Posted by Rerupa http://heartpujiati.blogspot.co.id/search/label/Artikel
Bahasa puisi tidak sama dengan penggunaan bahasa biasa, begitu Riffaterre membuka bukunya Semiotics of Poetry,
dan begitu pula saya ingin mengawali ide saya setelah membaca draf
Antologi puisi penulis-penulis muda difakultas Sastra Universitas Jember
ini. Makna dari puisi ada bukan pada apa yang dinyakan, tetapi sesuatu
yang ada di balik yang terkatakan. Maka itu puisi sering kali sulit
dipahami pembacanya dalam sekali baca. Ketidaklangsungan semantik dengan
displacing, distorting, dan creating
yang didalilkan Riffaterre tentang ‘kebiasaan’ puisi ini juga dimainkan
dengan apik dalam antologi kali ini. Sebut saja Lampu Merah oleh AF. Kelemayar untuk bicara tanda, atau Alif dalam Alif di antara Alphabet oleh Harja el Majnun
yang ambigu dan maknanya berlarian dalam tiap baris yang membawanya,
kocar-kacir dalam dimensi lexikal-thematik, visual dan ritmik-akustinya
hingga kemudian lesap pada titik di bagian akhir puisi adalah menegaskan
sifat permainan puisi. Memahami permainan puisi sama saja dengan
mengejar makna.
Sering kali juga penitikberatan pada butir “permainan” dalam puisi untuk menyembunyikan ‘yang sebenarnya’ menggiring penulisan puisi untuk selalu menggunakan kata-kata yang tidak biasa muncul dalam percakapan sehari-hari atau peminjaman kata lintas register yang justru memusingkan pembacanya.
Celakanya ketika demikian sering ditinggalkan pembaca yang sekedar
ingin menikmati puisi, bukan peneliti, sehingga puisi tersebut gagal
berbicara pada pembacanya. Seperti halnya penggunaan kata ‘bioma’ pada puisi ‘Bioma di matamu’. Kata tersebut terdengar unik di telinga, tapi sayangnya dimensi lexikal-thematik tak berketerangan ini butuh paman Google untuk menerangkan pada saya guna tahu artinya. Namun puisi tersebut tidak gagal memberi petunjuk perihal sejarah register diksi tersebut pada / berburu plankton, karang hidup, barangkali paus/ sebagai istilah biologi.
Keistimewaan puisi yang juga ditanamkan dalam susunan antologi kali ini mentasbihkan kalau the ungrammaticality
menjadi sistem yang memancing kepekaan literer pembaca.
Pengecualian-pengecualian akan penggunaan bahasa dan tata bahasanya
berserakan dalam puisi-puisi yang hadir di awal buku ini, kemudian
dimodelkan dalam kehadiran tiga cerita pendek di bagian akhir. Bukan
kebetulan tentunya, tapi kesengajaan bermakna. Puisi dan prosa ada pada
genre berbeda, tetapi bahasa puisi dalam prosa bukan sebongkah dosa,
melainkan kreasi, ekspresi. Demikian pula cerita pendek dalam kumpulan
puisi, Gerimis di Mata Kekasih menjadi perekat thematik antar karya dan antar genre.
Dialektika antara karya dan pembaca yang punya pengalaman dan pengetahuan berbeda-beda dalam
rangka menangkap makna menjadikan karya sastra hadir dalam hidup, kaya
makna dan terus bisa dibaca kembali serta dimaknai kembali sebagai
dokumen. Puisi
akan terus hidup ketika dimaknai oleh para pembaca. Di kesempatan kali
ini, teman-teman muda yang tergabung di salah satu Unit Kegiatan
Mahasiswa Fakultas Sastra, Dewan Kesenian Kampus, untuk kedua kalinya ‘bergerak’ mendokumentasikan karya mereka melalui sebuah antologi puisi dan cerpen yang bertajuk “Gerimis di Mata Kekasih”.
Kekasih
memang tidak pernah usang menginspirasi, entah gerimis, badai, senja,
bahkan pekat malam di matanya menjadi benih imajinasi mereka yang
berkarya. Harapan saya, antologi kali ini menjadi ladang subur
bertumbuhnya benih kreatifitas bagi kelahiran antologi-antologi
berikutnya.
Hat Pujiati
No comments:
Post a Comment