan.
Sera
juga membawa sisi religius pada dirinya, berbeda dengan Bapak. Sejak
awal cerita tidak pernah digambarkan bahwa Bapak berdoa sedangkan Sera
selalu megakhiri kegundahannya di depan altar. Sekali lagi perangkap
formasi diskursif wacana besar bahwa perempuan harus ’alim’ mengintai
Sera.
Narator juga perempuan seperti Sera, dia mengagungkan rasionalitas,
mencerca kelemahan Sera, tetapi dia pun perempuan yang terjaring dalam
wacana diskursif bahwa perempuan lemah. Betapa pun pikirannya subversif,
narator tidak punya kekuatan melawan Sera. Dia takut melawan Sera, rasa
takut itu melemahkan narator. Keputusannya pergi dari rumah pada akhir
cerita merupakan terobosan atas kutub oposisi biner antara ketakutan dan
keberanian dalam diri narator, walau pun luar rumah belum tentu
memeberikan kebebasan yang diharapkannya.
Wacana-wacana perempuan yang dimuat di dalam cerpen ini bertumpu pada
tubuh. Mitos cantik mendisiplinkan tubuh, Sera menjadi objek atau subjek
atas dasar penguasaannya pada tubuhnya, ideologi kekerasan yang
tergambar dalam Sera juga karena tubuhnya lebih kuat sehingga bisa
menguasai tubuh narator, Sera yang suka Shopping juga karena
tuntutan kedisiplinan tubuh, Sera lemah jelas mengacu pada kekuatan
tubuh yang tak mampu melawan Bapak, Sera bisa alim karena bertubuh
kerempeng sehingga bisa berlama-lama berlutut di depan altar. Tubuh
perempuan menjadi sumber wacana yang beragam.
Wacana Tubuh Perempuan dalam “Mutilasi” Oleh Nova Riyanti Yusuf
Dalam Mutilasi, negosiasi panjang tokoh perempuan dengan
kekuatan-kekuatan normatif dalam masyarakat sebagai perempuan menjadi
topik utama. Kejujuran, cinta yang tulus, sopan santun diidentikan
sebagai keharusan perempuan untuk menjadi perempuan merupakan penggerak
cerita. Perdebatan-perdebatan antara yang normatif, yang harus, yang
dikonstruksi dan pertanyaan-pertanyaan kodrati perempuan mewarnai cerpen
yang mempunyai kekuatan untuk direnungkan pembacanya ini.
Tubuh Perempuan dan Cinta
Cinta perempuan selalu digambarkan tulus, penuh kejujuran dan penuh keikhlasan. Akan tetapi, Mutilasi
memutilasi mitos tentang perempuan tersebut. Cinta perempuan
digambarkan sebagai bagian dari kebutuhan batiniah dan itu terpisah dari
kebutuhan lahiriah. Kejujuran bagi narator ternyata tidak memberikan
makna seperti yang telah diwacanakan publik dan mengafeksi pandangannya.
Dia harus berdebat panjang apakah akan jujur tentang perasaannya
sehingga makna menguat dalam dirinya dan membuatnya terlepas dari
belenggu normatif yang mengungkungnya. Teks Mutilasi membawa
wacana besar tentang perempuan yang tak bebas, jika ia bebas, ia
menyamakan diri dengan laki-laki, jika demikian maka dia termarjinalkan
sebagai perempuan dan dianggap tidak normal.
Kejujuran cinta perempuan juga harus ditunjukkan pada pemilihan
pasangan cintanya. Perempuan lajang ‘baik-baik’ harus berpasangan dengan
laki-laki yang juga lajang. Jika tidak, maka ia menjadi perempuan yang
‘tidak baik’. Perempuan yang melakukan hubungan badan di luar nikah dan
dengan laki-laki menikah pastilah karena uang, dan itu sama dengan
melacur. Selingkuh itu dosa. Wacana yang demikian ternyata ditawar
dalam Mutilasi. Narator memilih tidur dengan laki-laki’bertubuh tidak indah’
yang telah mapan dan berkeluarga, tidak hanya dengan satu laki-laki.
Cinta bisa mendua, sedangkan tubuh adalah alat untuk menuai kenikmatan.
Perempuan juga bisa jatuh cinta pada lebih dari satu laki-laki dan
menikmati cinta bisa dengan menggunakan tubuh yang bersetubuh. Pemakaian
tubuh dan uang dalam negosiasi ‘perasaan’ dan tubuh tidak dianggap
sebagai pelacuran tetapi sebagai pemenuhan hasrat manusiawi yang tidak
pernah puas.
Kita tidak akan hidup selamanya, paling tidak sisa waktuku yang
sedikit. Lantas kenapa kau habiskan hidup kita dalam diam?
Ia
masih belum menoleh. Perasaannya masih berkecamuk. Ia masih berdiri
dalam kenanganmasa yang baru ia tinggalkan. Ia baru saja bersama orang
lain. Ia baru saja mendekap tubuh yang tidak indah namun ia agungkan
dalam kepolosannya. Ia baru saja berkasih-kasihan. Baru emapat jam yang
lalu ia mencumbu dan dicumbui, namun bukan oleh KAU! Ia seperti
menggelegak dalam alveoli. Ia bingung lagi, apa makna?
Tangan
itu melepaskan genggeman atas jari-jemarinya. Dan tubuh itu pun
kelelahan dan menghempaskan diri ke sandaran jok kulit berwarna khaki.
Apakah pemberian uangku masih cukup?
Ia tersedak. Uang...uang...ia punya cukup uang. Ia punya segala
kemewaha materiil sejak masih di dalam kandungan. Ia tidak pernah kurang
dari satu apa pun. Lalu ia dipertanyakan tentang uang? Apakah karena ia
hanya manusia? Yang tidak pernah puas? Yang selalu ingin segala
sesuatunya berlimpah. Manusia senang akan kelebihan. Kecukupan bukanlah
hidup. Kecukupan hanya untuk zombie. Manusia harus bertujuan.
(hal.77-8)
Perspektif tubuh seperti yang dibawakan narator sebagai perempuan
ternyata berbeda pada kekasih gelapnya, laki-laki pejabat pemerintah
yang telah beristri ini ternyata memaknai kehadiran perempuan tersebut
dengan berbeda. Perempuan itu sekedar penegas imajinasinya yang
menguatkan dirinya akan kelaki-lakiannya. Wacana laki-laki mapan dalam
masyarakat adalah yang bisa menghidupi banyak perempuan dan dicinta
banyak perempuan. Artinya perempuan dalam wacana yang berkembang di
masyarakat adalah sekedar pelengkap kelelakian.
“Sesunguhnya,
aku tidak membutuhkan tubuhmu. Aku membutuhkan kemengadaanmu. Aku ada
karena kau imajinasiku. Aku ada karena aku mencintaimu. Aku inign kau di
sisiku. Ya... Ia membisu dan buru-buru menunjukkan, “Cukup seperti ini,
saat kucium harummu dalam jarak. Aku tidak pernah mau menari-nari di
atas pengorbanan fisikmu.”
Ia hampir menangis. Jadi sesungguhnya apa makna? Apakah saat ia merasa
menemukan cinta sehingga rela memberi dirinya dan tubuhnya untuk
bercinta dengan magnitude... atau saat ia menerima cinta, di mana
ia tidak mencintai, namun penuh pengagungan akan eksistensinya, di mana
ia hanya sebuah zat yang tak tersentuh dan tak terbodohkan orgasme.
(78-9)
Dari
kutipan tersebut dapat dibaca bahwa posisi tawar yang ditawarkan teks
ini adalah pemikiran bila kadang kala tubuh hanyalah bentuk, bukan
esensi. Bentuk adalah hadir dan hanya representasi dari bentuk lain
yang ‘tak terbodohkan’ oleh kenikmatan orgasme sebagai perayaan
keberadaan itu sendiri, tetapi bentuk yang hadir membuktikan
eksistensinya dengan orgasme.
Tubuh Perempuan Milik Publik
Ketika perempuan dan tubuhnya menjadi milik publik, kontrol sosial
terhadap tubuh perempuan begitu ketat. Undang-undang anti pornografi dan
pornoaksi juga merupakan usaha negara untuk menguasai tubuh perempuan
karena tubuh perempuan menjadi ukuran ‘maksiat’ dan ‘mengundang syahwat’
yang dianggap bisa merusak moral bangsa. Kuota kepemimpinan perempuan
di jajaran pemerintah pengambil keputusan sangat kecil sehingga
aturan-aturan negara pun masih kental dengan bau patriarki sebagai usaha
melanggengkan kuasa. UUAPP sebenarnya hanyalah penegasan apa yang telah
lama menjadi wacana konsensual, pengekangan norma atas tubuh perempuan
memang telah langgeng dan menjadi konvensi bersama bahwa apa yang
terjadi dengan tubuh perempuan menjadi urusan publik. Bila tubuh
perempuan dikenakan pakaian minim, bila tubuh bergerak di luar yang
dikonvensikan sebagai geraka ‘wajar’, bila tubuh diekspose dalam pose
telanjang, bila tubuh perempuan digambarkan detil atau pun bila tubuh
dipakai untuk menikmati kenikmatan ragawi semata maka pemilik tubuh
dikenai sanksi baik itu sosial maupun hukum pemerintah. Sanksi inilah
yang dicemaskan dalam teks Mutilasi. Narator takut mencintai pria
beristri, secara emosional dia merasa terhukum dari kebebasan karena
selingkuh dengan suami orang dan juga meniduri pria lain yang juga
beristri, karena ia menyalahi apa yang dikonvensikan masyarakat akan
‘cinta ideal’ bagi perempuan lajang.
Dalam diam manusia dan dalam rintih hujan, mobil sedan itu menepi.
Ia begitu terkalahkan. Dunia mengolok-ngolok dirinya dengan iming-iming cinta.
“Aku tidak bisa menemuimu lagi.”
Pia itu bergeming, wajahnya tanpa eksresi.
“Kasihan istrimu yang tak tahu kau sesungguhnya mencintai yang lain.”
Ia membuka pintu mobil itu.
Pria itu diam.
Ia menjejakkan kaki di aspal dan gravitasi membulatkan tekadnya untuk pergi jauh dari mobil itu, dari pria itu.
Ia
pun sesumbar bahwa ia telah terbebaskan dari berbagai stigma negatif
atas arti drinya. Bebas dari cinta searah yang kadang superioritas.
...
bahwa
dalam runutan moment kehidupan yang ironis empat jam lalu, ia bercinta
degan “kekasih” dan beberapa menit yang lalu, ia tolak cinta pria yang
ia tahu sudah tidak sendiri lagi. Dan kini, ia pun tahu, bahwa kedua
prianya memang telah hidup terselubung oleh dominasi ikatan sakral rumah
tangga. Dan ia, harus terus percaya bahwa eksistensi manusia hanya akan
mengada dalam wujud mutilasi sebuah entitas kesignifikanan akhir
dirinya yang pasti sendiri.
...
sebuah
mobil berhenti di dekatnya. Roda mendeit dengan halusnya, seperti sang
supir telah ditatar bagaimana seharusnya menjemput seorang puteri. Tak
lama kemudian supir dengna safari abu-abu bergegas turun dan membukakan
pintu untuknya.
Dan seperti sebuah peristiwa di-rewind. Kembali ia tidak sendiri di jok belakang.
Namun tangan itu tak lagi berusaha meraih jari jemarinya.
Begitu hampa. Tidak ada lagi kehangatan tubuhnya terbekukan dalam dinginnya hati dan pakaian yang lepek.
Ia pun meraih jari-jemari pria itu. “tanyakan aku lagi pertanyaan-pertanyaan itu lagi,” pintanya lirih.
Pria itu merangkulnya. Ya, seperti itu. setidaknya, ia dicintai.
(78-79)
Ketakutan-ketakutan
narator untuk menyeberangi kutub-kutub biner salah-benar berusaha
ditembus dengan proses yang sangat alot tampak pada kutipan tersebut.
Perasaan bersalah menggiring narator pada pilihan untuk dicintai atau
bebas dari kutukan normatif. Wacana perempuan sebagai makhluk emosional
pun terkembang dari kutipan tersebut. Perempuan (narator) memilih
dicintai dan melangkahi norma meski pun dia tak pernah bebas dari
perasaan bersalah karenanya. Setidaknya pilihan itu diambil narator
ketika dia telah bernegosiasi, menawar dengan pikiran-pikirannya untuk
posisi di dalam masyarakat atas stigma negatif bagi dirinya yang
perempuan. Keputusan itu berarti bahwa bukan satu-satunya yang bisa
dilakukan, ada alternatif lain yang telah diketahuinya dengan sadar.
Artinya pilihan yang dibuatnya bukan karena kebodohannya, bukan karena
dia dimandulkan norma, bukan karena ia perempuan makhluk emosional
tetapi lebih pada karena dia adalah manusia yang merupakan mutilasi entitas
yang pada akhirnya harus sendiri. Narator memilih tidak sendiri saat
itu, memilih dicintai dan kembali pada “sang kekasih” namun tetap
memelihara “kekasih” di sisi lain. Cinta itu pun tidak lagi dikuasai
superioritas kelelakian “sang kekasih” yang telah mapan dan
berpengalaman akan seluk beluk cinta, tetapi karena narator berkehendak
untuk memilih itu. Dicintai artinya menikmati kenyamanan tidak sendiri,
dan tubuh dibiarkannya untuk menikmati jouissance atas
kehendaknya, pemilik tubuh. Pada akhirnya negosiasi rasio dan norma akan
bagaimana tubuh harus diperlakukan, dimenangkan oleh kendali pemilik
tubuh untuk menikmati yang bisa dinikmati tubuh dalam teks ini, walau
pun negosiasi ideologi-ideologi dalam wacana sendiri tak pernah final.
Wacana Tubuh Perempuan dalam “Akar Pule”
Akar Pule adalah sebuah cerpen yang disumbangkan Oka Rusmini untuk jurnal Prosa berjudul Yang Jelita yang Cerita.
Cerita ini juga memuat wacana perempuan dengan latar belakang budaya
Bali sebagaimana ciri khas tulisan Oka Rusmini. Perempuan dengan dua
perspektif berbeda mengenai tubuh dan seksualitas dibawakan dua tokoh
secara gamblang, mereka adalah Saring dan Glatik.
Wacana Tubuh Perempuan Penikmat dan Seksualitas
Perempuan dianggap sebagai makhluk yang hanya bisa ‘dinikmati’ oleh laki-laki. Akan tetapi dalam Akar Pule,
perempuan tampil dengan jujur bahwa ia juga menikmati dan menggemari
laki-laki. Tubuh dianggap sebagai sumber kenikmatan yang tidak harus
dikebirikan karena keharusan-keharusan dari luar. Tubuh adalah
kenikmatan itu sendiri maka untuk itu tubuh harus dikenali dengan
seksama.
Walau
pun sudah ada perempuan di sampingnya, matanya selalu berkeliaran
berusaha menyantap mataku. Aku menyukainya. Aku suka mata lelaki yang
mampu membuat perempuan terbakar. Mata seperti milik Barla. Mata yang
mampu mengupas tubuhku. Menguliti jantung dan hatiku. Membanjiri darahku
degnan jentik api. (81)
Barla
tidak pernah bicara. Hanya matanya yang selalu mengeluarkan
huruf-huruf, yang meletus pelan-pelan. Pecahannya merobek pori-pori
keringatku. Aku jadi basah. Nikmat. (hal.81-2)
Kutipan
tersebut menunjukkan bahwa Saring adalah perempuan yang suka tantangan
dalam hal menggapai kenikmatan tubuh. Untuk bisa ‘menikmati’ tubuh
Barla, Saring tidak perlu kata dari Barla. Selama Barla mampu memberinya
kenikmatan yang memuaskan pada tubuhnya, tidak masalah bahkan itu
semakin menantang, semakin membuatnya merasakan kenikmatan yang lebih
spesial setelah melampaui rintangan-rintangan. Teks cerpen ini
menunjukkan bahwa tubuh menjadi tolak ukur kenikamatan, cinta adalah
rasa, rasa harus dirasakan dan rasa nikmat adalah puncak rasa, untuk itu
rasa harus menggapai puncak yang dirasakan tubuh. Cinta harus dinikmati
bukan untuk dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang berada diluar rasa.
Selingkuh seperti yang dilakukan Saring juga bukanlah hal berdosa
baginya. Bukan juga sebagai sebuah kesalahan. Ketika cinta itu datang,
cinta tidak boleh dihambat oleh apa pun tetapi dinikmati.
Sementara itu wacana lain yang cukup kuat mendominasi sosial bahkan mencapai common sense,
adalah wacana mengenai hal yang berlawanan dengan apa yang diwacanakan
Saring. Glatik teman dekatnya menjadi subjek wacana sebaliknya. Bagi dia
hanya perempuan bodoh yang mau tidur dengan laki-laki selingkuhan dan
di luar nikah. Bagi Glatik nilai perempuan lajang ada pada selaput dara.
Jika kehilangan virginitas di luar nikah, perempuan tidak suci lagi.
Terlebih lagi, kehamilan di luar nikah bagi Glatik adalah sebuah petaka.
Kehamilan di luar nikah akan menegaskan perilaku seksual yang bebas,
dan itu melanggar norma yang berlaku di masyarakat. Jika melanggar norma
itu berarti perempuan ‘tidak baik’, berarti dikucilkan.
Tubuh laki-laki. Telanjang. Kau sudah pernah melihatnya. Bagaimana menurutmu?
...
Lelaki itu langsung ngorok setelah puas menikmati tubuhmu. Tak peduli
kepadamu. Tak mau tahu darah mengalir dari celah selangkanganmu. Kulihat
kau menangis dan berjalan terseok-seok ke kamar mandi. Lalu seminggu
jalanmu aneh.
...
Burung
karatan itu merenggutmu kau tak lagi memiliki kebanggaan seorang
perempuan. Itukah kenikmatan? Itukah yang kau cari? Apa itu yang namanya
perwujudan cinta?... kenyataannya kau menagis.
...
Kau
ini benar-benar tolol, Saring. Mana ada laki-laki yang akan mau
mengawinimu kalau tubuhmu sudah tidak suci lagi? Kenapa kau begitu
bodoh? Bagaimana kalau kau hamil? Aku tahu kau bukan perempuan murahan.
Tapi kenapa semahal itu kau bayar cintamu? Dengan mengorbankan tubuh dan
harga-dirimu sendiri? (hal.85-6)
Wacana
perempuan muncul bersamaan dengan kehadiran wacana laki-laki dalam
kalimat-kalimat Glatik. Tubuh laki-laki dan perempuan beroposisi, tapi
keduanya bertemu pada satu kutub kebutuhan ragawi yang disebut
seksualitas dan itu merupakan indikasi bahwa mereka dari spesies yang
sama; manusia. Dari kacamata Glatik lelaki lah yang menikmati hubungan
seksual, sedangkan perempuan hanya menikmati kesakitan. Tubuh perempuan
pun sekali lagi menjadi ukuran kesakitan dan sumber justifikasi apakah
dia buruk-baik. Pernyataan Glatik sebenarnya ambigu, karena itu berlaku
bagi perempuan lajang, tapi tidak bagi mereka yang menikah. Artinya di
sisi lain dia setuju bahwa laki-laki dan perempuan pada kutub tertentu
sama-sama menikmati hubungan seksual.
Perempuan berjalan aneh setelah melakukan hubungan seksual yang pertama
kali menjadi penanda bagi masyarakat untuk membaca perempuan,
membacanya dari tubuh perempuan. Artinya perempuan menjadi sorotan
publik, pada urusan seksualitas yang ditabukan sekali pun. Sesuatu yang
tabu, menjadi sangat tabu bagi perempuan. Dari tubuh perempuan,
perempuan dikotakkan ke dalam wacana baik dan buruk.
Aku
bukan perempuan tolol. Perempuan yang tak punya otak. Buktinya aku bisa
sekolah apoteker, dan sering berkencan dengan para calon dokter.
Makanya aku paham tubuhku. Aku paham obat-obatan yang bisa membuat
perempuan tak sampai bunting. (hal. 87)
Dalam
kutikan tersebut, Saring berhubungan badan dengan laki-laki di luar
nikahmenganggapnya bukan sebagai kebodohan, tapi sebaliknya, itu adalah
kecerdasan. Dia tahu bagaimana harus berhubungan badan dengan laki-laki
tanpa membawa resiko kehamilan, obat-obatan mencegah kehamilan. Untuk
mengenali tubuh dan bagaimana me-manage hal tersebut tentu
diperlukan kepandaian yang menggunakan otak untuk merekam pengetahuan.
Pengetahuan menjadi alat untuk berkuasa, termasuk atas tubuh sendiri.
Starategi juga diperlukan untuk dikolabirasikan dengan pengetahuan
sebagai rumah kekuasaan guna mencapai dan melanggengkan regime of truth[5].
Di akhir cerita Saring menegaskan bahwa ia tidak ingin kembali ke
desanya di mana penduduk di sana selalu menghubung-hubungkan kesialan di
desa tersebut dengan sejarah keluarganya dan tentu dengan dirinya
sebagai satu-satunya generasi keluarganya yang tersisa. Dia justru
merasa bebas di luar desanya dan dianggap mati oleh mereka karena stigma
‘kotor’ dengan begitu tidak lagi menjadi atribut dirinya. Saring
meninggalkan gudang norma yang memburunya dan membangun dirinya di luar
gudang tersebut sehingga dia bisa merayakan kebebasannya tanpa dihantui
norma.
Akan tetapi kebebasan yang dilakoni Saring sebenarnya disesuaikan
dengan konvensi masyarakat. Kebebasan perilaku seksualnya
mempertimbangkan keinginan masyarakat, di satu sisi dia menerobos
konvensi itu namun di sisi lain dia melanggengkan wacana perempuan
lajang tidak boleh melakukan hubungan seksual, terlebih lagi sampai
hamil yaitu dengan mengkonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan.
Wacana Cantik Tubuh Perempuan
Masih tentang wacana besar tubuh perempuan, bicara tubuh berarti juga
bicara tentang wacana cantik bagi perempuan. Tubuh harus didisiplinkan
untuk bisa menjadi cantik. Saat ini bengkel-bengkel kecantikan tersebar
di mana-mana yang semuanya mengimingi kecantikan pada tubuh. Menjadi
cantik menjadi keharusan tak tertulis dan gaya hidup perempuan di jaman
ini. Target pasar bengkel kecantikan itu pun perempuan karena kecantikan
itu diasumsikan milik perempuan. Ini mengindikasikan bahwa perempuan
tidak berdaya, perempuan tidak bisa memilih, tapi dipilih dan pemilihnya
adalah yang menentukan kriteria. Bengkel-bengkel pendisiplin tubuh pun lahir dari wacana cantik pada perempuan tersebut[6]. Dalam Akar Pule,
mitos cantik dalam wacana tubuh perempuan dijadikan sebagai strategi
untuk berkuasa dan menguasai. Saring menggunakan kecantikan tubuhnya
untuk menguasai tubuhnya dan memilih laki-laki yang dikehendakinya
sebagai ‘yang berkuasa’, ini terbaca dalam kutipan berikut.
Tentu saja dulu aku tak segemuk ini...
Aku
jadi idola di sekolah. Guru aljabarku sampai beratus-ratus lembar
mengirimiku surat cinta. Juga anak pemilik sekolah. Tapi aku tak
berminat. (hal.81)
Kau bukan prempuan buruk rupa. Banyak laki-laki yang bisa kau pilih.
(hal.82)
Swandewi memang tidak cantik. (hal.82)
Glatik menyarankan Saring untuk meninggalkan Barla yang telah memiliki kekasih. Wajah
cantik Saring dianggapnya cukup menjual sehingga mudah mendapatkan
laki-laki lain tanpa harus menyakiti perasaan perempuan lain. Dalam
kutipan lain juga diakui wajah saingan Saring, Swandewi kalah cantik
dengan Saring. Wacana cantik di sini menjadi strategi untuk menaklukkan
yang tidak cantik. Swandewi yang tidak cantik jadi tereksklusi dari
wacana cantik dan dilangkahi, dijajah yang cantik, Saring. Kecantikan
wajah yang merupakan bagian dari tubuh perempuan adalah nilai lebih yang
harus dimanfaatkan untuk menjalankan kehendak, baik itu atas tubuh mau
pun atas orang lain yang ujung-ujungnya mendapatkan kepuasan tersendiri
karena terpenuhinya kehendak.
Ideologi yang terkandung dalam wacana cantik dari Akar Pule ini
adalah bahwa perempuan membutuhkan kecerdasan dan strategi untuk
menguasai tubuhnya. Kecantikan tubuh juga merupakan hal penting sebagai
rangkaian strategi berkuasa, bukan dikuasai.
Penutup
Tubuh Cantik Perempuan sebagai Alat Berkuasa dan Menguasai; Sebuah Strategi Politik
Wacana perempuan yang hadir di dalam karya sastra yang terkesan melawan
norma yang berlaku di masyarakat ini sebenarnya mempunyai ambivalensi
ideologi yang saling bertumpang tindih, antara yang lama dan yang baru.
Karya-karya yang telah dibahas tersebut diciptakan dalam periode
partikular pada awal tahun 2000an ini sehingga referensi wacana di dalam
karya sastra tersebut sebagian ada dalam fenomena-fenomena kehidupan
riil pada saat karya-karya tersebut diciptakan dimana perkembangan
berpikir perempuan telah diperkaya wacana gaya hidup posfeminisme.
Posfeminisme memposisikan perempuan bukan lagi sebagai korban atau
objek seperti yang ditekankan Feminisme akan tetapi dalam wacana
barunya, perempuan diwacanakan sebagai makhluk yang bebas dan mampu
mengendalikan tubuhnya serta menikmati kenikmatan yang dirasakan
tubuhnya. Relasi diskursif wacana perempuan posfeminisme inilah yang
terekam di dalam tiga karya produk tahun 2000an ini.
Tubuh perempuan yang sebelumnya diwacanakan sebagai milik publik
sehingga publik mengatur, menghakimi tubuh perempuan, dan menghukum
pemilik tubuh baik secara sosial atau pun hukum negara memposisikan
perempuan sebagai ‘the other’. Dalam Ha...ha...ha..., Mutilasi, dan Akar Pule,
perempuan didudukkan dalam posisi tawar dengan membekuk mitos-mitos
perempuan tersebut kedalam ambivalensi melalui penerobosan biner-biner
yang terbentuk secara diskursif. Norma sebagai ‘polisi’ tubuh juga
dirasionalkan sebagai sebuah formasi diskursif yang ‘boleh’ menjadi
pilihan, bukan ‘harus’.
Di sisi lain, tubuh Perempuan dalam karya-karya tersebut ternyata juga
tidak bisa sepenuhnya lepas dari kendali wacana-wacana mapan -seperti
perempuan harus cantik- sehingga pendisiplinan tubuh perempuan menjadi kebutuhan ‘alami’, sebuah common sense.
Kapitalisme yang masih dipimpin patriarki berperan besar dalam
reproduksi wacana perempuan tersebut melaui berbagai media dan
penyediaan fasilitas (modal dalam istilah Anthony Gidden) namun
kemanungggalan makna telah berakhir, wacana tandingan bermunculan tanpa
bisa dikendalikan dan masa perayaan pluralitas memperkaya wacana besar
manusia. Sastra sebagai Ideologies State of Apparatus menjadi
ajang ketumpangtindihan ideologi dan wacana tubuh perempuan di dalamnya
yang telah didisiplinkan dan tidak bisa mengelak ini pun dipakai sebagai
strategi oleh insan kreatif sastra untuk melakukan penawaran-penawaran
pada common sense, di sinilah sastra berpolitik (meninjam istilah Faruk).
Ha...ha...ha... dan Mutilasi berputar-putar di lingkup norma, antara wacana alternatif dan wacana normatif saling tarik-ulur. Sementara Akar Pule walau pun juga melanggengkan wacana mapan yang ada tetapi pilihannya lebih tegas terhadap norma. Tulisan seperti Akar Pule ini lah yang lebih efektif menanamkan tawaran ideologinya pada masyarakat pembacanya.
Akhirnya, posisi tawar yang ditawarkan karya sastra perlu dirayakan,
dinegosiasikan dengan normalisasi pada wacana mapan dalam masyarakat
sehingga nantinya tidak lagi kembali terjebak dalam kungkungan norma
yang diskursif. Dengan demikian penghargaan terhadap perempuan tidak
hanya dalam biner normatif, tidak sekedar berpusat pada tampilan tubuh
dan atribut seksualitasnya. Berdasarkan urian dalam tulisan ini maka
dapat disimpulkan bahwa wacana yang mengendalikan subjek tak lepas dari
campur tangan kekuasaan, seperti yang digaungkan Foucault, kebenaran pun
sekedar opini, bentukan yang sering kali harus disikapi kritis dengan
pertanyan: kebenaran menurut siapa?
* Hat Pujiati adalah staf pengajar di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Jember. Email Chee_tah2001@yahoo.com
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 2007.Filsafat sebagai Sebuah Senjata Revolusi: pengantar Fredric Jameson
(terjemahan dari Lenin and Philosophi, and other Essays/Louis
Althusser: introduction by Fredic Jameson.1971).Yogyakarta: Resist Book
Ayu, Djenar Maesa.2006.Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Utami, Ayu.2005.Si Parasit Lajang.Jakarta:Gagas Media.
Barthes, Roland.1972. Mythologies. New York: Hill and Wang.
Faruk.2001.Beyond Imajination: Sastra Mutakhir dan Ideologi.Yogjakarta: Gama Media.
-------.2004. Novelis Wanita dan Budaya Populer dalam Jurnal Prosa; Yang Jelita yang Cerita. Jakarta: PT. Metafor Intermedia Indonesia.
-------.2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset
-------.2008. Seks dan Politik dalam Sastra Indonesia dalam Jurnal Semiotika Vol. 9 (2) Juli-Desember 2008.Jember: Universitas Jember.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester.
----------.2007. Order of Thing (terjemahan dari The Order of Things, An Archeology of Human Science disunting oleh B. Priambodo). Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Hadi, Noval dalam http://bahas.multiply.com/journal/item/33 diunduh tanggal 22 Juni 2008, pukul 17.19 WIB.
Rusmini, Oka.2004. Akar Pule dalam Jurnal Prosa; Yang Jelita yang Cerita. Jakarta: PT. Metafor Intermedia Indonesia.
Setiawan,
Ikwan.2008. “Perempuan dalam Layar Bergerak: Representasi Perempuan dan
Pertarungan Ideologis dalam Film Indonesia Era 200an (Analisis
Semiotika Mitos Barthesian dan Wacana Foucaultian)”. Yogyakarta: Thesis S2 Program Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada.
Swingwood, Alan.1986.The sociological Poetics and Aesthetic Theory.Hong Kong: The Mcmillan Press LTD
Yusuf, Nova Riyanti. 2004. Mutilasi dalam Jurnal Prosa; Yang Jelita yang Cerita. Jakarta: PT. Metafor Intermedia Indonesia.
[1] Mitos di sini adalah konsep Roalnd Barthes yaitu sistem komunikasi, sebuah pesan tetapi bukan sebuah ide,, bukan konsep, bukan objek. Mitos
merupakan sebuah bentuk yang tidak dapat didekati dari segi
substansinya. Mitos adalah sejenis tuturan dan segala sesuatu dapat
menjadi mitos bila diangkut oleh suatu wacana, bila ia dikatakan,
dituturkan, digunakan secara sosial. Ini berarti bahwa bahwa mitos tidak
ditentukan oleh objeknya, oleh pesannya, melainkan oleh cara pesan itu
dituturkan Roland Barthes.1983. Mythologies. New York: Hill and Wang. Hal.(109).
[2] Ideologi menurut Althusser
adalah “sebuah gambaran tentang hubungan imajiner antara
individu-individu dengan kondisi-kondisi eksistensi mereka yang riil
(Althusser, 2007: 191).” Gambaran tersebut adalah hubungan mereka
terhadap kondisi-kondisi mereka, sifat ideologi yang imajiner merupakan
dasar dari distorsi imajiner yang bisa dilihat dalam ideologi
(Althusser, 2007: 194). Reifikasi ideologi (yang Marxis seperti halnya
ideologi Althusserian ini) menjadi lebih efektif.
[3]
istilah ini digunakan mengingat wacana selalu mengandung ragam ideologi
dan diamini sosial sebagai sebuah consensus (Setiawan, 2008, 45).
[4] Seperti yang dikatakan Michel Foucault dalam Power/Knowledge. Brighton: Harvester.
[5] Regime of truth[5]
tercipta ketika wacana-wacana dalam formasi dan praktik diskursifnya
telah mendapatkan pengakuan bersama di masyarakat setelah negosiasi yang
panjang membentuk pengetahuan (Foucault,1980:131). Bahwa sesuatu itu
benar atau salah disadari sebagai sebuah kebenaran oleh sekelompok
masyarakat sehingga didukung sebagai sebuah kewajiban bagi mereka yang
dikuasai, ini menjadi alat kekuasaan bagi penguasa.
No comments:
Post a Comment