Oleh Hat Pujiati
Jurusan Sastra Inggris
Fakultas Sastra Universitas Jember
(dipresentasikan dalam Seminar Internasional
Sastra Bandung,
Balai Bahasa Bandung, 11-12 Juni 2013)
Abstrak
This article discusses about Re-Enchantment of the word
in human life and literature’s universe in this era. The development of human
thought brings different presentation and appreciation upon things in the word
including changes of social life and their art representation. Folklore and fairytales
with their magical worlds assumed that they has disenchanted when rationalism becomes ‘rule of the
game’ of this cultural wave, as though everything embedded to traditionalism is
cut. Inevitably, people need a space for their imagination, hopes, and dreams
that keep them alive as human being. However, world’s enchantment lingers in
the collective memory and it becomes one of human excitement that is recalled
in certain ways. The result is a mix of the past and present, of tradition and
modernity, of local and inter-local or international
(world tradition).
The mix phenomena are everywhere in postmodern human’s life, from song lyrics
they sing to literary works they work on. Magic and realism become a new
collaborated genre after the separation assumption of the shifting mainstream
from traditionalism and modernism. This writing questions Indonesian literary works that embodied the re-enchantment of the world and how do they manage the mix life in
the representations. The result, there are two
mainstream of Indonesian literary works; the first one is collaborating with
the local tradition and put the dominant of the work ‘in between’ with
postmodernist fiction atmosphere, and the second one is shifting the local
tradition with import tradition and become new tradition that belongs to
Indonesia or Indonesianized. However, both of the mainstreams represent
Re-enchantment of the world as the product of postmodern era.
Keywords: re-enchantment, representation, local
tradition, world tradition, postmodern
Perubahan
Estetis pada Lirik Lagu Popular di Indonesia Era 2000an
Suatu sore saya berkumpul dengan mahasiswa kelas puisi.
Warga kampung di balik pagar kampus sedang menyelenggarkan hajatan hingga musik
yang mereka putar terdengar sangat jelas dari posisi kami melingkar. Ketika itu
kami sedang belajar di luar ruangan. Lagu-lagu yang terdengar dari pengeras
suara membuat kami tersenyum-senyum karena bahasa yang dipakai terdengar lucu
bagi kami. Lucu di sini bisa tabu, kasar, sarkastik, memalukan, atau lugu.
Misalnya saja lagu Keong Racun (Sinta
dan Jojo), Jablai (Titi Kamal), atau
Alamat
Palsu oleh Ayu Tingting. Lagu pertama banyak mengandung lirik “kasar”
(misal istilah ngajak tidur, ayam
kampung, colek diriku, kau tak tahu malu wanita murahan, kata dasar,
), dan merutuk. Sementara yang kedua berisi kisah kesepian, genit, juga
kasar.Kemudian yang ketiga merupakan kisah lagu merana ditipu identitas dan
ditinggalkan kekasih, tak tahu rimbanya.
Lagu-lagu pertama dan kedua booming
di Indonesia dan dinyanyikan di mana-mana bahkan oleh anak kecil yang belum
juga fasih melafalkan kata. Sementara lagu ketiga tersebut memiliki lirik
berbeda genre dengan kedua lagu sebelumnya. Kepolosan pada pilihan-pilihan
katanya membuatnya popular, berdampak pula pada kesejahteraan penyanyinya. Yang
semula menjadi penyanyi panggilan di event
kecil kemudian menjadi bintang nasional berkat Alamat Palsu.
Peristiwa lirik berbeda dan booming
bukan hanya terjadi di segmen genre lagu dangdut. Dalam lagu pop pun begitu.
Pertanyaan saya kemudian adalah mengapa
kepolosan lirik Alamat Palsu
mampu mencuri hati masyarakat penikmat? Lagu Butiran Debu di genre lagu berbeda yang juga sedang terdengar oleh
kami kemudian juga menemukan nasib yang sama. Setelah digempur lagu-lagu
bertema kemadirian dan perayaan cinta serta perselingkuhan, Butiran Debu tiba-tiba memikat
pendengarnya dengan lirik melow yang ‘lebay’
(misal pada bagian aku tanpamu butiran
debu).
Perubahan-perubahan
kecil yang terjadi di sekitar kita rupanya telah mempengaruhi banyak hal dalam
kehidupan dan tatanan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi pada sudut
pandang pemikiran manusia ini terdeteksi dalam produk-produk imaginatifnya,
semisal karya seni dan sastra. Konsep cinta di era sembilan puluhan awal dan Sembilan
puluhan akhir hingga era dua ribuan tidak lagi sama. Pada era sembilan puluhan awal
cinta dianggap sebagai sebuah berkah dan abadi hingga kesetiaan adalah nilai
pada cinta itu.Cinta yang berbanding lurus dengan kesetiaan produk Sembilan
puluhan ini bisa kita amati dalam lirik-lirik lagu (lirik merupakan salah satu
jenis puisi) semacam Cintaku Padamu yang dipopulerkan Ita
Purnamasari di tahun 1995. Sementara di tahun 1997 grup Potret mempopulerkan
lagu Salah yang liriknya
berkebalikan dengan esensi cinta yang harus setia. Ada usaha penyejajaran
antara laki-laki dan perempuan,yang bisa selingkuh bukan hanya pria, wanita pun
bisa, begitu isi dari lagu Salah. Lirik lagu Salah dengan pembalikannya pada cinta soal kesetiaan tersebut
semakin pesat dan terus direproduksi hingga tahun dua ribuan yang
terepresentasi pada lirik lagu TTM
duo Maya, Madu 3 Ahmad Dani, Cari Pacar Lagi oleh ST12. Cinta tidak
lagi berbanding lurus dengan kesetiaan, melainkan perayaan. Tema-tema
perselingkuhan menjadi happening,
mudahnya memutuskan berganti pasangan juga booming.
Sementara
lagu-lagu tradisional yang banyak
menanamkan ajaran hidup, mensyukuri nikmat, kerja keras, dan kebersamaan semissal
saja Lir-Ilir, Perahu Layar,
Reng Majeng
lagu Madura, yang masih menunjukkan kedekatan dengan alam juga menjadi garis
besar dalam lirik-lirik lagu tersebut, saat ini sudah kehilangan pesona.
Orang-orang urban yang menghabiskan waktunya di perkotaan, bertahan hidup di
antara gedung-gedung beton, jarang bisa menikmati keindahan alam, yang ada
deretan beton atau kekumuhan area-area pinggiran kota. Alam tidak lagi
dipandang menarik. Sastra masyarakatnya pun berjarak dengan alam dan kehilangan
pesona dunia.
Dalam mode of production Marx yang fenomenal,
perubahan mode-mode produksi (infrastructure)
ditengarai berkorelasi terhadap perubahan-perubahan superstructure yang sifatnya ideasional. Tesis Marx tersebut sebagai landasan menatap peristiwa hidup secara general, masih punya banyak penganut hingga
saat ini. Mark poster memodifikasi tesis tersebut sesuai dengan perubahan-perubahan
dalam lingkungan sosial dengan moda informasi. Apa yang terjadi pada moda
informasi ini menginvasi struktur-struktur sosial yang telah mapan. Mark Poster
memaparkan dengan detil perubahan-perubahan yang terjadi akibat arus dan
moda-moda informasi dalam bukunya mode of
information. Kutipan berikut merupakan cermatan Poster terhadap perubahan pada
thesis-thesis yang telah mencetuskan perihal komunikasi sebelumnya;
Nor do electronic devices nullify the theories that
explain the nature of communications. To a Marxist, new communications devices
fall within the thesis of the class struggle: increased access to information
occurs differentially in relation to one’s position in the class structure. To
neoMarxist, electronic media reinforce the culture industry, heightening the
hegemonic force of ideology. To an economist, the laws of of the market
determine who shall use a computer, who shall advertise in television, who
shall have song broadcast to radio receiver. To a Weberian, electronic
communications increase the differentiation of society into subsystems and
promote the power among pluralist factions. ....(Foster:1990:2)
Sebut saja
kelas sosial yang tadinya hanya ditentukan oleh kepemilikan modal produksi
berupa kapital, saat ini kepemilikan kapital saja tanpa menjadi bagian laju
informasi menjadi tidak cukup. Kepemilikan akses pada informasi lebih luas
menimbulkan konsekwensi-konsekwensi pada posisi sosialnya. Dampak
perubahan-perubahan tersebut mencapai lingkup yang luas dalam kehidupan
manusia. Penemuan-penemuan di bidang teknologi yang membantu arus informasi
tersebar sedemikian cepat mengusik dan merubah tatanan hidup manusia. Karena
surat elektronik yang mudah diakses dan cepat, murah, institusi semacam kantor
pos tidak lagi sepopuler dahulu. SMS lebih cepat sampai dari pada kartu pos
yang mahal di prangko. Pengurangan karyawan kantor pos juga terjadi di awal
popularitas SMS di Indonesia. Budaya berkirim surat berubah, budaya menulis
juga berubah. Tulisan tangan anak-anak muda saat ini tidak lagi serapi generasi
sebelumnya yang dituntut membuat tulisan terbaca dengan mudah. Seperti
dijelaskan Poster tersebut bahwa pada neoMarxist, ekonom, dan Weberian,
perubahan moda informasi ini bukan menghapuskan apa yang telah mereka tesiskan
sebelumnya perihal komunikasi, akan tetapi menguatkan, menreifikasi
ideologi-ideologinya hingga mengefektifkan hegemoninya, mengefisienkan tindakan
untuk mencapai tujuan-tujuannya dan menuntut perlakuan baru akibat perubahan masif
hingga pada sistem sosial. Pada dunia seni, estetika dalam mengekspresikan dan
mendefinisikan keindahan pun mengalami perubahan.
Kisah
Pesona Dunia dan Kembalinya Pesona Dunia (Enchantment dan Re-Enchantment)
Terkait
dengan perubahan estetis pada lingkup seni yang terkait dengan kondisi
sosialnya, Schneider dalam pembukaan bab 2 bukunya yang berjudul Culture and Enchantment mengutip Weber
dari Economy and Society sebagai
berikut;
As intellectualism suppresses belief in magic, the
world’s processes become disenchanted, lose their magical significance, and
henceforth simply “are” and “happen” but no longer signify anything.
(Weber in Schneider:1993:30; Weber:1958:506)
Pada moda
produksi, yang menjadi penentu perubahan
sosial menyebabkan pesona dunia menghilang. Rasionalitas menyulitkan mimpi
dalam kenyataan. Sementara moda informasi yang berubah, teknologi yang
mendukung pesatnya perkembangan informasi justru menyuburkan pesona yang hilang
untuk kembali. Khayal atau imajinasi dekat dengan apa yang menjadi media
bertukarnya informasi yang sifatnya abstrak. Rasionalitas dikawinkan dengan
irasionalitas yang bisa taken for granted
oleh manusia modern. Teknologi yang merupakan buah rasionalitas mampu
mengakomodir mimpi dalam kenyataan hingga tidak lagi bisa dipisahkan dengan
tegas dalam logika kolektif. Dunia pun
termultimediakan, bahkan menjadi hambatan ketika tidak mempunyai kapabilitas
pada akses multimedia. Internet memudahkan komunikasi dan memutus jarak. Ini
bisa dialami siapa pun yang terhubung dengan internet dan menjadi pengetahuan
bersama
Pesona dunia sebelum masa modern mempunyai
ruang yang luas. Semua masih taken for
granted, tidak lagi ada yang dipertanyakan. Perubahan selera pendengar
music di Indonesia pun memiliki penjelasan ilmiah. Setelah mengumbar perayaan
‘kemenangan’, ‘kebebasan’ dalam berekspresi, bermain-main dengan norma dan
nilai-nilai lama yang telah dimapankan dalam masyarakat, mereka merindukan apa
yang telah ditinggalkan, merindukan sejarah, nostalgia. Romatika ideal menjadi
harapan semu, kemunculan lagu-lagu tersebut menumbuhkan enchantment dalam wujud baru; re-enchantment. Kepemerintahan Soeharto yang selama ini tercatat
kelam, pada respon rencana kenaikan BBM banyak bermunculan truk-truk bergambar the smiling general dengan tulisan Iseh Kepenak Zamanku (Masih lebih enak
zamanku). Reformasi yang berisi rencana pendek, jadi keteteran dalam jangka
panjang yang ternyata tanpa rencana jangka panjang sebelumnya. Walhasil bayang-bayang
masa lalu menghantui seolah jendral itu lebih baik walau bukti sejarah
menunjukkan sebaliknya. Pesona-pesona berlanjut dalam bentuk-bentuk yang
berbeda. Kerinduan itu ada dan berusaha diwujudkan dalam berbagai ekspresi, dan
manusia juga masih terpesona pada dunia pada tahapan-tahapan budaya dan hasil
kebudayaannnya.
Menurut Schneider,
pesona
dunia (Enchantment) merupakan pengalaman-pengalaman ganjil
yang terjadi dan dialami manusia di dunia sekitar. Enchanment muncul
pada diri seseorang ketika pengalaman yang dihadapi tidak biasa, ganjil dan
belum bisa dijelaskan secara ilmiah pada dirinya. “Pengalaman ini ada di antara
nyata dan ganjil, aneh, misterius atau mengagumkan sehingga pesona sejenis ini
bukanlah pesona yang diciptakan dongeng (fairy tale) pada orang dewasa”
(Schneider, 1993: 2-3,15). Enchantment atau keterpesonaan pada dunia adalah
ruang yang tidak terjamah rasio sehingga tidak dapat dijelaskan oleh ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, pesona dunia tidak dapat menjelaskan realitas
pengalaman tentang sesuatu yang dapat dipahami tetapi tidak dapat dihadirkan. Ketakmampuan menghadirkan yang hanya terpahami tersebut membuat modernis
menghindari representasi. Lyotard
(2009:205-8) menyiratkan bahwa karya-karya yang muncul di era modern cenderung menghadirkan
realitas yang bisa dipahami tapi tak dapat dihadirkan ini dengan keputusan
pilihan membuatnya terlihat atau sekalian membuatnya tak terlihat. Maka tekanan
modernisme membuat ketakjuban atau keterpesonaan tersebut bergerak pelan di bawah disenchantment
melewati aturan main modernisme yaitu logika yang juga menjadi wahana kehadiran
kembali pesona dunia (re-enchantment). (Pujiati, 2009:137). Pesona dunia
itu sebenarnya tidak pernah mati,
gelombang peradaban berikutnya yaitu posmodern memberikan ruang bagi yang tak
pasti, yang antara, yang tradisional, yang ditolak modernism dalam dirinya.
Kembalinya Pesona Dunia dalam Kesusastraan Indonesia
Enchantment of the world bukanlah
hilang begitu saja selama ini melainkan bergeser bentuknya. Bukan lagi pesona
yang naturalistik tetapi justru ditimbulkan barang-barang ciptaan manusia.
Semisal ketika membaca puisi dengan ilustrasi gambar bergerak, seolah
huruf-huruf yang ditimbulkannya bergerak menerkam atau runtuh seperti makna
yang diinginkan penulisnya dan itu menumbuhkan pesona bagi pembacanya. Pesona
kemudian menghilang ketika penikmat melogika, memahami bagaimana proses
komputer mampu membuat tulisan demikian. Saat menikmati kecanggihan teknologi
dalam membentuk makna puisi dengan computer tersebut, pembaca/penikmat
menyadari kekampuan computer untuk menimbulkan efek-efek tulisan yang jatuh,
terbang atau menerkam tersebut dibarengi gambar-gambar virtual itu namun tetap
minikmati dengan tidak mengambil pusing memisahkan antara kenyataan dan fiksi,
antara teknologi yang menipu dan tipuan yang bisa dinikmati, maka pesona dunia
itu pun kembali; re-enchanted.
Demikian
pula karya sastra yang ada di Indonesia saat ini. Keajaiban-keajaiban macam Harry
Potter bermunculan di pasar, atau versi
yang lebih berat, serius dan mengusung kisah-kisah legendaries macam Nagagabumi karya
Seno Gumira. Kekuatan-kekuatan di luar nalar pengetahuan modern bertebaran
menjadi suguhan yang dinikmati pembaca tanpa mempertanyakan imajinasi di atas
imajinasi tersebut. Karya-Karya sastra Indonesia menunjukkan dua kiblatnya saat
menghadirkan pesona dunia dengan dua cara.
Pertama,
karya seperti Saman, Cala Ibi, Larung atau Nagabumi tersebut menggunakan mitos-mitos
yang berakar pada budaya tradisional untuk menghadirkan pesona dunia.
Dialektika alam, manusia dan alam dihadirkan dengan bumbu intelektualitas yang
bertautan dengan rasionalitas, kemudian berpadu dengan traditionalitas. Saman
yang memiliki banyak suara (voices), riuh melaui shifting point of view yang plural. Mitos perempuan yang melahirkan
makhluk halus yang tak kasat mata mewarnai cerita dan menjadi bagian yangtidak
bisa diabaikan, atau dalam Bilangan Fu Ayu Utami kembali menghadirkan
makhluk-makhluk lembut tersebut dengan gayanya yang tetap intelektual.
Makhluk-makhluk tersebut hadir di wilayah “antara”, antara nyata dan tidak
nyata, antara mitos dan rasionalitas. Demikian pula karya-karya semacam Cala Ibi, Nagabumi,
atau pun azab dengan pesona dunia yang di hadirkan namun antara ragu dan
percaya tak dapat dipilah secara dikotomis oleh Oka Rusmini dalam
tulisan-tulisannya yang kental dengan budaya Bali.
Kelompok
sastra yang kedua ini mereligikan semua aspek kehidupan. Tulisan semacam
ini bisa ditemui dalam karya-karya teman-teman FLP dan yang sekanopi dengannya semisal
diterbitkan oleh Mizan, atau terkait dengan republika. Penerbit-penerbit
tersebut ada dalam satu ideology yang senada yaitu keislaman. FLP dan sastra-sastra sealiran juga membawa
pesona dunia kembali namun dalam lingkup yang bisa diterima, yang senada dengan
ideologiyang dianutnya. Emak Ingin Naik
Haji adalah salah satu contoh pengembalian pada pesona dunia islami.
Keajaiban dihadirkan lagi dalam wujud naik haji. Emak naik haji dengan ongkos
pemberian orang bersama anaknya adalah peristiwa 1001 dalam fiksi realis tersebut.
Bila Cinderella bisa datang ke tempat dansa pangeran charming dengan bantuan the fairy
Godmother, labu jadi kereta
dan tikus jadi
pengawal dan kusir, dalam kisah Emak
ini, lotere yang
batal dimiliki hadiahnya tiba-tiba tergantikan oleh sepasang suami istri yang bernadzar
memilih orang yang ibadahnya baik untuk naik haji gratis. Pasangan
tersebut punya fungsi sama dengan fairy
Godmother atau para kurcaci dalam Snow
White atau sebagai Helper dalam thesis
Vladimir Propp. Gaya realis dari cerita tersebut tidak bisa dinafikan dan bisa
dikatakan bahwa kisah tersebut ada dalam bingkai magis realis.
Keajaiban-keajaiban yang terjadi yang semula karena kekuatan
X , di
dalam cerita-cerita yang semacam Emak ini menjadi kekuatan tuhan.
Tuhan yang menghilang, menjadi samar-samar dalam kisah-kisah realis, kini
dihadirkan kembali dalam tampilan yang lembut, tuhan kini tersebut, dan bernama Allah.
Penutup
Dua aliran dalam menghadirkan
dengan karya pesona dunia dalam kesusastraan Indonesia tersebut memberi warna pada
perkembangan kesusastraan Indonesia. Hanya saja yang satu
dikemas serius
dan intelektual dengan kiblat ke Barat. Yang kedua, sebaliknya memiliki kiblat
ke Timur, menjadikan sastra sebagai media dakwah artinya menghadirkan tuhan
yang semula dalam cerita-cerita rakyat
taktersebut dengan jelas, versi baru ini menjadi bertuhan dan bernama. Kelompok
sastra yang pertama mengeksplorasi unsur kedaerahan dan memposisikan yang
mistis di wilayah ‘antara’ dan merayakan ketidakpastian, sementara kelompok
yang kedua justru mereformasi kedaerahan terutama yang mistis dengan memurnikan
yang ada di ‘antara’ menjadi satu kepastian sehingga melahirkan budaya baru,
budaya Islami versi tahun 2000an. Namun keduanya sama-sama menghadirkan pesona
dunia kembali dan berasimilasi dengan sastra dunia. Yang pertama dengan
kelompok sastra Barat yang bisa saja itu Eropa atau pun Amerika, sementara yang
satu lagi ke Timur Tengah sebagai pusat kebudayaan Islam. Akhirnya begitulah
sastra, dia tidak pernah diam, tapi terus bergerak, berubah, berkolaborasi dan
membentuk kebaruan-kebaruan seiring perubahan pikir manusia. Sastra yang
berkembang di Indonesia tidak terisolasi, tetapi dinamis dan berdialektika
dengan sastra-sastra daerah dan dunia.
Sumber
Bacaan.
Weber, Max Trans.
and eds.Roth and Tittich.1978. Economy
and Society: An outline of Interpretive Sociology. California: University
of California Press.
Lyotard, Jean-Francois. 2009. The Posmodern Condition: A Report on
Knowledge (Kondisi Posmodern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan,
penerjemah Dian Vita Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing
Pujiati, Hat. 2009. Novel Enchanted dalam kajian Brian Mchale. Tesis prasyarat kelulusan S-2
Program Studi Sastra Universitas Gadjah Mada.
Poster, Mark.1990. The
Mode of Information; Poststructuralism and Social Context. Cambridge:
Polity Press.
Schneider, Mark A..1993. Culture and Enchanment.Chicago: The
University of Chicago Press.
No comments:
Post a Comment