Oleh Heart Pujiati, dosen Universitas Jember dan Pecinta Sastra
**tulisan ini telah dipublikasikan di Bali Post, Minggu 27 November 2011
APAKAH Anda punya akun facebook
atau twitter? Atau akun pada jejaring sosial lain yang juga berisi
ungkapan hati dan pikiran teman-teman kita dalam satu jaringan
tersebut? Saya sering memperhatikan unggahan teman-teman dalam jejaring
tersebut, kadang saya juga iseng melihat-lihat foto yang telah mereka
unggah di sana. Dari kegiatan menjadi hantu cyber yang menyelinap sana
sini di dunia maya tersebut saya mencatat dua hal.
#selanjutnya silahkan klik judul tulisan ini atau di sini
Pertama, kesadaran pengguna akun sering tumpang tindih dalam
penggarisbawahan antara ruang publik dan pribadi. Mereka mencurahkah isi
hatinya seolah pada tuhan atau sahabat terdekatnya, semisal
permasalahan seputar masalah pasangan yang baru saja bertengkar,
berkencan, bahkan sehabis dicium pacar. Teman-temannya yang terhubung
dan kebetulan membuka ''home'' akunnya dapat membaca curhat tersebut,
baik itu teman akrab, kolega, atasan, guru, atau keluarganya. Kadang
makian atau teriakan pada dunia seolah seluruh dunia mendengar teriakan
kemarahannya juga beredar di jejaring tersebut, sedangkan pengaksesnya
hanyalah teman-teman yang terhubung dan membuka jejaring tersebut.
Mengakses dunia maya dari ruang-ruang pribadi kita kerab menjebak kita
dalam kesadaran ruang, seolah itu ruang pribadi padahal publik, seolah
publik tetapi pribadi. Kerancuan kesadaran ruang tersebut tidak terbatas
pada usia muda saja yang masih sering disebut kaum labil, orang-orang
dewasa dengan tingkat pendidikan tinggi juga melakukan hal yang sama.
Artinya kerancuan tersebut tidak terbatas pada usia tertentu dan tingkat
pendidikan tertentu.
Kedua, mimpi dan realitas sebagai dua hal yang terpisah namun bisa
saling mengakses atau bahkan simultan dalam kesadaran manusia sekarang.
Selain masalah kesadaran ruang yang tumpang tindih, antara bermimpi dan
mengalami kenyataan ternyata juga kehilangan batas tegasnya. Peristiwa
nyata menjadi seperti mimpi, seperti ilusi, dan ilusi seperti
realitas. Gugurnya Simoncelli di sirkuit saat balapan merupakan sebuah
tragedi dalam realitas, tetapi ketragisan itu menjadi komedi saat
diparodikan foto topeng monyet berhelm dengan motornya bergelimpang di
rumput yang muncul di facebook pada hari yang sama, sesaat setelah
pemberitaan kecelakaan maut Simoncelli. Disusul komentar-komentar yang
menegaskan parodi peristiwa tersebut dan menjadikannya sebagai dagelan.
Atau saat beberapa teman mengunggah berita kematian Khadafi dengan
menautkan situs pemberitaannya, komentar-komentar terhadapnya juga
menunjukkan kesadaran mereka yang rancu akan peristiwa dalam realitas
dan ilusi, seolah kisah-kisah itu bagian dari film atau novel yang
dikomentari tanpa emosi karena ''seolah'' fiktif yang hanya terjadi di
negeri dongeng. Sementara tragedi sebagai sebuah peristiwa yang
mengenaskan dan menimbulkan duka menjadi lelucon atau sekadar peristiwa
yang kehilangan ruh ke-nyata-annya, emosi kemanusiaannya tereduksi.
Dengan demikian realitas menjelma ilusi.
Ilusi
Pengalaman ilusi yang dibawa ke dalam realitas dan kita alami baru-baru
ini adalah perwujudan Superman di Philipina. Seorang pemuda mengoperasi
wajahnya mirip tokoh dalam komik yang difilmkan tersebut. Dia juga
membuat kulitnya seputih tokoh khayalan tersebut dan mengkoleksi
berbagai pernak-pernik yang berhubungan dengan sang manusia super,
termasuk mengenakan kostum ala Superman.
Teks posmodernis juga demikian, menghadirkan kerancuan kesadaran. Bila
facebook, twitter atau berita-beritanya di cyber menunjukkan kerancuan
antara yang nyata dan khayal, karya sastra posmodern memodelkan
kerancuan yang dialami manusia itu dalam teknik penceritaan. Untuk novel
Indonesia, sebut saja ''Bilangan Fu'' karya Ayu Utami, dia
memfiktifkan dirinya sebagai pengarang di dalam karya dengan
membicarakan Ayu Utami sebagai pengarang di dunia nyata, dalam cerita
seolah Ayu bukanlah dirinya sang pengarang saat dinarasikan dalam
cerita. Penceritaan demikian menggoyahkan kesadaran pembaca yang sedang
menyelam dalam dunia fiksi tiba-tiba ditarik oleh teks yang dibacanya
ke dunia nyata yang dialami. Atau novela ''Enchanted'' yang merupakan
adaptasi dari film berjudul sama yang diproduksi Disney, permainan
antara yang nyata dan yang khayal sejajar, kadang bertumpuk-tumpuk,
kadang menyisip, atau misatribusi; membentuk label sebaliknya pada yang
biasanya. Melalui genre yang ambigu, antara dongeng dan novel,
Enchanted menghadirkan nyata dan khayal tanpa pemisahan yang tegas.
Cerita-cerita dongeng yang menjadi interteksnya membangun ruang fantasi
tetapi kisah kehidupan modern yang dialami tokoh dari negeri dongeng
di negeri modern menghadirkan ruang novela dengan realismenya, ini
menjadikan Enchanted dongeng yang menovel atau juga novel yang
mendongeng.
Demikianlah, karya sastra sebagai cerminan kehidupan, sebagai model atau
maket dari realitas, bukan hanya masalah ceritanya yang mirip dengan
cerita yang dialami orang di luar sana. Bentuk dan strategi penceritaan
dalam karya sastralah yang bercerita tentang peradaban manusia melalui
jejak pemikirannya. Aliran romantis, realis dadais, atau pun
posmodernis memiliki strategi-srategi penceritaan yang saling
membedakan. Kali ini karya posmodernis yang saya contohkan menjadi
model dari masyarakat yang ada dalam realitas scizhophrenic (Jameson),
yaitu keterputusan penanda-penanda untuk menghubungkan ke suatu urutan
yang koheren. Kenyataan yang pastiche, lepas dari kesejarahannya dan
menjadi ruang campur aduk yang banal.
No comments:
Post a Comment