Oleh Hat Pujiati
Apakah makanan kesukaan Anda? Anda suka makan memakai
tangan tanpa sendok atau garpu atau justru kesulitan tanpa perlengkapan makan
tersebut? Makanan apa yang tidak bisa Anda tinggalkan dalam keseharian Anda?
Makanan apa yang pantang Anda makan? Cobalah membuat daftar jawabannya sendiri
kemudian baca kembali. Buat juga daftar jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut untuk orang-orang yang Anda kenal baik di sisinya. Dari daftar
tersebut, Anda akan dapat mengetahui siapa diri Anda dan orang-orang di sekitar
Anda. Premis you are what you eat
mungkin sudah akrab dengan Anda sebelumnya. Sehingga ketika menghubungkan apa
yang kita makan dengan siapa kita bukan lagi hal baru.
Teman kecil saya dulu mengutip dari kitab (atau apa saya
tidak begitu ingat hanya yang jelas itu berkaitan dengan ajaran yang kami anut)
perihal you are what you eat tersebut.
Dia menerjemahkan bila kita makan ayam terlalu banyak, maka sifat-sifat ayam
akan tercermin dalam diri kita. Saya jadi ngeri ketika itu dan menolak makan
ayam beberapa minggu di rumah. Ibu saya dulu juga sering menakut-nakuti saya
yang suka meneguk kopi bapak tanpa permisi dengan ‘akan berkulit hitam seperti
kopi bila suka minum kopi’. Saya juga berhenti minum kopi hingga bertahun-tahun
kemudian. Sekarang saya bisa tersenyum mengingat betapa inlander (kata penjajah) pikiran yang hinggap pada saya ketika itu.
Ketika dewasa, saya baru tahu kalau you are what you eat bisa tidak dimaknai seperti kisah-kisah masa
kecil saya tersebut. Misal saja kita jawab pertanyaan-pertanyaan di awal
tulisan ini dengan jawaban acak sebagai berikut: suka makan puding, selalu
makan dengan perlengkapan makan komplit, tidak bisa meninggalkan roti dalam
sehari, pantang makan jengkol dan ikan asin. Dengan jawaban demikian maka
status sosial Anda terlukiskan dalam rentetan jawaban tersebut, jenis makanan
yang diikuti dengan cara makan (manner)
tersebut otomatis mengklasifikasikan diri Anda sebagai teks ke dalam wacana
kelas menengah ke atas. Kemungkinan bukan orang Jawa juga, mengingat orang Jawa
makan nasi, bila roti yang tidak dapat ditinggalkan dalam sehari maka mungkin
Anda bukan orang Jawa, atau orang yang pernah lama tinggal di luar negeri yang
tidak makan nasi melainkan roti. Puding juga bukan makanan biasa bagi
kebanyakan orang Indonesia. Dan tentu saja untuk menuju pada ramalan yang lebih
me-nyata dibutuhkan keterangan-keterangan tambahan dalam rangkaian jejaring
informasi.
Karya sastra sebagai teks juga merupakan rangkaian
informasi. Dikatakan teks karena kata tersebut mengacu pada “textile” atau juga bisa diartikan
sebagai “fabric” kata Mario Klaler
dalam bukunya An Introduction to Literary
Studies. Kata dan kalimat-kalimat yang ada dalam karya sastra merupakan
rangakaian makna yang saling terkait, seperti benang yang terjalin satu sama
lain membentuk kain. Dengan demikan informasi mengenai apa-apa yang ada
didalamnya turut membangun makna dan memiliki peran yang akan menguak pesan dan
makna dari karya sastra.
Sebut saja Jane
Eyre, sebuah novel oleh Charlotte Bronte berlatar abad 16. Jane Eyre adalah
seorang gadis yatim piatu yang tinggal dengan bibinya yang ketika cerita
dimulai, sang bibi baru saja menjanda. Adik laki-laki ibu Jane memungut Jane
dan membuat sang bibi berjanji merawatnya walau kemudian dia mengingkari
janjinya. Dia mengirim Jane ke sekolah asrama yang didanai yayasan amal hingga
kemudian Jane menjadi guru privat di sebuah keluarga dan akhirnya jatuh cinta
dengan sang majikan. Setelah melalui rintangan, akhirnya mereka menikah. Tetapi
itu bukan masalah utama yang ingin saya bahas dalam tulisan ini, perkara cinta
berbau Cinderella complex demikian saat ini juga masih lestari di bebagai media
di Indonesia, baik sinetron atau pun film layar lebar. Saya tertarik berbicara
makanan makanan di dalam Jane Eyre
yang lestari sepanjang cerita, beberapa jenis makanan yang digambarkan lengkap
dengan cara memasaknya. Dengan melihat tata cara mereka menikmati hidangan itu,
banyak yang bisa digarap dalam ranah sastra. Misal meminum teh, Jane tidak akan
dengan semaunya datang pada sang master dan duduk di satu meja untuk menikmati
teh di sore hari. Jane harus menunggu undangan yang disampaikan melalui
pembantu di rumah tersebut. Artinya Jane berbeda status dengan sang master, dan
level status sosial Jane sebagai guru privat di rumah tersebut berarti di bawah
status sang master. Jane tidak ubahnya seperti orang upahan lainnya yang tidak
dimudahkan secara budaya untuk bisa duduk bersama sang master minum teh atau
duduk di satu ruangan dengan orang-orang yang berstatus sosial lebih tinggi
untuk menikmati hidangan tanpa diundang.
Dari perkara makanan yang ditampilkan dalam karya
sastra, reka ulang muasal kondisi masyarakat seperti apa cerita tersebut bisa
digarap dalam perspektif Marxist misalnya. Berbicara kelas, status sosial,
mereferensikan karya sastra pada apa yang ada di luar sastra cenderung ke arah
pemikiran Marxis. Perspektif atau paradigma atau kerangka pikir atau pendekatan
untuk membingkai sebuah analisis terhadap karya punya banyak pilihan semisal
yang dalam sepuluh tahun terakhir populer di lingkup akademis seperti
poskolonial, feminis serta posfeminis, posmodern, psikoanalisis Lacan, dan
kajian kultural.
Dari seputar makanan juga bisa dikaji melalui paradigma
berbeda-beda. Semisal masih perkara makanan, dari tesis Think where does your food come from? yang dibahas Oprah Winfrey
dalam show-nya (sekitar setahun lalu ditayangkan sebuah televisi swasta),
kajian sastra dalam bingkai pikir marxis menemukan ruang kajian dalam hal ini.
Berangkat dari kepesatan pertumbuhan penduduk, maka butuh makanan banyak dan
cepat untuk memberi makan penduduk yang membludak ini. Alasan kapitalis pun
sampai pada pengadaan makanan, penyimpanan makanan dengan teknologi terus
ditingkatkan. Panen lebih cepat dari pertumbuhan normal ternak atau tanaman
menjadi krusial untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan pangan. Sebut saja
ayam horn yang biasanya lebih dari tiga bulan baru bisa dipanen, dengan suntik
hormon, pemberian jenis makanan yang membantu pertumbuhan ayam lebih cepat
membuatnya bisa dipanen dalam 45an hari. Keuntungan yang didapat tentu terjadi
pada pemangkasan waktu yang membuat perputaran uang lebih cepat, namun
dampaknya ini juga memangkas waktu hidup konsumen karena efek-efek samping dari
hormon-hormon percepatan pertumbuhan ternak yang disuntikkan dan ternak
tersebut juga dikonsumsi manusia kemudian. Bayangkan apa yang terjadi di dalam
tubuh manusia yang telah mengkonsumsi ternak tersebut.
Kemudian juga ketika kebutuhan pokok teratasi berpindah
lah dari nilai guna menjadi nilai gaya. Kapital telah berputar, modal harus
kembali membawa hasil. Dalam rangka menghasilkan uang yang terus bertambah
dalam perputarannya, masyarakat dirayu agar lebih konsumtif, semua dibeli, tapi
tidak dimakan, tidak dipakai melainkan jadi barang-barang penanda kelas. Sebut
saja mobil merek dunia yang jadi pajangan di rumah, sayang dipakai
sering-sering karena perawatannya yang sangat mahal. Lantas apa hubungan semua
itu dengan kajian sastra? Teori-teori dari bidang berbeda tidak bisa digunakan
secara mentah-mentah dalam kajian sastra. Sastra ada di bawah kanopi bidang
Humaniora yang mengkaji perihal
interpretasi teks, soal tafsir, tetapi bukan tafsir tanpa rel. Teori dari
bidang Sosial dan Pengetahuan Alam
memang bisa dipinjam, tetapi sekali lagi harus disesuaikan dengan kebutuhan
sastra dan dikembalikan pada hakekat sastra.
Sastra adalah produk imajinatif manusia dengan
menggunakan bahasa dengan pemodelan level kedua dengan unsur estetik yang
dominan. Maka apa yang ada di luar karya yang diasumsikan sebagai peniruan semesta
(mimetik) tentu keduanya tidak sama. Kalau kita berdiri di depan cermin saja,
tangan kiri kita mejadi kanan. Begitu pula sastra. Jika pun dia dianggap
sebagai miniatur atau refleksi society,
tetapi sastra diciptakan melaui abstraksi-abstraksi maka teori sosial juga
tidak bisa ditaruh begitu saja. Misal dari uraian perkara asal-usul makanan
tadi, ada pengarang yang menghubungkan antara lingkungan sosial dengan karya,
dan dalam karya terpapar ideologinya, karya merupakan perspektifnya yang juga
mewakili sebagian kelompok yang sama dalam lingkungan sosialnya.
Sebut saja
Chicklit-chicklit yang saat ini mendominasi deretan novel di toko-toko buku
ber-AC. Cerita yang ditawarkan seputar kehidupan metropolis, kehidupan urban
yang banjir barang-barang bermerek serta perjalanan-perjalanan ke luar negeri
atau kota-kota besar dengan kehidupan suka-suka. Para lajang dengan karirnya
itu juga kebanyakan digambarkan makan dan minum ‘makanan dan minuman lintas
budaya’. Untuk bersosialisasi dengan komunitasnya mereka meminum rum, wine,
coktail serta makan makanan sejenis burger atau yang berusaha hidup ‘sehat’
memakan makanan tidak berbumbu, tidak Jawa, tidak Madura, tidak Batak, tidak
Cina. Ruang-ruang heterotopis demikian terbangun dalam karya, menggugah
kesadaran pembaca yang turut mengkonstruk makna dan mengangan ulang realitas.
Kerangka pikir poskolonial misalnya bisa mewadahi kritik sastra yang berpijak
pada hibriditas makanan yang ditampilkan karya. Bila fokus pada pilihan menu
sehubungan dengan gendernya, maka itu bisa menjadi kajian menggunakan
perspektif gender. Sedangkan bila fokus dengan pilihan-pilihan makanan dan tata
cara makan sehubungan posisi keperempuanan, perspektif feminis bisa
membingkainya.
Karya populer kerap dipandang sebelah mata padahal dia
juga merupakan bagian dari rangkaian dalam sejarah kesusastraan, di dalamnya
merekam peradaban manusia pada suatu waktu. Kritik yang bisa digarap pada karya
sejenis ini bukan hanya mencari unsur konsumerisme sebagaimana dijelaskan
teori-teori sosiologi dari para karakter tetapi relasi konsumerisme dengan
kecenderungan masyarakat untuk diinklusi ke dalam tingkatan masyarakat maju.
Bahasa, selera (taste), dan ideologi menjadi perangkat untuk mengakses level
kemasyarakatan yang diinginkan. Sastra dengan media bahasa merupakan sebuah
praktik kebahasaan yang menghubungkan dunia nyata dengan fiksi melalui wacana
yang diusungnya. Selera dan ideologi diselipkan dalam representasi sastra
sebagai cerminan masyarakat.dengan demikian, mencapai dekonstruksi karya hingga
pada tiga perangkat tersebut merupakan kepentingan analisis sastra untuk
mendudukkannya sebagai bagian dari kesejarahan peradaban manusia. Rekonstruksi
terhadap yang telah didekonstruksi menjadi solusi sebuah kritik sastra. Jadi
pada akhirnya kritik sastra perlu memberikan ruang-ruang penawaran atas apa
yang telah didekonstruksi.
Kembali pada Jane
Eyre, menu makanan yang dipilih atau disajikan juga merepresentasikan
kondisi psikologis karakter di dalam novel tersebut. Masih pada peristiwa minum
teh misalnya, harapan untuk bisa duduk bersama sang master untuk menikmati teh
bersama mengusik kondisi emosi Jane. Tekanan-tekanan psikologis Jane juga
mempengaruhi pola makannya, ketika dia sering dilupakan sebagai orang yang
tidak punya status penting di rumah yang ditinggalinya, dia sering terlupakan
dan tidak diundang dalam acara perjamuan makan. Jane pun menyelinap ke dapur
untuk mengambil makan sekadarnya, tubuhnya kurus sebagai indikator dia mengasup
sedikit makanan dan juga tidak teratur (Heremesh; http://public.wsu.edu/~delahoyd/eyre.eating.html
diunduh 6 Mei 2012, pukul 20.00 WIB) yang ditengarai Heremesh sebagai eating disorder. Penelitian Heremes
menemukan kesamaan antara Jane dan Charlotte Bronte. Bronte meninggal karena
kelainan pada pola makannya. Karakter Bronte yang cenderung untuk memegang
kendali terepresentasi dalam sosok Jane Eyre, demikian penemuan penelitian
tersebut dengan penjelas dan sebagainya dan sebagainya... Dengan perspektif
ini, karakter dalam novel (fictitious
character), biografi pengarang, dan kreatif proses kreatifnya menjadi data
yang dintegrasikan untuk menemukan keterhubungan ketiganya (seperti yang
diungkapkan Wilbur Scott). Jadi bukan mem-pasien-kan
(istilah Ajeng Herlianti dalam sebuah diskusi) karakter dalam novel dengan
menggunakan teori psikologis, justru sasaran dari perspektif ini adalah
pengarang. Akan tetapi bukan pengarang sebagai seorang personal semata,
melainkan dalam jejaring hubungan-hubungan sosialnya. Dengan demikian kritik
sastra psikologis memperlakukan karya sebagai text yang retoris dimana cara kerjanya analog dengan mekanisme jiwa
(psyche) dan kritik jenis ini terkait
dengan teori yang memperhitungkan hubungan pengarang dengan teks serta antara
pembaca dan teks. Lebih lanjut hubungan-hubungan tersebut perlu dilihat dalam
permasalahan yang lebih umum dalam peletakan subjek dalam konteks sosial
(Wright,Elizabeth dalam Psychoanalitic
Criticism-A Reappraisal:1998; 4-5).
Yang menjadi catatan di sini adalah adanya dialektika
antara karya dan teori yang saling mengisi ( seperti membentuk
tesis-antitesis-sintesis baru). Jadi buta lah namanya jika begitu rigid mendewakan teori mapan lintas
bidang ke dalam sastra, atau sebaliknya. Membabi-buta menikahi karya sastra sebagai objek materi
dalam kajian sastra sehingga mengabaikan teori maka yang terjadi itu tidak
lebih dari ramalan intuitif yang tidak bisa dipahami, dirasionalisasi orang
lain.
No comments:
Post a Comment