Saturday, October 8, 2016

Makan(an) dan Fiksi


 
Oleh Hat Pujiati
Apakah makanan kesukaan Anda? Anda suka makan memakai tangan tanpa sendok atau garpu atau justru kesulitan tanpa perlengkapan makan tersebut? Makanan apa yang tidak bisa Anda tinggalkan dalam keseharian Anda? Makanan apa yang pantang Anda makan? Cobalah membuat daftar jawabannya sendiri kemudian baca kembali. Buat juga daftar jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk orang-orang yang Anda kenal baik di sisinya. Dari daftar tersebut, Anda akan dapat mengetahui siapa diri Anda dan orang-orang di sekitar Anda. Premis you are what you eat mungkin sudah akrab dengan Anda sebelumnya. Sehingga ketika menghubungkan apa yang kita makan dengan siapa kita bukan lagi hal baru.

Teman kecil saya dulu mengutip dari kitab (atau apa saya tidak begitu ingat hanya yang jelas itu berkaitan dengan ajaran yang kami anut) perihal you are what you eat tersebut. Dia menerjemahkan bila kita makan ayam terlalu banyak, maka sifat-sifat ayam akan tercermin dalam diri kita. Saya jadi ngeri ketika itu dan menolak makan ayam beberapa minggu di rumah. Ibu saya dulu juga sering menakut-nakuti saya yang suka meneguk kopi bapak tanpa permisi dengan ‘akan berkulit hitam seperti kopi bila suka minum kopi’. Saya juga berhenti minum kopi hingga bertahun-tahun kemudian. Sekarang saya bisa tersenyum mengingat betapa inlander (kata penjajah) pikiran yang hinggap pada saya ketika itu.

Ketika dewasa, saya baru tahu kalau you are what you eat bisa tidak dimaknai seperti kisah-kisah masa kecil saya tersebut. Misal saja kita jawab pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini dengan jawaban acak sebagai berikut: suka makan puding, selalu makan dengan perlengkapan makan komplit, tidak bisa meninggalkan roti dalam sehari, pantang makan jengkol dan ikan asin. Dengan jawaban demikian maka status sosial Anda terlukiskan dalam rentetan jawaban tersebut, jenis makanan yang diikuti dengan cara makan (manner) tersebut otomatis mengklasifikasikan diri Anda sebagai teks ke dalam wacana kelas menengah ke atas. Kemungkinan bukan orang Jawa juga, mengingat orang Jawa makan nasi, bila roti yang tidak dapat ditinggalkan dalam sehari maka mungkin Anda bukan orang Jawa, atau orang yang pernah lama tinggal di luar negeri yang tidak makan nasi melainkan roti. Puding juga bukan makanan biasa bagi kebanyakan orang Indonesia. Dan tentu saja untuk menuju pada ramalan yang lebih me-nyata dibutuhkan keterangan-keterangan tambahan dalam rangkaian jejaring informasi.

Karya sastra sebagai teks juga merupakan rangkaian informasi. Dikatakan teks karena kata tersebut mengacu pada “textile” atau juga bisa diartikan sebagai “fabric” kata Mario Klaler dalam bukunya An Introduction to Literary Studies. Kata dan kalimat-kalimat yang ada dalam karya sastra merupakan rangakaian makna yang saling terkait, seperti benang yang terjalin satu sama lain membentuk kain. Dengan demikan informasi mengenai apa-apa yang ada didalamnya turut membangun makna dan memiliki peran yang akan menguak pesan dan makna dari karya sastra.

Sebut saja Jane Eyre, sebuah novel oleh Charlotte Bronte berlatar abad 16. Jane Eyre adalah seorang gadis yatim piatu yang tinggal dengan bibinya yang ketika cerita dimulai, sang bibi baru saja menjanda. Adik laki-laki ibu Jane memungut Jane dan membuat sang bibi berjanji merawatnya walau kemudian dia mengingkari janjinya. Dia mengirim Jane ke sekolah asrama yang didanai yayasan amal hingga kemudian Jane menjadi guru privat di sebuah keluarga dan akhirnya jatuh cinta dengan sang majikan. Setelah melalui rintangan, akhirnya mereka menikah. Tetapi itu bukan masalah utama yang ingin saya bahas dalam tulisan ini, perkara cinta berbau Cinderella complex demikian saat ini juga masih lestari di bebagai media di Indonesia, baik sinetron atau pun film layar lebar. Saya tertarik berbicara makanan makanan di dalam Jane Eyre yang lestari sepanjang cerita, beberapa jenis makanan yang digambarkan lengkap dengan cara memasaknya. Dengan melihat tata cara mereka menikmati hidangan itu, banyak yang bisa digarap dalam ranah sastra. Misal meminum teh, Jane tidak akan dengan semaunya datang pada sang master dan duduk di satu meja untuk menikmati teh di sore hari. Jane harus menunggu undangan yang disampaikan melalui pembantu di rumah tersebut. Artinya Jane berbeda status dengan sang master, dan level status sosial Jane sebagai guru privat di rumah tersebut berarti di bawah status sang master. Jane tidak ubahnya seperti orang upahan lainnya yang tidak dimudahkan secara budaya untuk bisa duduk bersama sang master minum teh atau duduk di satu ruangan dengan orang-orang yang berstatus sosial lebih tinggi untuk menikmati hidangan tanpa diundang.

Dari perkara makanan yang ditampilkan dalam karya sastra, reka ulang muasal kondisi masyarakat seperti apa cerita tersebut bisa digarap dalam perspektif Marxist misalnya. Berbicara kelas, status sosial, mereferensikan karya sastra pada apa yang ada di luar sastra cenderung ke arah pemikiran Marxis. Perspektif atau paradigma atau kerangka pikir atau pendekatan untuk membingkai sebuah analisis terhadap karya punya banyak pilihan semisal yang dalam sepuluh tahun terakhir populer di lingkup akademis seperti poskolonial, feminis serta posfeminis, posmodern, psikoanalisis Lacan, dan kajian kultural.

Dari seputar makanan juga bisa dikaji melalui paradigma berbeda-beda. Semisal masih perkara makanan, dari tesis Think where does your food come from? yang dibahas Oprah Winfrey dalam show-nya (sekitar setahun lalu ditayangkan sebuah televisi swasta), kajian sastra dalam bingkai pikir marxis menemukan ruang kajian dalam hal ini. Berangkat dari kepesatan pertumbuhan penduduk, maka butuh makanan banyak dan cepat untuk memberi makan penduduk yang membludak ini. Alasan kapitalis pun sampai pada pengadaan makanan, penyimpanan makanan dengan teknologi terus ditingkatkan. Panen lebih cepat dari pertumbuhan normal ternak atau tanaman menjadi krusial untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan pangan. Sebut saja ayam horn yang biasanya lebih dari tiga bulan baru bisa dipanen, dengan suntik hormon, pemberian jenis makanan yang membantu pertumbuhan ayam lebih cepat membuatnya bisa dipanen dalam 45an hari. Keuntungan yang didapat tentu terjadi pada pemangkasan waktu yang membuat perputaran uang lebih cepat, namun dampaknya ini juga memangkas waktu hidup konsumen karena efek-efek samping dari hormon-hormon percepatan pertumbuhan ternak yang disuntikkan dan ternak tersebut juga dikonsumsi manusia kemudian. Bayangkan apa yang terjadi di dalam tubuh manusia yang telah mengkonsumsi ternak tersebut.

Kemudian juga ketika kebutuhan pokok teratasi berpindah lah dari nilai guna menjadi nilai gaya. Kapital telah berputar, modal harus kembali membawa hasil. Dalam rangka menghasilkan uang yang terus bertambah dalam perputarannya, masyarakat dirayu agar lebih konsumtif, semua dibeli, tapi tidak dimakan, tidak dipakai melainkan jadi barang-barang penanda kelas. Sebut saja mobil merek dunia yang jadi pajangan di rumah, sayang dipakai sering-sering karena perawatannya yang sangat mahal. Lantas apa hubungan semua itu dengan kajian sastra? Teori-teori dari bidang berbeda tidak bisa digunakan secara mentah-mentah dalam kajian sastra. Sastra ada di bawah kanopi bidang Humaniora yang mengkaji  perihal interpretasi teks, soal tafsir, tetapi bukan tafsir tanpa rel. Teori dari bidang Sosial dan  Pengetahuan Alam memang bisa dipinjam, tetapi sekali lagi harus disesuaikan dengan kebutuhan sastra dan dikembalikan pada hakekat sastra.

Sastra adalah produk imajinatif manusia dengan menggunakan bahasa dengan pemodelan level kedua dengan unsur estetik yang dominan. Maka apa yang ada di luar karya yang diasumsikan sebagai peniruan semesta (mimetik) tentu keduanya tidak sama. Kalau kita berdiri di depan cermin saja, tangan kiri kita mejadi kanan. Begitu pula sastra. Jika pun dia dianggap sebagai miniatur atau refleksi society, tetapi sastra diciptakan melaui abstraksi-abstraksi maka teori sosial juga tidak bisa ditaruh begitu saja. Misal dari uraian perkara asal-usul makanan tadi, ada pengarang yang menghubungkan antara lingkungan sosial dengan karya, dan dalam karya terpapar ideologinya, karya merupakan perspektifnya yang juga mewakili sebagian kelompok yang sama dalam lingkungan sosialnya.

Sebut  saja Chicklit-chicklit yang saat ini mendominasi deretan novel di toko-toko buku ber-AC. Cerita yang ditawarkan seputar kehidupan metropolis, kehidupan urban yang banjir barang-barang bermerek serta perjalanan-perjalanan ke luar negeri atau kota-kota besar dengan kehidupan suka-suka. Para lajang dengan karirnya itu juga kebanyakan digambarkan makan dan minum ‘makanan dan minuman lintas budaya’. Untuk bersosialisasi dengan komunitasnya mereka meminum rum, wine, coktail serta makan makanan sejenis burger atau yang berusaha hidup ‘sehat’ memakan makanan tidak berbumbu, tidak Jawa, tidak Madura, tidak Batak, tidak Cina. Ruang-ruang heterotopis demikian terbangun dalam karya, menggugah kesadaran pembaca yang turut mengkonstruk makna dan mengangan ulang realitas. Kerangka pikir poskolonial misalnya bisa mewadahi kritik sastra yang berpijak pada hibriditas makanan yang ditampilkan karya. Bila fokus pada pilihan menu sehubungan dengan gendernya, maka itu bisa menjadi kajian menggunakan perspektif gender. Sedangkan bila fokus dengan pilihan-pilihan makanan dan tata cara makan sehubungan posisi keperempuanan, perspektif feminis bisa membingkainya.

Karya populer kerap dipandang sebelah mata padahal dia juga merupakan bagian dari rangkaian dalam sejarah kesusastraan, di dalamnya merekam peradaban manusia pada suatu waktu. Kritik yang bisa digarap pada karya sejenis ini bukan hanya mencari unsur konsumerisme sebagaimana dijelaskan teori-teori sosiologi dari para karakter tetapi relasi konsumerisme dengan kecenderungan masyarakat untuk diinklusi ke dalam tingkatan masyarakat maju. Bahasa, selera (taste), dan ideologi  menjadi perangkat untuk mengakses level kemasyarakatan yang diinginkan. Sastra dengan media bahasa merupakan sebuah praktik kebahasaan yang menghubungkan dunia nyata dengan fiksi melalui wacana yang diusungnya. Selera dan ideologi diselipkan dalam representasi sastra sebagai cerminan masyarakat.dengan demikian, mencapai dekonstruksi karya hingga pada tiga perangkat tersebut merupakan kepentingan analisis sastra untuk mendudukkannya sebagai bagian dari kesejarahan peradaban manusia. Rekonstruksi terhadap yang telah didekonstruksi menjadi solusi sebuah kritik sastra. Jadi pada akhirnya kritik sastra perlu memberikan ruang-ruang penawaran atas apa yang telah didekonstruksi.

Kembali pada Jane Eyre, menu makanan yang dipilih atau disajikan juga merepresentasikan kondisi psikologis karakter di dalam novel tersebut. Masih pada peristiwa minum teh misalnya, harapan untuk bisa duduk bersama sang master untuk menikmati teh bersama mengusik kondisi emosi Jane. Tekanan-tekanan psikologis Jane juga mempengaruhi pola makannya, ketika dia sering dilupakan sebagai orang yang tidak punya status penting di rumah yang ditinggalinya, dia sering terlupakan dan tidak diundang dalam acara perjamuan makan. Jane pun menyelinap ke dapur untuk mengambil makan sekadarnya, tubuhnya kurus sebagai indikator dia mengasup sedikit makanan dan juga tidak teratur (Heremesh; http://public.wsu.edu/~delahoyd/eyre.eating.html diunduh 6 Mei 2012, pukul 20.00 WIB) yang ditengarai Heremesh sebagai eating disorder. Penelitian Heremes menemukan kesamaan antara Jane dan Charlotte Bronte. Bronte meninggal karena kelainan pada pola makannya. Karakter Bronte yang cenderung untuk memegang kendali terepresentasi dalam sosok Jane Eyre, demikian penemuan penelitian tersebut dengan penjelas dan sebagainya dan sebagainya... Dengan perspektif ini, karakter dalam novel (fictitious character), biografi pengarang, dan kreatif proses kreatifnya menjadi data yang dintegrasikan untuk menemukan keterhubungan ketiganya (seperti yang diungkapkan Wilbur Scott). Jadi bukan mem-pasien-kan (istilah Ajeng Herlianti dalam sebuah diskusi) karakter dalam novel dengan menggunakan teori psikologis, justru sasaran dari perspektif ini adalah pengarang. Akan tetapi bukan pengarang sebagai seorang personal semata, melainkan dalam jejaring hubungan-hubungan sosialnya. Dengan demikian kritik sastra psikologis memperlakukan karya sebagai text yang retoris dimana cara kerjanya analog dengan mekanisme jiwa (psyche) dan kritik jenis ini terkait dengan teori yang memperhitungkan hubungan pengarang dengan teks serta antara pembaca dan teks. Lebih lanjut hubungan-hubungan tersebut perlu dilihat dalam permasalahan yang lebih umum dalam peletakan subjek dalam konteks sosial (Wright,Elizabeth dalam Psychoanalitic Criticism-A Reappraisal:1998; 4-5).

Yang menjadi catatan di sini adalah adanya dialektika antara karya dan teori yang saling mengisi ( seperti membentuk tesis-antitesis-sintesis baru). Jadi buta lah namanya jika begitu rigid mendewakan teori mapan lintas bidang ke dalam sastra, atau sebaliknya. Membabi-buta  menikahi karya sastra sebagai objek materi dalam kajian sastra sehingga mengabaikan teori maka yang terjadi itu tidak lebih dari ramalan intuitif yang tidak bisa dipahami, dirasionalisasi orang lain.

No comments:

Post a Comment