*dipublikasikan juga di sini
Awal membaca Mata Ibu, saya ragu apakah novel ini realisme, posmodernisme, atau realisme magis. Cerita diawali dengan peristiwa hujan di musim yang dirindukan petani. Pertemuan air dan tanah yang detil, pemanusiaan hujan yang kadang ‘ngambek’ menjadikannya sebagai awal kesuburan yang dirayakan, disyukuri, dan diopeni. Kedekatan antara antara alam dan manusia mencirikan kehidupan tradisional dan Mata Ibu menggambarkannya dengan diskripsi yang nyaris kongkrit. Keterhubungan musim dan tanah desa Meranti menjadi rangkaian cerita yang tak menegaskan realismenya. Gambaran sistem produksi di desa yang terkendala infrastruktur mengindikasi pemikiran marxis, begitu saya pikir awalan membaca. Kehadiran mantra-mantra yang dibaca saat memanggil hujan, saya kira sebagai interupsi dugaan pertama yang mengiranya realisme. Akan tetapi fokalisasi yang berpindah-pindah antara narator dan tokoh dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, tiba-tiba menjadi orang pertama atau kembali lagi menjadi orang ketiga membuat saya juga berpikir mungkin cerita ini sejenis fiksi posmodernis. Plot dibuat berlompatan sehingga saya beberapa kali sesat dalam pembacaan dan butuh membaca ulang halaman buku tersebut. Sungguh riuh kepala saya dengan banyak dugaan ketika membaca.
Ketika
hujan ‘ngambek’ orang-orang desa yang sebagian besar hidup dengan bertani
kelimpungan mengurus tanaman, mengira salah
mongso, harapan yang tadinya merekah karena musim tanam datang, tiba-tiba
dibatalkan dengan dugaan salah mongso.
Musim hujan yang berarti musim tanam tetiba berhenti dan langit kembali cerah,
air kembali susah mengairi sawah. Peristiwa tersebut menghadirkan penghapusan, musim
hujan. Kemudian peristiwa musim hujan tidak lah benar. Salah
mongso juga coret; itu benar musim tanam. Penghapusan peristiwa dengan cara
tersebut juga memberikan konsekuensi pada harapan yang juga coret
menjadi keputusasaan, namun harapan dikembalikan lagi dengan menegaskan kembali
bahwa musim tidak keliru dan keputusasaan lah yang coret. Selain itu, peristiwa
yang dialami sang ibu, Yu Sari, juga beberapa kali berulang. Dia terjatuh, kakinya
terkilir kemudian terkilir lagi dan dia merasakan sakit, ini berulang. Namun
sakit yang dirasakannya disembuhkan tekad ‘harus sembuh’ sehingga sakit juga sakit.
Kesepian
Yu Sari yang menyiksanya sebagai ibu tiga anak, janda ditinggal mati suaminya
dan harus mengurus harta warisan sendiri berupa sawah membuatnya hilir mudik ke
dalam kenangan dan dunia samping, bahkan Yu Sari bertemu malaikat kematian. Yu
Sari menolak mati termakan sepinya dan masih hendak bertemu anak-anaknya yang
merantau ke kota menempuh pendidikan tinggi, demi masa depan lebih baik dari
sekedar petani yang kerab direpotkan mongso.
Malaikat pun mengijinkannya jadi dia batal dicabut nyawanya. Kenangan dan dunia
samping yang dihadirkan membuat saya sebagai pembaca kerap tergelincir
menyadari itu dunia yang mana. Bahkan pada sub bab Elang Menyambar-nyambar,
kisah Sri Sedana oleh mbah Dento lebur begitu saja menginfasi dunia fiksional
Yu Sari dan tokoh-tokoh yang lain. Sekali lagi jarak dunia itu mengaburkan
kesadaran saya, apa lagi bagian upacara
diulang setelah kisah Sri Sedana selesai. Bila di awal upacara mbah Dento hadir memimpin dan bercerita, di bagian kedua
upacara itu mbah Dento dinyatakan ‘sudah lama mati’. Dunia lain itu bertumpuk-tumpuk,
bila semula dunia Sri Sedana yang ada di dunia tiba-tiba menggantikan dunia
fiksional yang di huni Yu Sari dan mbah Dento, kemudian dunia fiksional itu pun
menjadi dunia sebelah atau dunia samping yang mengasing, di situ saya curiga dengan
genre novel ini. Realisme, posmodernis, atau realisme magis? Saya pun membaca
ulang di mana kisah-kisah dunia lain dimulai dalam cerita. Ternyata ini memang
kisah realisme, setiap perjalanan ke dunia samping selalu ada awal atau akhir
yang dinyatakan dalam ranah dunia fiksional. Misal membedakan peritiwa dunia
samping itu dengan ‘Yu Sari mengerjap ngerjap’ (Isnadi; 2015: 25) untuk
menandai peristiwa tersebut terjadi dalam benaknya. Jadi peristiwa-peristiwa
semacam itu hadir dalam bentuk stream of
consiousness seperti yang pernah dimainkan Virginia Woolf dalam Mrs.
Dalloway. Plot maju mundur juga menjadikan novel 90 halaman ini tidak sederhana
dibaca. Mengetahui titik magis atau realisme novel ini butuh kesadaran penuh
dan kejelian, jika larut dalam cerita maka sulit membedakannya walau ia tidak
berdiri di wilayah antara.
Adapun
persoalan sosial yang digambarkan oleh novel ini adalah perihal gender, kekerasan
dan sisi lain sang pemilik tanah. Yu Sari yang diwarisi sawah luas oleh almarhum
suaminya harus pontang-panting mengurusnya sendiri demi anak-anaknya. Dia juga
bolak-balik mengatakan bahwa dia tidak berhak atas tanah tersebut melainkan anak-anaknya.
Di satu sisi, dia yang bertanggungjawab atas tanah tersebut karena anak-anaknya
masih sekolah. Yu Sari lah yang mencari penggarap sawah, dia yang membayar
pajak, maka dia adalah pemilik. Dia pemegang kekuasaan, namun ini kemudian
hanyalah sekedar kuasa karena dia tersiksa karenanya, dia kelelahan,
terbebani oleh kuasa dan tak berdaya di hadapan para pekerja yang siap
menggunjingnya hingga bisa saja menolak bekerja lagi di sawahnya. Yu Sari pun
harus menuruti keinginan pekerja. Pekerja ternyata juga sangat mampu mengambil
alih kuasa dalam hal ini. Bila pekerja menolak kerjakan sawah Yu Sari maka
panen akan tertunda, biaya sekolah anak-anaknya juga jadi tertunda. Yu Sari tak
lebih sebagai pekerja juga untuk sawah warisan suaminya. Suami yang tak hadir
itu tetap saja mejadi Subjek yang membuat Yu Sari yang masih hidup patuh pada
yang telah tiada. Yu Sari hidup untuk suaminya yang telah almarhum, menguruskan
sawah dan anak-anaknya, maka diri Yu Sari sebenarnya tidak ada, itu sisi
keterbelahan Yu sari.
Untuk
mengatasi perasaan lacking dalam diri
Yu Sari yang terbelah, dia menghadirkan kembali sosok tuan dengan memilih
Karto. Namun itu tak sepenuhnya tuan, dia memilih Karto masih atas nama tuan
almarhum yang menjadikannya objek dari warisan yang tak mudah dijalankan.
Pemilihan Karto menjadikannya subjek namun atas nama tuan menjadikannya
subjek’. Karto yang berotot,
dipekerjakan oleh Yu Sari untuk mengurus sawah melalui perkawinan. Otot dan
kekuatan Karto, kelincahan mencari pekerja dan menangani sawah yang menjadi
penanda maskulinitasnya dalam hal ini hanyalah objek sang pemilik tanah yang
perempuan. Posisi Karto menjadi inferior dengan tekanan penceritaan dari sudut
pandang Yu Sari. Bahkan Karto tidak bersuara, dia dihapus dari kisah dengan
cara dipukul Andi si anak sulung karena rajin mabuk dan memaki Yu Sari dengan
sebutan sundal dari luar rumah sepulang mabuk. Padahal Yu Sari berkisah Karto
tak diberi banyak uang agar tak mabuk. Tak diceritakan mengapa Karto kembali
pada kebiasaannya mabuk setelah sebelumnya dia insaf. Sebelum menikah dengan Yu
sari Karto kerab mabuk ditinggal mati istrinya, namun dia sangat menyayangi
anaknya sehingga menggendong sang anak ke sana kemari. Alasan Yu Sari
menikahinya juga karena dia melihat kasih dalam diri Karto. Bila kemudian Karto
kembali menjadi pemabuk, tentu saja ada yang mengikis sisi kasih dalam dirinya.
Cerita ini menetralisasi ideologi kesewenangan sang empunya tanah dengan
membuang Karto karena mengutuk saat mabuk, buruh tak lebih sebagai budak,
perkawinan itu hanyalah kedok perbudakan Karto oleh sang Janda.
Derita
Yu Sari yang dengan kesepiannya, objektifikasi tuan almarhum, sebagai pekerja
untuk warisannya mengundang simpati pembaca, di sana ada pemanggilan
keberpihakan. Kecerdasan yang dimiliki janda kampung tampak begitu natural
melawan kehendak pak Lurah, hingga ia kemudian didemo warga desa sebelah karena
dianggap menghalangi proyek pelebaran jalan. Logika-logika yang kelihatan polos
pada Yu Sari adalah sebuah posisi ideologis. Yu Sari yang punya banyak sawah,
yang butuh 70 orang pekerja untuk menggarapnya itu tak mudah dikelabuhi
penguasa seperti kebanyakan warga Meranti. Begitulah ideologi mengelabuhi,
dengan netralisasi kekerasan; menyembunyikan kesewenangan dengan penderitaan.
Dengan
demikian, Yu sari yang polos, nampak kesepian namun juga egois. Di antara
reruntuhan dirinya yang kerap gagal menjadi Subjek utuh, dia mengatakan sebagai
berikut:
“Mereka
tak mau pulang. Mereka tak mau mengakui bahwa keberadaan mereka di tempat
tempat jauh itu juga secara tak langsung adalah buah dari usahaku membelokkan perjalanan nasibnya ke arah yang
lebih bermartabat dan bermasa depan. Anak zaman saudara saudara, anak asuhan
waktu tanpa menoleh pada bekas jejak perjalanannya dari detik ke detik. Ibu
sudah tak lagi perlu.” (Isnadi; 2015: 35)
Ketika
anak-anak yang dirindukannya tak pulang juga, dia merasa tak lagi dibutuhkan
anak-anak yang tumbuh dari kerja kerasnya. Apa yang dinikmati anak-anak itu adalah karena
dia yang membangunkan martabat bagi mereka. Kekecewaan bernada keputusasaan
tersebut membuka keegoisannya sebagai ibu, sebagai subjek tak langsung. Rewording dirinya sebagai subjek justru
membongkar kegagalannya menjadi subjek. Saat didemo warga dia juga diselamatkan
pak Dermo. Yu Sari dalam Mata Ibu ini
tak lain adalah ibu tradisional yang tak bisa membalik posisi sebagai Subjek
meski Subjek nyata tuan telah mati, tak berubah posisinya hanya dengan
tugas-tugas yang menggantikan almarhum suaminya, sang subjek. Tidak juga
posisinya berubah dengan mengobjekkan Karto dalam rumahnya. Pernikahan itu juga
memisahkan Karto dari anak tercintanya sehingga pernikahan yang dikehendaki Yu
Sari itu hanya mereproduksi evil side
dari stereotip perempuan. Permainan suara-suara (voices) yang simultan dalam Yu Sari menghadirkan mata pisau ganda (double blade) sehingga cerita tak mudah
disimpulkan. Keriuhan suara-suara tersebut semacam karnaval yang tak mendikte
pembaca pada makna tunggal.
Kata-kata
yang mengalami pengulangan dalam novel ini tidak ada yang menggunakan tanda (-)
sebagai penanda pengulangan menunjukkan bahwa semua kata adalah utuh dan
berpenekanan. Ketegangan yang dibangun
dengan kilatan peristiwa menonton televisi (hal.39-41) mengingatkan saya pada
puisi, bagian puitis ini sebenarnya realis namun pemilihan diksi dan teknik
susunnya menghadirkan kesan enigmatik, serasa membaca puisi. Kesimpulannya,
membaca Mata Ibu tak dapat
disimpulkan; Mata Ibu mengundang kita
ke dalam dunia sepi, putus asa, kadang gigih, kadang entah; se-entah hidup itu sendiri. Selamat
membaca.
Referensi
Faris, Wendy B,.
2004. Ordinary Enchanments: Magical
Realism and the Remystification of Narrative. Nashville: Vanderbilt
University Press.
Hayatmoko.2016. Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana
Krisis); Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Bracher, Mark. 1997.
Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan
Sosial; Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Yogyakarta: JalaSutra
McHale, Brian.1987. Postmodernist Fiction. New York & London:
Routledge
No comments:
Post a Comment