Oleh Hat Pujiati
Berbicara posmodernisme seolah
sedang menguak cakrawala pikir manusia yang luas dan mencakup banyak aspek
dalam kehidupan. Konsep posmodern muncul di berbagai bidang yang punya
penerapan beragam pada tiap-tiap disiplin. Akan tetapi secara garis besar,
posmodernisme adalah sebuah gerakan pemikiran yang tidak memusat, memperhatikan
yang parsial, yang tidak stabil atau pun hal-hal yang tersubordinat di dalam
gerakan pemikiran modernisme. Dengan kata lain, posmodernisme merupakan gerakan
pemikiran yang berlawanan dengan modernisme namun masih berkaitan dengan
modernisme itu sendiri.
Modernisme sendiri merupakan
gerakan pemikiran yang mengandaikan adanya pusat. Cogito ergo sum yang digaungkan Rene
Descartes, yang berarti aku berpikir maka aku ada, merupakan salah satu cikal
bakal gerakan ini. Kekuatan rasionalitas yang hadir dalam pemikiran Descartes
tersebut menjadi akar dari eksistensi manusia. Pada gilirannya, rasionalitas
menjadi pusat perkembangan peradaban manusia. Penemuan di berbagai bidang
merupakan hasil dari cara hidup dan pikir yang rasional dan terukur. Ukuran ini
mengindikasikan pusat, stabilitas dan keteraturan yang dilanggengkan di dalam grand
design (Klages: http:// www. colorado. edu/English /courses /ENGL2012 Klages/pomo.html).
Bagi McHale prefik post
pada kata postmodernism ditekankan sebagai konsekuensi elemen logis dan
historis dari pada posterioritas (keadaan ‘setelah’/post)
(Mchale:1987:5). Posmodernisme dipahami sebagai gerakan yang mengikuti
modernisme, berawal dari modernisme atau kelanjutan dari modernisme, dari pada
gerakan pasca (post yang didefinisikan sebagai setelah) moderisme yang
mengindikasikan keterputusan (shifting) dari modernisme. Walau pun di
dalam tulisannya yang lain, McHale menegaskan keterputusan posmodernisme dengan
modernisme dengan konsep dominan sebagai pembeda antara posmodernisme dan
modernisme, akan tetapi menurutnya kemampuan teks yang hemorrhage (dominan
epistemologinya bergerak menuju dominan ontologis dan sebaliknya) menunjukkan
keterhubungan mereka (McHale dalam Nicol, 2002: 278). McHale fokus pada konsep posmodernime pada
fiksi dengan mendasarkan pada konsep-konsep puitika Jakobson yang diterapkan
pada teks sastra.
McHale memperhatikan
kontinyuitas sekaligus diskontinyuitas antara karya-karya modernis dan
posmodernis. Unsur karya seni yang menjadi pusat dari unsur-unsur lain, yang
mengatur, menentukan dan mengubah unsur-unsur yang ada disebut dominan (1987:6).
Dominan juga menjamin integritas struktur karya, dengan demikian dominan bisa
juga disebut sebagai wadah yang menentukan, mengubah, dan menyatukan
unsur-unsur karya. Menurut McHale, fiksi modern dilatari oleh epistemologis
dominan sementara fiksi posmodern lebih mengedepankan ontologis dominan (1987:9-10).
Dominan Epistemologis adalah
hal-hal yang menyangkut masalah mengetahui (knowing) atau menyangkut
hakikat manusia, sedangkan dominan ontologis adalah hal-hal yang menyangkut
masalah cara-cara keberadaan (modes of being) atau penyajian dunia apa adanya,
pengalaman apa adanya.
Landasan pemikiran Mchale
mengenai semesta bertumpu pada apa yang disampaikan Thomas Pavel yang
menerjemahkan ontologi diartikan sebagai sebuah diskripsi mengenai sebuah
semesta oleh menyebutkan. Artinya ada kemungkinan adanya semesta-semesta
(heterokosmos) lain, kemungkinan pluralitas semesta dalam definisi tersebut
termasuk semesta yang “mungkin” atau justru semesta yang “tidak mungkin”
(1987:27). Ada identitas-identitas yang menjadi samar atau kabur yang cenderung
tidak menstabilkan dunia yang diproyeksikan dalam teks yang ontologis, dunia
fiksional yang dihuni oleh tokoh-tokoh seolah muncul bersama dengan dunia nyata
yang dihuni oleh sang pengarang.
Menggunakan premis Benjamin
Hrushovski, Mchale berusaha mengatasi masalah perbedaan ontologis di dalam
heterokosmos fiksional yang secara ontologis adalah homogen yaitu bahwa semua
teks sastra adalah menggunakan dua tingkatan struktur referensi. Setidaknya ada
satu bidang referensi internal atau sebuah semesta atau kontinum semantik di
dalam teks-teks sastra yang terbangun di dalam dan dengan teks itu sendiri.
Namun tanpa bisa dihindari bahwa teks-teks sastra tersebut juga mengacu pada
sisi luar dari bidang internal menuju referensi sebuah bidang eksternal: yaitu
dunia nyata, tubuh fakta historis atau teori ilmiah, sebuah ideologi atau
filosofi, teks lain, dan sebagainya. Bidang internal dan eksternal tersebut
membentuk dua wadah paralel akan tetapi bentuknya non-Euclidean (tidak sesuai
ukuran-ukuran pasti yang matematis) karena wadah-wadah tersebut saling
bertumpang tindih pada banyak titik namun tidak muncul dalam satu bentuk,
referennya terbagi oleh kedua wadah terdsebut, ada kesetiaan referensial
rangkap (dual referential alligiance).
McHale menggunakan tiga
dimensi objek-objek semiotik milik Hrushovski yaitu rekonstruksi dunia
(dunia-dunia), kontinuum teks (kata-kata), dan konstruksi yaitu dimensi para
pembicara (speakers), suara-suara (voices), dan posisi-posisi (positions)
untuk menjelaskan strategi-strategi repertoire yang digambarkan fiksi posmodern
dalam melatardepankan struktur ontologis teks dan dunia.
Salah satu strategi fiksi
posmodern untuk mengeksploitasi masalah ontologis adalah dengan menghadirkan
dunia yang problematis (1987:43). Untuk itu butuh suatu ruang yang mampu
mengakomodasi begitu banyak perbedaan dan saling tidak berhubungan, yaitu heterotopia.
Heterotopia adalah konsep Michel Foucault mengenai ruang yang menampung
perbedaan-perbedaan yang mencolok, dari fragmen-fragmen berbagai hal, tanpa
aturan, bahkan saling menihilkan satu
sama lain. Berikut kutipan Foucault mengenai heterotopia dalam The Order of
Things:
There is a worse kind
of disorder than that incongruous, the linking together of things that are
inappropriate; I mean the disorder in which fragments of a large number of
possible orders glitter separately in the dimension, without law or geometry,
of the heteroclite; and that word should be taken in its most literal,
etymological sense: in such a state, things are “laid”, “placed”, “arranged” in
sites so very different from one another that it is impossible to find a place
of residence for them, to define a common locus beneath them all. Utopias
afford consolation: although they have no real locality there is a fantastic, untroubled
region in which they are able to unfold; they open up cities with vast avenues,
superbly planted gardens, countries where life is easy, even though the road to
them is chimerical. Hererotopias are disturbing, probably because they secretly
undermine language, because they make it impossible to name this and that,
because they destroy “syntax” in advance, and not only the syntax with which we
construct sentences but also that less apparent syntax which causes words and
things (next to and also opposite to one another) to hold “together”.
…heterotopias desiccate speech, stop words in their tracks, contest the very
possibility of grammar at its source: they dissolve our myths and sterilize the
lyricism of our sentences (1970: xvii-xviii )
(terjemahan, bebasnya adalah
sebagai berikut: ada ketidakteraturan yang lebih daripada hanya
ketidakpantasan, keterhubungan sesuatu yang tidak pantas; maksud saya
ketidakteraturan dimana fragmen-fragmen dari sejumlah susunan yang mungkin
berkelip secara terpisah tanpa hukum atau ukuran, di dalam dimensi heteroclite
(unsur-unsur yang membedakan dari bentuk/aturan biasanya), dan kata tersebut
harusnya diartikan secara litaral, secara etimologi: dalam keadaan demikian,
unsur-unsur tersebut dipasang, diletakkan, disusun,di tempat yang sangat
berbeda satu sama lain dimana ini tidak mungkin untuk menemukan tempat bagi
mereka, untuk mendefinisikan sebuah lokus biasa di bawah unsur-unsur itu semua.
Utopia-utopia menghasilkan hiburan: walau pun utopia-utopia itu tidak memiliki
lokalitas nyata, di dalamnya ada satu bagian fantastic dan tidak bermasalah
dimana utopia-utopia itu dapat dibuka: mereka membuka kota-kota dengan
jalan-jalan yang lebar, taman-taman yang ditanami dengan megah, negara-negara
dimana kehidupan di sana mudah, walau pun jalan menuju tempat-tempat tidak
masuk akal (chimerical) tersebut. Heterotopias adalah mengganggu,
mungkin karena mereka merusak bahasa secara diam-diam, karena mereka membuat
penamaan ini dan itu tidak mungkin, karena mereka menghancurkan syntax dengan
cepat, dan tidak hanya sintex saja dimana kita membangun kalimat2 tapi juga
tampaknya syntax sebagai penyebab kata-kata dan hal-hal (di samping dan juga di
seberang satu sama lain) ditempatkan
bersama…heterotopias mengeringkan kemampuan bicara (speech),
menghentikan kata-kata di jalur-jalurnya, menentang grammar yang paling mungkin
pada sumbernya: heteropia membubarkan mitos-mitos kita dan mensterilkan
lirisisme kalimat-kalimat kita.)
Dari kutipan tersebut maka bisa disimpulkan bahwa
heterotopias (yang berasal dari kata Utopia ini namun memiliki arti yang
kontras dari utopia) merupakan ruang yang tidak membangun keharmonisan. Diskontinyuitas
dan inkonsistensi yang ada pada heterotopia ini membuatnya gagal untuk
membangun sebuah dunia seperti yang telah disyaratkan Eco; bahwa harus ada the
law of excluded middle. Ruang-ruang yang merupakan heterotopia dan gagal
memenuhi syarat pembentukan dunia disebut zona.
Fiksi ilmiah dan genre fiksi fantasi saling
berhubungan dengan fiksi posmodern (1987: 74), sementara Enchanted
memuat dunia-dunia dongeng yang fantastik seperti dongeng Cinderella, Snow
White, Rapunzel, Sleeping Beauty dan Blair Rose dalam wujud
novelistiknya hal ini mengindikasikan posmodernitas Enchanted. Melalui
tokoh-tokoh Enchanted, tokoh-tokoh dongeng tersebut hadir kembali namun
tidak sama persis dengan apa yang telah hadir pada dongeng-dongeng sebelumnya.
Ada parodi-parodi dari dunia Cinderella, Snow White, Rapunzel, Sleeping
Beauty, dan Blair Rose di dalam Enchanted. Intertekstual yang
menghadirkan parodi ini membawa wacana. Wacana yang bermacam-macam dan diskontinyus
dimasukkan[1] ke dalam dunia-dunia yang juga beragam
sehingga wacana diskursif yang heteroglosia pun masuk ke dalam heterotopia
ontologis. Mengunakan pisau analisis posmodernisme pada fiksi, Enchanted
berusaha dibedah untuk mendapatkan diskripsi mengenai dunia-dunia yang ada di
dalamnya, masalah ontologis yang diwacanakan dengan intertektualitas dan
parodinya sehingga juga ditemukan strategi-strategi yang dipakainya dalam
menghadirkan sisi dongeng dan novel di dalam satu novel ini. Selanjutnya
mengenai penghadiran kembali pesona dunia di dalam Enchanted dilandaskan
pada tesis Max Weber mengenai kehadiran hilangnya pesona dunia (disenchanment)
di dalam realitas modern, disenchantment ini mendorong kembalinya pesona
dunia (re-enchanment) yang dibahas oleh Richard Jenkins mengenai disenchantment,
enchanment dan re-enchanment di abad milenium. Penggunaan teori
pendukung dari Weber yang dipaparkan Jenkins tersebut dalam tulisan ini adalah
untuk menjawab permasalahan kehadiran novel Enchanted yang
memadupadankan dengan cerita dongeng dan mengusung fantasi.
Dongeng sebagai bagian dari sastra anak juga
mengalami pergerakan pemikiran ke arah posmodern. kondisi sosial yang
kontemporer, perlakuan lingkungan sosial terhadap anak-anak juga berubah,nilai
berubah, demikian pula standard moral. Antara anak-anak dan dewasa tidak lagi
ada batasan tegas. Nostalgia romantis membawa manusia ke pengalaman anak-anak
namun sudah dengan apa yang telah didapat selama hidup manusia. Wishfull
thinking itu dipenuhi teknologi. Hal ini juga berimplikasi pada anak-anak
posisi anak-anak sebagai bagian masyarakat. Konsumsi mereka terhadap hiburan,
tv, film, dan sastra juga acak aduk dengan apa yg dibutuhkan mereka yang telah
dewasa.
Sastra anak justru menyajikan kecarutmarutan
posmodernisme di dalamnya dengan tegas. Dongeng-dongeng dan novel yang lahir di
tahun akhir 1990an hingga 2000an menunjukkan ciri-ciri posmodernisme yang kerab
subversive dalam menghadirkan wacananya dan juga bermain-main. Kedewasaan dan
kekanak-kanakan dipadukan. Batasan kedewasaan dan kekanak-kanakan diukur dengan
rasionalitas. Rasionalitas dan irasionalitas yang dipadu padankan menghasilkan
konsep baru diluar permainan modernisme. Ruang-ruang demikian dalam karya
sastra mengindikasikan kembalinya pesona dunia.
McHale dan juga ahli lain juga menyadari kelugasan
sastra anak dalam merepresentasikan posmodernisme.
[1] Kata ini penulis pilih
mengingat dunia yang ada dalam teks menurut McHale adalah bentukan, jadi yang
ada di sana adalah sengaja dibentuk. Jika wacana dalam teks Enchanted
beragam, maka sebenarnya wacana-wacana heterotopias tersebut adalah dimasukkan
dengan sengaja.
No comments:
Post a Comment