Saturday, October 8, 2016

Kembalinya Pesona Dunia dalam Jagad Hidup dan Kesusastraan Indonesia





Oleh Hat Pujiati
Jurusan Sastra Inggris
Fakultas Sastra Universitas Jember

(dipresentasikan dalam Seminar Internasional Sastra Bandung,
Balai Bahasa Bandung, 11-12 Juni 2013)

Abstrak
            This article discusses about Re-Enchantment of the word in human life and literature’s universe in this era. The development of human thought brings different presentation and appreciation upon things in the word including changes of social life and their art representation. Folklore and fairytales with their magical worlds assumed that they has disenchanted when rationalism becomes ‘rule of the game’ of this cultural wave, as though everything embedded to traditionalism is cut. Inevitably, people need a space for their imagination, hopes, and dreams that keep them alive as human being. However, world’s enchantment lingers in the collective memory and it becomes one of human excitement that is recalled in certain ways. The result is a mix of the past and present, of tradition and modernity, of local and inter-local or international (world tradition). The mix phenomena are everywhere in postmodern human’s life, from song lyrics they sing to literary works they work on. Magic and realism become a new collaborated genre after the separation assumption of the shifting mainstream from traditionalism and modernism. This writing questions Indonesian literary works that embodied the re-enchantment of the world and how do they manage the mix life in the representations. The result, there are two mainstream of Indonesian literary works; the first one is collaborating with the local tradition and put the dominant of the work ‘in between’ with postmodernist fiction atmosphere, and the second one is shifting the local tradition with import tradition and become new tradition that belongs to Indonesia or Indonesianized. However, both of the mainstreams represent Re-enchantment of the world as the product of postmodern era.

Keywords:  re-enchantment, representation, local tradition, world tradition, postmodern

Perubahan Estetis pada Lirik Lagu Popular di Indonesia Era 2000an

Suatu sore saya berkumpul dengan mahasiswa kelas puisi. Warga kampung di balik pagar kampus sedang menyelenggarkan hajatan hingga musik yang mereka putar terdengar sangat jelas dari posisi kami melingkar. Ketika itu kami sedang belajar di luar ruangan. Lagu-lagu yang terdengar dari pengeras suara membuat kami tersenyum-senyum karena bahasa yang dipakai terdengar lucu bagi kami. Lucu di sini bisa tabu, kasar, sarkastik, memalukan, atau lugu. Misalnya saja lagu Keong Racun (Sinta dan Jojo), Jablai (Titi Kamal), atau Alamat Palsu oleh Ayu Tingting. Lagu pertama banyak mengandung lirik “kasar” (misal istilah ngajak tidur, ayam kampung, colek diriku, kau tak tahu malu wanita murahan, kata dasar,  ), dan merutuk. Sementara yang kedua berisi kisah kesepian, genit, juga kasar.Kemudian yang ketiga merupakan kisah lagu merana ditipu identitas dan ditinggalkan kekasih, tak tahu rimbanya. Lagu-lagu pertama dan kedua booming di Indonesia dan dinyanyikan di mana-mana bahkan oleh anak kecil yang belum juga fasih melafalkan kata. Sementara lagu ketiga tersebut memiliki lirik berbeda genre dengan kedua lagu sebelumnya. Kepolosan pada pilihan-pilihan katanya membuatnya popular, berdampak pula pada kesejahteraan penyanyinya. Yang semula menjadi penyanyi panggilan di event kecil kemudian menjadi bintang nasional berkat Alamat Palsu. Peristiwa lirik berbeda dan booming bukan hanya terjadi di segmen genre lagu dangdut. Dalam lagu pop pun begitu. Pertanyaan saya kemudian  adalah mengapa kepolosan lirik Alamat Palsu mampu mencuri hati masyarakat penikmat? Lagu Butiran Debu di genre lagu berbeda yang juga sedang terdengar oleh kami kemudian juga menemukan nasib yang sama. Setelah digempur lagu-lagu bertema kemadirian dan perayaan cinta serta perselingkuhan, Butiran Debu tiba-tiba memikat pendengarnya dengan lirik melow yang ‘lebay’ (misal pada bagian aku tanpamu butiran debu).

Perubahan-perubahan kecil yang terjadi di sekitar kita rupanya telah mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan dan tatanan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi pada sudut pandang pemikiran manusia ini terdeteksi dalam produk-produk imaginatifnya, semisal karya seni dan sastra. Konsep cinta di era sembilan puluhan awal dan Sembilan puluhan akhir hingga era dua ribuan tidak lagi sama. Pada era sembilan puluhan awal cinta dianggap sebagai sebuah berkah dan abadi hingga kesetiaan adalah nilai pada cinta itu.Cinta yang berbanding lurus dengan kesetiaan produk Sembilan puluhan ini bisa kita amati dalam lirik-lirik lagu (lirik merupakan salah satu jenis puisi) semacam Cintaku Padamu yang dipopulerkan Ita Purnamasari di tahun 1995. Sementara di tahun 1997 grup Potret mempopulerkan lagu Salah yang liriknya berkebalikan dengan esensi cinta yang harus setia. Ada usaha penyejajaran antara laki-laki dan perempuan,yang bisa selingkuh bukan hanya pria, wanita pun bisa, begitu isi dari lagu Salah. Lirik lagu Salah dengan pembalikannya pada cinta soal kesetiaan tersebut semakin pesat dan terus direproduksi hingga tahun dua ribuan yang terepresentasi pada lirik lagu TTM duo Maya, Madu 3 Ahmad Dani, Cari Pacar Lagi oleh ST12. Cinta tidak lagi berbanding lurus dengan kesetiaan, melainkan perayaan. Tema-tema perselingkuhan menjadi happening, mudahnya memutuskan berganti pasangan juga booming.
Sementara lagu-lagu tradisional  yang banyak menanamkan ajaran hidup, mensyukuri nikmat, kerja keras, dan kebersamaan semissal saja Lir-Ilir, Perahu Layar, Reng Majeng lagu Madura, yang masih menunjukkan kedekatan dengan alam juga menjadi garis besar dalam lirik-lirik lagu tersebut, saat ini sudah kehilangan pesona. Orang-orang urban yang menghabiskan waktunya di perkotaan, bertahan hidup di antara gedung-gedung beton, jarang bisa menikmati keindahan alam, yang ada deretan beton atau kekumuhan area-area pinggiran kota. Alam tidak lagi dipandang menarik. Sastra masyarakatnya pun berjarak dengan alam dan kehilangan pesona dunia.
Dalam mode of production Marx yang fenomenal, perubahan mode-mode produksi (infrastructure) ditengarai berkorelasi terhadap perubahan-perubahan superstructure yang sifatnya ideasional. Tesis Marx tersebut  sebagai landasan menatap peristiwa hidup  secara general, masih punya banyak penganut hingga saat ini. Mark poster memodifikasi tesis tersebut sesuai dengan perubahan-perubahan dalam lingkungan sosial dengan moda informasi. Apa yang terjadi pada moda informasi ini menginvasi struktur-struktur sosial yang telah mapan. Mark Poster memaparkan dengan detil perubahan-perubahan yang terjadi akibat arus dan moda-moda informasi dalam bukunya mode of information. Kutipan berikut merupakan cermatan Poster terhadap perubahan pada thesis-thesis yang telah mencetuskan perihal komunikasi sebelumnya;
Nor do electronic devices nullify the theories that explain the nature of communications. To a Marxist, new communications devices fall within the thesis of the class struggle: increased access to information occurs differentially in relation to one’s position in the class structure. To neoMarxist, electronic media reinforce the culture industry, heightening the hegemonic force of ideology. To an economist, the laws of of the market determine who shall use a computer, who shall advertise in television, who shall have song broadcast to radio receiver. To a Weberian, electronic communications increase the differentiation of society into subsystems and promote the power among pluralist factions. ....(Foster:1990:2)
Sebut saja kelas sosial yang tadinya hanya ditentukan oleh kepemilikan modal produksi berupa kapital, saat ini kepemilikan kapital saja tanpa menjadi bagian laju informasi menjadi tidak cukup. Kepemilikan akses pada informasi lebih luas menimbulkan konsekwensi-konsekwensi pada posisi sosialnya. Dampak perubahan-perubahan tersebut mencapai lingkup yang luas dalam kehidupan manusia. Penemuan-penemuan di bidang teknologi yang membantu arus informasi tersebar sedemikian cepat mengusik dan merubah tatanan hidup manusia. Karena surat elektronik yang mudah diakses dan cepat, murah, institusi semacam kantor pos tidak lagi sepopuler dahulu. SMS lebih cepat sampai dari pada kartu pos yang mahal di prangko. Pengurangan karyawan kantor pos juga terjadi di awal popularitas SMS di Indonesia. Budaya berkirim surat berubah, budaya menulis juga berubah. Tulisan tangan anak-anak muda saat ini tidak lagi serapi generasi sebelumnya yang dituntut membuat tulisan terbaca dengan mudah. Seperti dijelaskan Poster tersebut bahwa pada neoMarxist, ekonom, dan Weberian, perubahan moda informasi ini bukan menghapuskan apa yang telah mereka tesiskan sebelumnya perihal komunikasi, akan tetapi menguatkan, menreifikasi ideologi-ideologinya hingga mengefektifkan hegemoninya, mengefisienkan tindakan untuk mencapai tujuan-tujuannya dan menuntut perlakuan baru akibat perubahan masif hingga pada sistem sosial. Pada dunia seni, estetika dalam mengekspresikan dan mendefinisikan keindahan pun mengalami perubahan.
Kisah Pesona Dunia dan Kembalinya Pesona Dunia (Enchantment dan Re-Enchantment)
Terkait dengan perubahan estetis pada lingkup seni yang terkait dengan kondisi sosialnya, Schneider dalam pembukaan bab 2 bukunya yang berjudul Culture and Enchantment mengutip Weber dari Economy and Society sebagai berikut;
As intellectualism suppresses belief in magic, the world’s processes become disenchanted, lose their magical significance, and henceforth simply “are” and “happen” but no longer signify anything. (Weber in Schneider:1993:30; Weber:1958:506)
Pada moda produksi, yang menjadi penentu  perubahan sosial menyebabkan pesona dunia menghilang. Rasionalitas menyulitkan mimpi dalam kenyataan. Sementara moda informasi yang berubah, teknologi yang mendukung pesatnya perkembangan informasi justru menyuburkan pesona yang hilang untuk kembali. Khayal atau imajinasi dekat dengan apa yang menjadi media bertukarnya informasi yang sifatnya abstrak. Rasionalitas dikawinkan dengan irasionalitas yang bisa taken for granted oleh manusia modern.  Teknologi yang  merupakan buah rasionalitas mampu mengakomodir mimpi dalam kenyataan hingga tidak lagi bisa dipisahkan dengan tegas dalam  logika kolektif. Dunia pun termultimediakan, bahkan menjadi hambatan ketika tidak mempunyai kapabilitas pada akses multimedia. Internet memudahkan komunikasi dan memutus jarak. Ini bisa dialami siapa pun yang terhubung dengan internet dan menjadi pengetahuan bersama
 Pesona dunia sebelum masa modern mempunyai ruang yang luas. Semua masih taken for granted, tidak lagi ada yang dipertanyakan. Perubahan selera pendengar music di Indonesia pun memiliki penjelasan ilmiah. Setelah mengumbar perayaan ‘kemenangan’, ‘kebebasan’ dalam berekspresi, bermain-main dengan norma dan nilai-nilai lama yang telah dimapankan dalam masyarakat, mereka merindukan apa yang telah ditinggalkan, merindukan sejarah, nostalgia. Romatika ideal menjadi harapan semu, kemunculan lagu-lagu tersebut menumbuhkan enchantment dalam wujud baru; re-enchantment. Kepemerintahan Soeharto yang selama ini tercatat kelam, pada respon rencana kenaikan BBM banyak bermunculan truk-truk bergambar the smiling general dengan tulisan Iseh Kepenak Zamanku (Masih lebih enak zamanku). Reformasi yang berisi rencana pendek, jadi keteteran dalam jangka panjang yang ternyata tanpa rencana jangka panjang sebelumnya. Walhasil bayang-bayang masa lalu menghantui seolah jendral itu lebih baik walau bukti sejarah menunjukkan sebaliknya. Pesona-pesona berlanjut dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Kerinduan itu ada dan berusaha diwujudkan dalam berbagai ekspresi, dan manusia juga masih terpesona pada dunia pada tahapan-tahapan budaya dan hasil kebudayaannnya.
Menurut Schneider,  pesona dunia (Enchantment) merupakan pengalaman-pengalaman ganjil yang terjadi dan dialami manusia di dunia sekitar. Enchanment muncul pada diri seseorang ketika pengalaman yang dihadapi tidak biasa, ganjil dan belum bisa dijelaskan secara ilmiah pada dirinya. “Pengalaman ini ada di antara nyata dan ganjil, aneh, misterius atau mengagumkan sehingga pesona sejenis ini bukanlah pesona yang diciptakan dongeng (fairy tale) pada orang dewasa” (Schneider, 1993: 2-3,15). Enchantment atau keterpesonaan pada dunia adalah ruang yang tidak terjamah rasio sehingga tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Dengan demikian, pesona dunia tidak dapat menjelaskan realitas pengalaman tentang sesuatu yang dapat dipahami tetapi tidak dapat dihadirkan.  Ketakmampuan menghadirkan  yang hanya terpahami tersebut membuat modernis menghindari representasi.  Lyotard (2009:205-8) menyiratkan bahwa karya-karya yang muncul di era modern cenderung menghadirkan realitas yang bisa dipahami tapi tak dapat dihadirkan ini dengan keputusan pilihan membuatnya terlihat atau sekalian membuatnya tak terlihat. Maka tekanan modernisme membuat ketakjuban atau keterpesonaan tersebut  bergerak pelan di bawah disenchantment melewati aturan main modernisme yaitu logika yang juga menjadi wahana kehadiran kembali pesona dunia (re-enchantment). (Pujiati, 2009:137). Pesona dunia itu sebenarnya tidak pernah mati, gelombang peradaban berikutnya yaitu posmodern memberikan ruang bagi yang tak pasti, yang antara, yang tradisional, yang ditolak modernism dalam dirinya.
Kembalinya Pesona Dunia dalam Kesusastraan Indonesia
Enchantment of the world bukanlah hilang begitu saja selama ini melainkan bergeser bentuknya. Bukan lagi pesona yang naturalistik tetapi justru ditimbulkan barang-barang ciptaan manusia. Semisal ketika membaca puisi dengan ilustrasi gambar bergerak, seolah huruf-huruf yang ditimbulkannya bergerak menerkam atau runtuh seperti makna yang diinginkan penulisnya dan itu menumbuhkan pesona bagi pembacanya. Pesona kemudian menghilang ketika penikmat melogika, memahami bagaimana proses komputer mampu membuat tulisan demikian. Saat menikmati kecanggihan teknologi dalam membentuk makna puisi dengan computer tersebut, pembaca/penikmat menyadari kekampuan computer untuk menimbulkan efek-efek tulisan yang jatuh, terbang atau menerkam tersebut dibarengi gambar-gambar virtual itu namun tetap minikmati dengan tidak mengambil pusing memisahkan antara kenyataan dan fiksi, antara teknologi yang menipu dan tipuan yang bisa dinikmati, maka pesona dunia itu pun kembali; re-enchanted.
Demikian pula karya sastra yang ada di Indonesia saat ini. Keajaiban-keajaiban macam Harry Potter bermunculan di pasar, atau  versi yang lebih berat, serius dan mengusung kisah-kisah legendaries macam Nagagabumi karya Seno Gumira. Kekuatan-kekuatan di luar nalar pengetahuan modern bertebaran menjadi suguhan yang dinikmati pembaca tanpa mempertanyakan imajinasi di atas imajinasi tersebut. Karya-Karya sastra Indonesia menunjukkan dua kiblatnya saat menghadirkan pesona dunia dengan  dua cara.
Pertama, karya seperti Saman, Cala Ibi, Larung atau Nagabumi tersebut menggunakan mitos-mitos yang berakar pada budaya tradisional untuk menghadirkan pesona dunia. Dialektika alam, manusia dan alam dihadirkan dengan bumbu intelektualitas yang bertautan dengan rasionalitas, kemudian berpadu dengan traditionalitas. Saman yang memiliki banyak suara (voices), riuh melaui shifting point of view yang plural. Mitos perempuan yang melahirkan makhluk halus yang tak kasat mata mewarnai cerita dan menjadi bagian yangtidak bisa diabaikan, atau dalam Bilangan Fu Ayu Utami kembali menghadirkan makhluk-makhluk lembut tersebut dengan gayanya yang tetap intelektual. Makhluk-makhluk tersebut hadir di wilayah “antara”, antara nyata dan tidak nyata, antara mitos dan rasionalitas. Demikian pula karya-karya semacam Cala Ibi, Nagabumi, atau pun azab dengan pesona dunia yang di hadirkan namun antara ragu dan percaya tak dapat dipilah secara dikotomis oleh Oka Rusmini dalam tulisan-tulisannya yang kental dengan budaya Bali.
Kelompok sastra yang kedua ini mereligikan semua aspek kehidupan. Tulisan semacam ini bisa ditemui dalam karya-karya teman-teman  FLP dan yang sekanopi dengannya semisal diterbitkan oleh Mizan, atau terkait dengan republika. Penerbit-penerbit tersebut ada dalam satu ideology yang senada yaitu keislaman.  FLP dan sastra-sastra sealiran juga membawa pesona dunia kembali namun dalam lingkup yang bisa diterima, yang senada dengan ideologiyang dianutnya. Emak Ingin Naik Haji adalah salah satu contoh pengembalian pada pesona dunia islami. Keajaiban dihadirkan lagi dalam wujud naik haji. Emak naik haji dengan ongkos pemberian orang bersama anaknya adalah peristiwa 1001 dalam fiksi realis tersebut. Bila Cinderella bisa datang ke tempat dansa pangeran charming dengan bantuan the fairy Godmother, labu jadi kereta dan  tikus jadi pengawal dan kusir, dalam kisah Emak ini, lotere yang batal dimiliki hadiahnya tiba-tiba tergantikan oleh sepasang suami istri yang bernadzar memilih orang yang ibadahnya baik untuk naik haji gratis. Pasangan tersebut punya fungsi sama dengan fairy Godmother atau para kurcaci dalam Snow White atau sebagai Helper dalam thesis Vladimir Propp. Gaya realis dari cerita tersebut tidak bisa dinafikan dan bisa dikatakan bahwa kisah tersebut ada dalam bingkai magis realis. Keajaiban-keajaiban yang terjadi yang semula karena kekuatan  X , di dalam cerita-cerita yang semacam Emak ini menjadi kekuatan tuhan. Tuhan yang menghilang, menjadi samar-samar dalam kisah-kisah realis, kini dihadirkan kembali dalam tampilan yang lembut, tuhan kini tersebut, dan bernama Allah.


Penutup
Dua aliran dalam menghadirkan dengan karya pesona dunia dalam kesusastraan Indonesia tersebut memberi warna pada perkembangan kesusastraan Indonesia. Hanya saja yang satu dikemas serius dan intelektual dengan kiblat ke Barat. Yang kedua, sebaliknya memiliki kiblat ke Timur, menjadikan sastra sebagai media dakwah artinya menghadirkan tuhan yang semula dalam cerita-cerita  rakyat taktersebut dengan jelas, versi baru ini menjadi bertuhan dan bernama. Kelompok sastra yang pertama mengeksplorasi unsur kedaerahan dan memposisikan yang mistis di wilayah ‘antara’ dan merayakan ketidakpastian, sementara kelompok yang kedua justru mereformasi kedaerahan terutama yang mistis dengan memurnikan yang ada di ‘antara’ menjadi satu kepastian sehingga melahirkan budaya baru, budaya Islami versi tahun 2000an. Namun keduanya sama-sama menghadirkan pesona dunia kembali dan berasimilasi dengan sastra dunia. Yang pertama dengan kelompok sastra Barat yang bisa saja itu Eropa atau pun Amerika, sementara yang satu lagi ke Timur Tengah sebagai pusat kebudayaan Islam. Akhirnya begitulah sastra, dia tidak pernah diam, tapi terus bergerak, berubah, berkolaborasi dan membentuk kebaruan-kebaruan seiring perubahan pikir manusia. Sastra yang berkembang di Indonesia tidak terisolasi, tetapi dinamis dan berdialektika dengan sastra-sastra daerah dan dunia.
Sumber Bacaan.
Weber, Max Trans. and eds.Roth and Tittich.1978. Economy and Society: An outline of Interpretive Sociology. California: University of California Press.
Lyotard, Jean-Francois. 2009. The Posmodern Condition: A Report on Knowledge (Kondisi Posmodern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan, penerjemah Dian Vita Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing
Pujiati, Hat. 2009. Novel Enchanted dalam kajian Brian Mchale. Tesis prasyarat kelulusan S-2 Program Studi  Sastra Universitas Gadjah Mada.
Poster, Mark.1990. The Mode of Information; Poststructuralism and Social Context. Cambridge: Polity Press.
Schneider, Mark A..1993. Culture and Enchanment.Chicago: The University of Chicago Press.








No comments:

Post a Comment