Saturday, October 8, 2016

Mengurai Fiksi Posmodernis ala McHale

*disampaikan dalam pelatihan pemikiran kritis oleh Matatimoer Institute di FIB Unej, didukung oleh FIB Universitas Jember

Oleh Hat Pujiati
Berbicara posmodernisme seolah sedang menguak cakrawala pikir manusia yang luas dan mencakup banyak aspek dalam kehidupan. Konsep posmodern muncul di berbagai bidang yang punya penerapan beragam pada tiap-tiap disiplin. Akan tetapi secara garis besar, posmodernisme adalah sebuah gerakan pemikiran yang tidak memusat, memperhatikan yang parsial, yang tidak stabil atau pun hal-hal yang tersubordinat di dalam gerakan pemikiran modernisme. Dengan kata lain, posmodernisme merupakan gerakan pemikiran yang berlawanan dengan modernisme namun masih berkaitan dengan modernisme itu sendiri.
Modernisme sendiri merupakan gerakan pemikiran yang mengandaikan adanya pusat.  Cogito ergo sum yang digaungkan Rene Descartes, yang berarti aku berpikir maka aku ada, merupakan salah satu cikal bakal gerakan ini. Kekuatan rasionalitas yang hadir dalam pemikiran Descartes tersebut menjadi akar dari eksistensi manusia. Pada gilirannya, rasionalitas menjadi pusat perkembangan peradaban manusia. Penemuan di berbagai bidang merupakan hasil dari cara hidup dan pikir yang rasional dan terukur. Ukuran ini mengindikasikan pusat, stabilitas dan keteraturan yang dilanggengkan di dalam grand design (Klages: http:// www. colorado. edu/English /courses /ENGL2012 Klages/pomo.html).
Bagi McHale prefik post pada kata postmodernism ditekankan sebagai konsekuensi elemen logis dan historis dari pada posterioritas (keadaan ‘setelah’/post) (Mchale:1987:5). Posmodernisme dipahami sebagai gerakan yang mengikuti modernisme, berawal dari modernisme atau kelanjutan dari modernisme, dari pada gerakan pasca (post yang didefinisikan sebagai setelah) moderisme yang mengindikasikan keterputusan (shifting) dari modernisme. Walau pun di dalam tulisannya yang lain, McHale menegaskan keterputusan posmodernisme dengan modernisme dengan konsep dominan sebagai pembeda antara posmodernisme dan modernisme, akan tetapi menurutnya kemampuan teks yang hemorrhage (dominan epistemologinya bergerak menuju dominan ontologis dan sebaliknya) menunjukkan keterhubungan mereka (McHale dalam Nicol, 2002: 278).  McHale fokus pada konsep posmodernime pada fiksi dengan mendasarkan pada konsep-konsep puitika Jakobson yang diterapkan pada teks sastra.
McHale memperhatikan kontinyuitas sekaligus diskontinyuitas antara karya-karya modernis dan posmodernis. Unsur karya seni yang menjadi pusat dari unsur-unsur lain, yang mengatur, menentukan dan mengubah unsur-unsur yang ada disebut dominan (1987:6). Dominan juga menjamin integritas struktur karya, dengan demikian dominan bisa juga disebut sebagai wadah yang menentukan, mengubah, dan menyatukan unsur-unsur karya. Menurut McHale, fiksi modern dilatari oleh epistemologis dominan sementara fiksi posmodern lebih mengedepankan ontologis dominan (1987:9-10).
Dominan Epistemologis adalah hal-hal yang menyangkut masalah mengetahui (knowing) atau menyangkut hakikat manusia, sedangkan dominan ontologis adalah hal-hal yang menyangkut masalah cara-cara keberadaan (modes of being) atau penyajian dunia apa adanya, pengalaman apa adanya.
Landasan pemikiran Mchale mengenai semesta bertumpu pada apa yang disampaikan Thomas Pavel yang menerjemahkan ontologi diartikan sebagai sebuah diskripsi mengenai sebuah semesta oleh menyebutkan. Artinya ada kemungkinan adanya semesta-semesta (heterokosmos) lain, kemungkinan pluralitas semesta dalam definisi tersebut termasuk semesta yang “mungkin” atau justru semesta yang “tidak mungkin” (1987:27). Ada identitas-identitas yang menjadi samar atau kabur yang cenderung tidak menstabilkan dunia yang diproyeksikan dalam teks yang ontologis, dunia fiksional yang dihuni oleh tokoh-tokoh seolah muncul bersama dengan dunia nyata yang dihuni oleh sang pengarang.
Menggunakan premis Benjamin Hrushovski, Mchale berusaha mengatasi masalah perbedaan ontologis di dalam heterokosmos fiksional yang secara ontologis adalah homogen yaitu bahwa semua teks sastra adalah menggunakan dua tingkatan struktur referensi. Setidaknya ada satu bidang referensi internal atau sebuah semesta atau kontinum semantik di dalam teks-teks sastra yang terbangun di dalam dan dengan teks itu sendiri. Namun tanpa bisa dihindari bahwa teks-teks sastra tersebut juga mengacu pada sisi luar dari bidang internal menuju referensi sebuah bidang eksternal: yaitu dunia nyata, tubuh fakta historis atau teori ilmiah, sebuah ideologi atau filosofi, teks lain, dan sebagainya. Bidang internal dan eksternal tersebut membentuk dua wadah paralel akan tetapi bentuknya non-Euclidean (tidak sesuai ukuran-ukuran pasti yang matematis) karena wadah-wadah tersebut saling bertumpang tindih pada banyak titik namun tidak muncul dalam satu bentuk, referennya terbagi oleh kedua wadah terdsebut, ada kesetiaan referensial rangkap (dual referential alligiance).
McHale menggunakan tiga dimensi objek-objek semiotik milik Hrushovski yaitu rekonstruksi dunia (dunia-dunia), kontinuum teks (kata-kata), dan konstruksi yaitu dimensi para pembicara (speakers), suara-suara (voices), dan posisi-posisi (positions) untuk menjelaskan strategi-strategi repertoire yang digambarkan fiksi posmodern dalam melatardepankan struktur ontologis teks dan dunia.
Salah satu strategi fiksi posmodern untuk mengeksploitasi masalah ontologis adalah dengan menghadirkan dunia yang problematis (1987:43). Untuk itu butuh suatu ruang yang mampu mengakomodasi begitu banyak perbedaan dan saling tidak berhubungan, yaitu heterotopia. Heterotopia adalah konsep Michel Foucault mengenai ruang yang menampung perbedaan-perbedaan yang mencolok, dari fragmen-fragmen berbagai hal, tanpa aturan,  bahkan saling menihilkan satu sama lain. Berikut kutipan Foucault mengenai heterotopia dalam The Order of Things:
There is a worse kind of disorder than that incongruous, the linking together of things that are inappropriate; I mean the disorder in which fragments of a large number of possible orders glitter separately in the dimension, without law or geometry, of the heteroclite; and that word should be taken in its most literal, etymological sense: in such a state, things are “laid”, “placed”, “arranged” in sites so very different from one another that it is impossible to find a place of residence for them, to define a common locus beneath them all. Utopias afford consolation: although they have no real locality there is a fantastic, untroubled region in which they are able to unfold; they open up cities with vast avenues, superbly planted gardens, countries where life is easy, even though the road to them is chimerical. Hererotopias are disturbing, probably because they secretly undermine language, because they make it impossible to name this and that, because they destroy “syntax” in advance, and not only the syntax with which we construct sentences but also that less apparent syntax which causes words and things (next to and also opposite to one another) to hold “together”. …heterotopias desiccate speech, stop words in their tracks, contest the very possibility of grammar at its source: they dissolve our myths and sterilize the lyricism of our sentences  (1970: xvii-xviii )

(terjemahan, bebasnya adalah sebagai berikut: ada ketidakteraturan yang lebih daripada hanya ketidakpantasan, keterhubungan sesuatu yang tidak pantas; maksud saya ketidakteraturan dimana fragmen-fragmen dari sejumlah susunan yang mungkin berkelip secara terpisah tanpa hukum atau ukuran, di dalam dimensi heteroclite (unsur-unsur yang membedakan dari bentuk/aturan biasanya), dan kata tersebut harusnya diartikan secara litaral, secara etimologi: dalam keadaan demikian, unsur-unsur tersebut dipasang, diletakkan, disusun,di tempat yang sangat berbeda satu sama lain dimana ini tidak mungkin untuk menemukan tempat bagi mereka, untuk mendefinisikan sebuah lokus biasa di bawah unsur-unsur itu semua. Utopia-utopia menghasilkan hiburan: walau pun utopia-utopia itu tidak memiliki lokalitas nyata, di dalamnya ada satu bagian fantastic dan tidak bermasalah dimana utopia-utopia itu dapat dibuka: mereka membuka kota-kota dengan jalan-jalan yang lebar, taman-taman yang ditanami dengan megah, negara-negara dimana kehidupan di sana mudah, walau pun jalan menuju tempat-tempat tidak masuk akal (chimerical) tersebut. Heterotopias adalah mengganggu, mungkin karena mereka merusak bahasa secara diam-diam, karena mereka membuat penamaan ini dan itu tidak mungkin, karena mereka menghancurkan syntax dengan cepat, dan tidak hanya sintex saja dimana kita membangun kalimat2 tapi juga tampaknya syntax sebagai penyebab kata-kata dan hal-hal (di samping dan juga di seberang satu sama lain)  ditempatkan bersama…heterotopias mengeringkan kemampuan bicara (speech), menghentikan kata-kata di jalur-jalurnya, menentang grammar yang paling mungkin pada sumbernya: heteropia membubarkan mitos-mitos kita dan mensterilkan lirisisme kalimat-kalimat kita.)

Dari kutipan tersebut maka bisa disimpulkan bahwa heterotopias (yang berasal dari kata Utopia ini namun memiliki arti yang kontras dari utopia) merupakan ruang yang tidak membangun keharmonisan. Diskontinyuitas dan inkonsistensi yang ada pada heterotopia ini membuatnya gagal untuk membangun sebuah dunia seperti yang telah disyaratkan Eco; bahwa harus ada the law of excluded middle. Ruang-ruang yang merupakan heterotopia dan gagal memenuhi syarat pembentukan dunia disebut zona.
Fiksi ilmiah dan genre fiksi fantasi saling berhubungan dengan fiksi posmodern (1987: 74), sementara Enchanted memuat dunia-dunia dongeng yang fantastik seperti dongeng Cinderella, Snow White, Rapunzel, Sleeping Beauty dan Blair Rose dalam wujud novelistiknya hal ini mengindikasikan posmodernitas Enchanted. Melalui tokoh-tokoh Enchanted, tokoh-tokoh dongeng tersebut hadir kembali namun tidak sama persis dengan apa yang telah hadir pada dongeng-dongeng sebelumnya. Ada parodi-parodi dari dunia Cinderella, Snow White, Rapunzel, Sleeping Beauty, dan Blair Rose di dalam Enchanted. Intertekstual yang menghadirkan parodi ini membawa wacana. Wacana yang bermacam-macam dan diskontinyus dimasukkan[1] ke dalam dunia-dunia yang juga beragam sehingga wacana diskursif yang heteroglosia pun masuk ke dalam heterotopia ontologis. Mengunakan pisau analisis posmodernisme pada fiksi, Enchanted berusaha dibedah untuk mendapatkan diskripsi mengenai dunia-dunia yang ada di dalamnya, masalah ontologis yang diwacanakan dengan intertektualitas dan parodinya sehingga juga ditemukan strategi-strategi yang dipakainya dalam menghadirkan sisi dongeng dan novel di dalam satu novel ini. Selanjutnya mengenai penghadiran kembali pesona dunia di dalam Enchanted dilandaskan pada tesis Max Weber mengenai kehadiran hilangnya pesona dunia (disenchanment) di dalam realitas modern, disenchantment ini mendorong kembalinya pesona dunia (re-enchanment) yang dibahas oleh Richard Jenkins mengenai disenchantment, enchanment dan re-enchanment di abad milenium. Penggunaan teori pendukung dari Weber yang dipaparkan Jenkins tersebut dalam tulisan ini adalah untuk menjawab permasalahan kehadiran novel Enchanted yang memadupadankan dengan cerita dongeng dan mengusung fantasi.

Dongeng sebagai bagian dari sastra anak juga mengalami pergerakan pemikiran ke arah posmodern. kondisi sosial yang kontemporer, perlakuan lingkungan sosial terhadap anak-anak juga berubah,nilai berubah, demikian pula standard moral. Antara anak-anak dan dewasa tidak lagi ada batasan tegas. Nostalgia romantis membawa manusia ke pengalaman anak-anak namun sudah dengan apa yang telah didapat selama hidup manusia. Wishfull thinking itu dipenuhi teknologi. Hal ini juga berimplikasi pada anak-anak posisi anak-anak sebagai bagian masyarakat. Konsumsi mereka terhadap hiburan, tv, film, dan sastra juga acak aduk dengan apa yg dibutuhkan mereka yang telah dewasa.
Sastra anak justru menyajikan kecarutmarutan posmodernisme di dalamnya dengan tegas. Dongeng-dongeng dan novel yang lahir di tahun akhir 1990an hingga 2000an menunjukkan ciri-ciri posmodernisme yang kerab subversive dalam menghadirkan wacananya dan juga bermain-main. Kedewasaan dan kekanak-kanakan dipadukan. Batasan kedewasaan dan kekanak-kanakan diukur dengan rasionalitas. Rasionalitas dan irasionalitas yang dipadu padankan menghasilkan konsep baru diluar permainan modernisme. Ruang-ruang demikian dalam karya sastra mengindikasikan kembalinya pesona dunia.
McHale dan juga ahli lain juga menyadari kelugasan sastra anak dalam merepresentasikan posmodernisme.


[1] Kata ini penulis pilih mengingat dunia yang ada dalam teks menurut McHale adalah bentukan, jadi yang ada di sana adalah sengaja dibentuk. Jika wacana dalam teks Enchanted beragam, maka sebenarnya wacana-wacana heterotopias tersebut adalah dimasukkan dengan sengaja.

No comments:

Post a Comment